Chereads / My White Fragile Twins (Max&Miky) / Chapter 9 - 9- Awal Kegilaan

Chapter 9 - 9- Awal Kegilaan

Mendung.

Ini sore yang begitu indah, awan gelap dan pekat  di bagian utara, dan angin yang berhembus seakan membawa sebuah kabar. Kabar yang akan membuat Max berteriak penuh suka cita dengan tampang pangeran dan hati iblisnya. Klise.

Tapi ...

Ini sore yang sangat sempurna!

"Kak. Kau sangat manis," ucap Max saat ini sedang mengamati Miky yang sedari tadi masih tertidur.

Walau mata Miky tertutup, akan tapi itu tak menghalau keindahan yang terpancar dari jiwa dan tubuh Miky. Max begitu mengangumi kakak kembarnya itu.

"Aku sangat ingin menjadi dewasa ... aku ingin segera memiliki kakak." ucap Max.

"Kak ...," Max menjeda ucapannya. Kalian tahu? Pikiran Max itu terlampau sulit untuk ditebak. Hahaha.

Stop menganggapnya gila. Dia hanya terlalu cerdas.

.

.

"Nyonya Marie koma untuk waktu yang tak mampu diprediksikan, benturan di kepalanya juga beresiko besar pada beberapa bagian tubuhnya, kita hanya harus berdoa dan memantau hingga ia sadar" ucap Sam, si dokter.

Perkataan dokter tadi membuat Marv merasa sangat sedih, dan terpukul, katakanlah Marv itu sangat mencintai Marie. Dia tak bisa hidup tanpa Marie.

"Marie ..." Marv di sana, ia masih di samping Marie yang tak sadarkan diri, jemarinya mengelus lembut pelipis Marie yang terlilit perban.

"Bagunlah, Dear ...," ucap Max dengan begitu lirih, ia mengecup punggung tangan istrinya yang kini terasa dingin.

"Aku tak akan mampu jika kau pergi," Max menangis, dia tak akan bisa.

'Tes'

'Tes'

Entah air mata ke berapa, tapi yang pasti Marv sangat amat banyak menangis hari ini. Rasanya seperti mimpi buruk yang begitu panjang saat kau melihat orang paling berharga dihidupmu tak sadarkan diri.

Abu abu.

Bahkan Marv tak mempedulikan apapun kini, Miky? Max? Entah. Marv hanya memikirkan Marie nya yang terbujur lemah di sini.

"Mommy jatuh dari tangga. Hiks, karena mengejar Miky. Miky yang salah Daddy ...," ucap Miky saat itu.

Ucapan anaknya itu masih terngiang oleh Marv. Ia merasa marah!

"Arhhg! Lihatlah Marie anak yang paling kau sayangi itu. Dia menyebabkan dirimu seperti ini!" ucap Marv dengan sedih.

Tidak Marv tak membenci Miky. Tapi, rasanya akan berbeda mulai sekarang.

"Aku tak akan memaafkan anak itu jika sampai kau pergi dan meninggalkan aku, Marie ..."

" Aku sendiri yang akan menghukum anak itu, kembalilah Marie," ucap Marv sendu.

'Kringg'

Ponsel Marv berbunyi, sejujurnya ia sedang tak ingin berbicara ataupun menemui siapapun. Ia hany ingin dengan Marie nya.

"Hhsh!" desis Marv jengah, karena sedari tadi ponselnya berbunyi terus menerus.

"Halo!" ucap Marv.

"Tuan ini saya, Marta" jawab si penelepon.

"Katakan!" Marv benar-benar tak ingin berbicara dengan siapapun.

"Sedari tadi tuan Miky menangis tuan, dia-"

"Aku tak peduli dengannya!" Marv terlebih dahulu memotong perkataan dari Martha.

"Tapi, Tuan Max ada bersama Tuan Miky di dalam kamarnya, kami tak berani masuk dan melihat apa yang terjadi Tuan ... bisakah tuan pulang? Tangisan tuan Miky sangat keras sekali Tuan, dia-"

Lagi dan lagi Marv seolah terkunci hatinya, dia tak memikirkan Miky, walau Max akan menyakiti Miky, apa peduli Marv? Kali ini Marv hanya akan memikirkan Marie, cintanya.

"Aku tak peduli! Biarkan saja Max melakukan apapun semaunya! Jangan telpon aku lagi untuk urusan anak itu!"

Klik, panggilan itu langsung diputus sepihak oleh Max.

