"Berikan surat ini pada Keluarga Cullen. Katakan pada mereka aku mengundang mereka dan putri mereka di acara malam paskah beberapa bulan lagi." Marcus menyerahkan sebuah surat pada Arabella yang saat itu sedang mengepak barang-barang miliknya.
"Surat apa ini Dad?"
"Ini lamaran," jawab Marcus singkat.
"Lamaran?" Tanya Arabella tak mengerti? Siapa yang akan menikah? Tak mungkin jika itu Arabel. Dia kan sudah berjodoh dengan Max. Lalu untuk siapa lamaran itu?
"Untuk siapa lamaran ini?"
"Kakakmu, Bram." Ucap Marcus yang sontak membuat Arabel membulatkan matanya kaget.
"Apa?!"
"Kau ini kenapa? Lagipula umur kakakmu itu sudah cukup untuk menikah. Daddy ingin melihat kakakmu menikah terlebih dahulu baru setelahnya kau akan kuserahkan kepada Max." ucap Marcus memandang bingung pada putri cantiknya.
"Tapi apa Daddy sudah membicarakan ini dengan kakak? Apa kakak setuju? Apa-"
"Arabella... Sudahlah mengapa kau berfikir terlalu jauh? Kakakmu tentu akan setuju, lagipula gadis yang akan dijadikan sebagai istri kakakmu nanti adalah gadis yang terbaik, dia cantik, berpendidikan dan yang pasti dari keluarga terhormat. Daddy ingin melihat kedua anak Daddy bahagia sayang..." Ucap Marcus membelai rambut bergelombang milik Arabella.
"Kakak tak akan setuju Dad, Daddy tak tahu jika kakak mencintai Riv, dia bahkan bisa hancur jika Riv meninggalkan dia..." ucap batin Arabella sendu.
"Ada apa? Apa kau tak setuju Ara?" tanya Marcus yang mendapati Arabella terdiam dengan raut wajah sendu.
Arabella mendekati ayahnya yang duduk di kursi kerjanya, dia meletakan kembali surat lamaran itu.
"Daddy, jika aku mengatakan ini apa kau akan mencoba memahami semuanya?" tanya Arabella.
"Apa yang coba kau katakan Ara? Jangan bertele-tele." ucap Marcus yang melepas kacamatanya, dia kini memandang anak bungsunya dengan serius.
"Sesekali, tanyakanlah apa yang kakak rasakan Dad, Daddy tak pernah bertanya apapun pada Kakak... Bagaimana bisa Dady memahami kakak jika seperti ini? Kakak tak akan bahagia dengan lamaran itu. " ucap Arabella, lalu setelahnya dia keluar dari ruangan Marcus.
"Bram..." gumam Marcus.
Dia juga merasa jika dirinya sedikit lebih jauh dengan anak sulungnya, Bram.
"Baiklah, aku akan menanyakan hal ini secara langsung kepada Bram."
.
.
Di lain tempat saat ini Miky dan Gidion tegah menghabiskan waktu mereka dengan canda tawa, gurauan dan kebahagiaan.
"Ion? Kenapa rambut Miky dipotong?" Miky bercermin di cermin bulat yang memperlihatkan Gidion sedang memangkas dan memperpendek rambut silvernya.
"Orang-orang bisa salah mengenali dirimu nanti," ucap Gidion dengan kalem. Pemuda itu memangkas rambut Miky dengan sangat hati-hati. Ia takut jika gunting tajam itu menggores Mikynya. Mikynya? Hahaha.
"Eh?" Miky bingging, apa maksudnya salah mengenali? Bukankah Miky memang sedang bersembunyi selama ini? Dia bersembunyi dari Max.
"Kau semakin mirip perempuan dengan rambut yang semakin panjang ini Miky..." Ucap Gidion gemas sampai mencubit pelan pipi Miky.
"Sangat cantik..." bisik Gidion yang sontak membuat Miky marah dan kesal.
"TIDAK! MIKY ITU SAMA SEPERTI ION, MIKY JUGA COWOK!" Miky berteriak dan itu membuat Gidion semakin gemas akan kelakuan Miky.
Ah... Inikah yang disebut kemenangan tanpa usaha? Gidion memenangkan Miky. Tahu tidak? Ini benar-benar di luar ekspektasi, Gidion tak pernah menyangka jika ialah orang yang bersama Miky hampir tiga belas tahun ini. Bahkan keluarga Miky sendiri tak bisa melihat bagaimana Miky tumbuh menjadi semakin indah setiap harinya. Gidion seperti mendapat sebuah harta Karun di siang bolong yang terik.
"Aku tahu itu, tapi kau adalah lelaki yang manis. Sangat manis!" Ucap Gidion yang sudah berani mengecup pangkal hidung tinggi nan kecil milik Miky.
"Apa manisnya melebihi gula-gula?" Miky bertanya dengan tampang polosnya.
