"Apa kau mulai mencintai Tuan Max, Nona Ara?"
Pertanyaan Lia membuat Arabella tak bisa berkata-kata. Sesungguhnya, Arabella tak yakin dengan perasaan dan hatinya. Kepercayaan Arabella akan cinta bahkan tak ada sedikitpun.
Benar, gadis muda, cantik, pemberani, dan kuat itu tak memiliki kepercayaan dalam mencintai. Toh hubungan Arabella dan Max hanya sebatas hubungan di depan publik. Mereka tak saling mencintai atau belum mencintai?
"Nona Ara?"
Lamunan Arabell di buyarkan oleh tepukan pelan Lia di pundaknya. Lia tersenyum kecil ke arah Nona mudanya.
"Jika kau mulai merasakan cinta itu, jangan ragu untuk bercerita kepadaku."
Lia kemudian meninggalkan ruangan itu, menyisahkan Arabella yang hanyut dalam labirin hatinya yang tak menentu.
"Apa mungkin? Apa aku mencintai Kak Max?" tanya Arabella dengan menatap cermin di hadapannya.
~Kring
Ponsel Arabella berdering, dengan cekatan Arabella menjawab panggilan yang ternyata datang dari Max.
Max menghubungi Arabella.
"Kak Max? Kau di mana?! Acara pernikahan Kak Mica malam nanti," ucap Arabella yang sudah mulai panik.
"Aku tak akan datang. Aku menghubungimu untuk mengatakan sesuatu hal yang penting."
Arabella menaikan alisnya, dia tak menyangka akan mendapat panggilan telpon dari Max.
"Apa?" tanya Arabella.
"Jika nanti ada seorang perempuan muda dengan rambut blonde datang kepadamu dengan data-data yang kuminta, tolong kirimkan data itu ke mansionku, lalu buat salinannya dan kirim kepadaku. Apa kau mengerti?" jelas Max panjang lebar.
"Data apa itu?" tanya Arabella.
"Kau tak berhak tahu. Hanya lakukan yang aku perintahkan."
Jawaban Max membuat sebagian dari rasa keingintahuan milik Arabella kembali menguar.
"Kurasa kau bukan gadis bodoh, Arabell. Jadi pastikan data-data itu aman."
Klik
Max mematikan panggilan tersebut tanpa sempat Arabell bertanya tentang di mana sebenarnya keberadaan Max kali ini.
"Apa aku bisa mencintai pria seperti kak Max? Aku tak paham dengan cinta."
.
.
"Ion? Kenapa kita berkemas seperti ini?" Miky bertanya kepada Gidion yang sedang sibuk mengepak pakaian mereka.
Gidion tak menjawab pertanyaan Miky, dia hanya diam dengan tangan yang sibuk bekerja.
Miky sedikit heran dengan Gidion, tak biasanya sikapnya aneh seperti hari ini.
"Biasanya saat Ion pergi untuk bekerja di kota, Miky tak pernah ikut, lalu mengapa sekarang Ion mau mengajak Miky?" Miky yang memang masih sangat penasaran terus bertanya.
"Miky, dengarkan aku."
Gidion meletakan beberapa lembar pakaian yang belum ia lipat begitu saja, dan berjalan menghampiri Miky yang terduduk di sofa usang depan televisi kotak tabung.
"Iya?" jawab Miky dengan wajah polos.
Melihat raut wajah Miky membuat Gidion semakin yakin untuk melakukan tindakan inim Keputusannya akan tepat da tak pernah salah jika itu menyangkut Miky.
"Kita akan pergi dari sini."
Miky merasa terganggu dengan perkataan Gidion barusan. Apa artinya jika mereka akan pergi jauh dari tempat yang selama tiga belas tahun ini menjadi rumah bagi mereka?!
"Ion?!"
"Ion sedang berbohong, kan?! Kita tak akan pergi dari desa ini."
Miky menjawab dengan suaranya yang tinggi, tanda jika ia kesal dan marah.
Gidion menggeleng, dia membingkai wajah putih Miky dan menatap bola mata heterochromia milik orang yang mulai dia cintai itu.
"Tidak, aku sangat serius dengan ini. Kita akan segera meninggalkan desa ini, Miky."
Miky lagi-lagi menggeleng, dia tak mau berpisah dengan desa tempatnya tumbuh ini. Begitu banyak kebahagiaan. Bagi Miky Desa Ivary ini adalah tempat ternyaman.
"Bunda Sarah, Paman Joe. Apa kita akan meninggalkan mereka?" tanya Miky yang sudah mulai meneteskan air mata miliknya.