Fokus Marv kembali pada Marie, ia tak sedetikpun mengalihkan pandanganya dari Marie.

Satu fakta yang mungkin tak kalian tahu dari awal, Marv ... dia begitu mencintai Marie dengan segala hal buruk yang tersimpan dalam diri istrinya.

Dan ya ... ada sesuatu yang janggal di sini ... Hahaha ... hanya jika klian paham.

.

.

"Max ... Hiks, jangan, hiks!" Tangisan Miky mengisi kesunyian mansion mewah itu.

Bahkan para pelayan dan pengawal yang ada di paviliun depan langsung menuju mansion utama. Namun apa gunanya? Tak ada yang berani. Mereka semua terlampau takut pada Max, ingat ini, Max masihlah anak berusia lima tahun.

"Ya Tuhan ... Lindungilah, Tuan Miky," gumam Martha, pelayan muda itu.

"Tuan Max lebih menyeramkan ketimbang Nyonya dan Tuan ...," ucap pelayan lain. Ya ini fakta dan memang benar. Max berkali-kali lipat lebih sadis dan menyeramkan dengan pikiran berdarah ya ketimbang Marv dan Marie.

Wajah mereka panik, tangisan Miky masih saja terdengar, entah apa yang sedang terjadi di dalam sana.

"Hiks! Max!!" Teriak Miky sekali lagi.

"Hisk ..."

'Pyar'

"Astaga!" Marta mengelus dadanya, suara pecahan benda, apa yang terjadi pikirnya. Apa yang dilakukan amak berusia lima tahun hingga terdengar sebrutal dan semengerikan itu?

"Tak bisakah kalian melihat ke atas, bagaimana keadaan mereka?" tanya Martha yang sudah menangis pada para pengawal.

Mereka menggeleng, terlampau takut atas segala hal buruk yang mungkin terjadi.

"Paman ...." Itu suara Gidion.

Dia, anak itu juga ada di sana.

"Bantu Miky, dia menangis sedari tadi," ucap Gidion anak berusia lima tahun itu.

Gidion melihat semuanya saat Max kembali dengan Miky yang tertidur dalam pelukannya, Max membawa Miky ke kamar dan memerintahkan agar tak ada yang menganggu mereka.

Gidion merasa sangat kasihan. Perasaan yang ia rasakan bukan hanya sebatas iba, ia merasakan jika Max itu buruk. Dia bisa saja melukai Miky. Gidion, dia ingin melindungi Miky.

Apakah bisa?

Hahaha, entahlah ...

"Hiks ... Maafkan Miky, Miky janji tak akan mengulangi semua yang terjadi hari ini. Miky mohon. Hisk ...," ucap Miky yang sudah menangis sesenggukan.

Tadi saat ia bangun ia melihat jika adik kembarnya berada di sampingnya dengan raut wajah yang begitu amat mengerikan, dan Miky tahu kala itu, pasti Max sedang marah padanya.

"Hiks ..." Tangisan Miky masih terus terdengar.

Max menyeringai. Menatap bagaimana kakaknya ketakutan. Ini memang yang terbaik, begitulah pikir Max.

"Kak," suara Max sangat rendah. Ia mendekati Miky yang sedari tadi menghindarinya, ahh, lebih tepatnya Miky yang kini bersembunyi di balik lemari pakaian.

"Kau tak akan bisa sembunyi ...," ucap Max dengan terkekeh, seolah sedang mengolok Miky.

Max mendekat, dan mendekat. Ia tahu jika kakaknya itu benar benar ketakutan saat ini. Dan yah ... itu bagus!

"Takutlah padaku kak ... maka kau tak akan kemanapun ...," ucap Max dengan suara yang melirih.

'Brak'

Dengan mudahnya Max menarik Miky dari balik lemari. Ia langsung membawa kakaknya yang terus menangis itu ke ranjang.

"Hisk, jangan! Hiks ... Max!" tangis Miky semakin menjadi.

"Shut. Diam kak," lalu max memakaikan borgol itu pada kedua tangan Miky yang masih memakai mitten.

"Hisk! Max jangan itu! Max mau apa?" Miky bertanya letalutan saat max membawa sebuah jarung, lilin, dan benang merah.

"Aku mau memperbaiki dirimu, kak ...." Senyuman iblis itu kembali terlihat.

"Jangan Max!"

"Tak bisa kak ..."

"Arhghgh ... Max ini sakit sekali, Max! Ampuni Miky! Hiks! Max!"

"Hahaha ..."

"Ini sempurna kak ..."

Dia gila!