Gidion sedikit berfikir, Miky menanti apa yang akan Gidion ucapkan. sungguh ekspresi dan raut wajah Miky sangat mendukung untuk kau mendapatkan serangan jantung detik itu juga.
"Ya! Bahkan gula-gula tak ada rasanya jika dibandingkan denganmu, Miky!" Ucap Gidion yang membuat senyum lebar Miky kembali merekah.
"Terima kasih! Ion memang yang terbaik!" Ucap Miky yang masih memeluk erat Gidion.
"Aku memang yang terbaik, sejak duku bahkan hingga saat ini." ucap Gidion dengan bangga.
"Iya... Ion sangat baik dan yang paling terbaik!" ucap Miky sembari mengacungkan jempolnya.
Entahlah, apa mungkin Miky akan melupakan keluarganya? Max...?
Tiga belas tahun adalah waktu yang sangat lama, mungkin saja kan semua kenangan dan perasaan Miky pada keluarga perlahan memudar digantikan oleh Gidion?
Lihat saja nanti,tapi percayalah. Max tak akan pernah menyerah sebelum ia mampu membawa kembali Miky untuk ia dekap di sisinya. Max itu penuh ambisi apalagi jika itu berkaitan dengan kakak kembar kesayangannya, Miky.
Kabar baiknya, sesaat lagi mungkin saja Max akan kupertemukan dengan Miky. Namun, dalam kisah yang berbeda :)
Dan... Max akan memiliki saingan baru yang setara dengannya, Gidion, Gidion si oemuda baik hati yang ramah sebentar lagi akan kuubah menjadi monster kecil baru. Bukankah menarik saat dua
.
.
Hari ini adalah hari di mana Arabell dan Max akan berangkat menuju Norwegia, dan saat ini Arabell tengah mengunjungi Max untuk memastikan jika Max tak mengingkari ucapannya, dan ikut ke Norwegia bersama Arabell.
"Kak Max, apa kau yakin akan membawa koper sebanyak itu?" Arabella bertanya pada Max yang hanya diam memandangi tablet di tangannya.
Di sudut ruangan kamar Max, sudah terdapat lebih dari tiga buah koper berukuran besar, masalahnya mereka ke Norwegia hanya paling lama satu Minggu kan? Namun mengapa Max membawa sebanyak itu?
Padahal setahu Arabell, Max adalah tipe pria yang sangat tak menyukai sesuatu yang terlalu ribet, membawa koper sebanyak itu kan cukup menyusahkan.
"Hmn." Max hanya berdehem menanggapi Arabell yang masih dibuat heran akan sikap Max hari itu.
Arabella sedikit berfikir lagi, jarang Max mau terlihat ribet seperti sekarang ini. Biasanya Max bahkan tak akan mau membawa tas atau apapun bahkan saat berpergian lintas negara.
"Tak seperti biasanya." gumam Arabella.
"Aku yakin kau ada di sana kak, aku akan membawamu sebentar lagi, jadi tunggulah Maxmu ini, kak Miky." batin Max.
Arabella menatap kepada Max, orang yang akan menjadi masa depannya. Dia dan Max akan menikah dan itu semua pasti, tapi mengapa Arabella semakin ragu? Tidak. Arabella tahu dari awal jika Max memang tak tertarik dengan hubungan ini, namun Arabella tetap dalam pendirianya, jika Tuhan dan takdir telah menggariskan mereka untuk bersama maka Arabella akan menjalani semua itu.
Walau sesuatu di dalam hati Arabella selalu saja menolak, ada hal yang masih belum Arabell pahami tentang hati dan perasaannya sendiri.
Ketahui ini, Arabella terlalu dewasa di usianya, dia sudah melewati banyak hal, dan juga pikirannya yang luas dan kompleks serta sikapnya yang selalu mengalah dan mengorbankan rasa bahagia dan kesenangan miliknya untuk orang lain. Itulah yang Arabell lakukan hingga detik ini.
"Permisi. Tuan, Nona," ketukan pintu terdengar, di sana Lia berdiri dengan membawa nampan berisi kopi hitam pekat yang sama sekali tak memiliki rasa manis dan juga teh bunga Rosella yang harum. Gadis muda dengan pakaian hitam putih khas maid itu meletakkan nampan beserta minumannya di nakas samping Arabella.
"Ini kopi anda tuan Max, dan ini untuk nona Ara, " ucap Lia dengan menunduk, aura yang Max pancarkan membuat Lia bergetar ketakutan.
"Terima kasih, Lia." ucap Arabella dengan senyumannya. Arabell tahu Lia begitu takut kepada Max, sebenarnya bukan hanya Lia, namun semua pelayan sangat segan dan takut akan kehadiran Max.
Lia balik menatap Arabella dan dia tersenyum hingga matanya berbentuk bulan sabit, "sama-sama nona Ara. Saya permisi dulu." ucap Lia dan kemudian dia pergi setelah itu.
Tatapan mata Lia, mata bulan sabitnya. Mengapa Ara merasa ada banyak kupu-kupu yang hinggap di dalam sana?
.
.