"Sayang sekali, tapi itu semua harus kita lakukan Miky."
Jawaban dari Gidion membuat Miky menundukkan kepalanya dan mulai menangis. Sarah dan Joe sudah Miky anggap sebagai pengganti Ayah dan Ibu bagi Miky.
Tak cukupkah takdir menguji Miky?! Mengapa setiap orang yang Miky sayangi akan direbut seperti ini? Dan mengapa Miky tak bisa melakukan apapun!?
"Jangan menangis," Gidion menghapus perlahan air mata yang jatuh membasahi pipi Miky.
Dia tahu Miky sudah sangat nyaman berada di desa ini, Gidion juga paham tentang Miky yang sudah bersusah payah dalam menyesuaikan dirinya di desa ini. Miky telah memiliki ikatan yang kuat dengan Desa Ivary yang begitu indah dan nyaman.
Tetapi, Max cepat atau lambat akan menemukan mereka. Gidion tak bodoh, dia tahu jika penyamarannya dan Miky aka segera terbongkar.
"Aku tahu ini akan berat untukmu, aku tahu kau telah meyanyangi desa ini, aku tahu itu semua Miky,"
Gidion mencoba untuk meyakinkan Miky, sama seperti tiga belas tahun yang lalu di saat ia mencoba membawa Miky pergi dari keluarganya, dari negaranya.
"Kita bisa memulai segalanya dari awal seperti dulu. Aku dan kau akan bahagia sama seperti saat kita berada di desa ini, aku berjanji untuk itu, Miky," ucap Gidion dengan pelan.
Miky masih tak bersuara, dia sedih sangat amat sedih dengan keputusan Gidion. Tapi apa boleh buat? Miky berhutang Budi kepada Gidion, Miky tak berhak untuk menolak semua keputusan yang sudah Gidion buat untuk mereka.
"Miky. Bagaimana? Kau setuju, kan?" Gidion menghadapkan wajah Miky agar menatap wajahnya.
Wajah yang biasanya dipenuhi dengan tawa dan rona keceriaan kini berubah menjadi sendu.
"Ion sudah memutuskan, Miky tak bisa menolak. Miky tak berhak untuk menolak keputusan Ion."
"Miky, aku tak bermaksud untuk--"
"Miky tahu, sudahlah Ion. Miky tak apa dengan keputusan Ion.'
Miky mencoba untuk tersenyum, dia menghapus sisa-sisa air matanya dengan pelan.
"Tapi, sebelum kita pergi, bolehkan Miky meminta sesuatu kepada Ion?" tanya Miky dengan tatapan memohon.
Gidion mengangguk, dia akan menuruti apapun permintaan Miky, kecuali untuk bertemu kembali dengan keluarganya lagi, terlebih Max.
"Katakan Miky,"
"Kita harus berpamitan kepada Bunda Sarah, dan juga Paman Joe," ucap Miky.
"Kita akan berpamitan dengan Bunda Sarah, namun tidak dengan Paman Joe."
"Kenapa? Miky juga harus berpamitan dengan Paman--"
"Tidak perlu, aku yang akan berpamitan dengan Paman Joe, kau berpamitan lah dengan Bunda Sarah."
Entah mengapa kini rasanya Miky benar-benar tak memiliki hak untuk memutuskan. Semuanya harus sama dengan apa yang Gidion ucapkan.
"Baiklah, Miky akan berpamitan dengan Bunda saja. Ion Miky akan berganti pakaian dulu sebelum menemui Bunda Sarah."
Miky lantas berlalu menuju kamarnya, meninggalkan Gidion dengan sebuah rasa penyesalan.
Lain dengan Miky, Gidion justru tersenyum licik. Dia tak menyangka akan mendengar jawaban Miky yang seperti tadi.
"Bagus, sangat bagus! Kau memang tak berhak untuk menentang perintahku. Aku yang kini memiliki hak sepenuhnya atas dirimu, Miky."
Apa kalian percaya? Orang yang baik akan dengan mudah menjadi jahat. Sangat mudah. Namun seorang penjahat menjadi malaikat adalah sebuah keajaiban.
Jadi bagaimana? Siapa yang akan menjadi villain dalam kisah ini? Apa kalian yakin jika si jahat itu adalah Max? Atau kalian mulai terkecoh pada Gidion?
Semuanya akan terjawab seiring berjalannya waktu. Beberapa akan terjawab, dan beberapa akan mendapatkan misteri baru.
.