"Kak! Jika Mom dan Dad tahu kau akan diusir dari sini!"
"Aku tak perduli, aku tak bisa menahan ini lebih lama,"
"Kak, kumohon... Beri aku waktu, aku akan membicarakan ini dengan mereka, setidaknya meyakinkan mereka tentangmu dan semua yang kau rasakan..."
"Ara, aku- aku tak bisa kehilangan Riv, tidak..." Pemuda yang kini terduduk dengan wajah frustasi itu nampak meremat jemarinya.
"Kak..." Arabella, ya, gadis yang mencoba membujuk pemuda tadi adalah Arabella. Dan pemuda yang frustasi tadi adalah Bram. Iya, Bram.
"Hisk... Aku- aku tak bisa Ara, kau tahu kan? Selama ini... Aku-" Bram menangis sambil menutup wajahnya. Dia terlalu tak mengerti dengan apa yang ia lalui. Apa yang ia rasakan.
Kalian menganggap apa? Apa kalian pikir Bram itu mirip dengan Max? Hah? Iya tapi dulu, dulu sekali sebelum Bram menemukan jati dirinya yang saat ini.
Lihatlah saja nanti.
"Aku tahu kak, cintamu, perasaanmu... Ini semua tak salah, aku berjanji akan meyakinkan mom dan dad... Aku akan membuat mereka mengerti tentangmu... Jadi jangan gegabah sampai waktu itu tiba oke? Aku akan berusaha kak..." Arabella memeluk tubuh kakaknya. Tiga belas tahun berlalu tanpa mampu siapapun prediksi.
Arabella? Apa kalian pikir dia masih dan akan tetap sama seperti Arabella polos yang dulu? Senyumnya masih manis, wajahnya masih cantik, suaranyapun masih merdu. Tapi, Arabella lebih dari itu, dia tumbuh dengan melihat banyak sekali hal yang berbeda. Benar. Arabella tumbuh menjadi gadis dengan mental terbaik. Jujur, dia si baik yang juga kuat dan berani. Bisa kalian katakan jika Arabella adalah gadis dengan porsi Feminim dan Maskulin sepadan. Arabella memiliki kedua sisi itu dengan sama rata.
"Kau berjanji Ara? Kau akan meyakinkan mom dan dad?" Bram melepaskan pelukan adiknya. Ditatapnya adik perempuannya itu dengan tatapan sendu. Arabella jauh lebih dewasa dan kuat ketimbang Bram.
"Ara... Huh, kakak merasa malu pada-"
"Kak, jangan lagi... Kau kakakku, jangan malu padaku. Kumohon."
"Kau benar... Adik manis kakak sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik..." ucap Bram dan kemudian ia mulai mengecup bibir sang adik dengan lembut.
Di saat Bram mengulum bibir adiknya tanpa ia sadari ada seseorang di balik pintu yang melihat tindakannya.
"Ekhm." Pemuda yang berada di depan pintu berdehem untuk menyadarkan Ara dan Bram.
Baik Ara dan Bram langsung menyudahi aktivitas mereka. "Riv!" Dengan suara ceria Bram mendekati Riv dan memeluk pemuda berkulit tan itu dengan erat.
"Baiklah kak Riv, tolong hibur kakakku ini ya, dia menangis seperti anak bayi tadi." Ucap Arabella dengan candaan dan kemudian gadis cantik itu keluar dari kamar Bram.
Suasana remang dan suara hujan di luar membuat keadaan semakin intim diantara Bram dan Riv. Kini mereka berdua tengah terduduk di depan perapian, hanya berdua. Mereka menikmati hangatnya pancaran dari perapian.
"Apa kau menangis seperti anak bayi lagi Bram?" Riv bertanya sembari mengamati mata, hidung, bibir- ah! Wajah Bram.
Bram mengangguk lalu sedetik kemudian dia menjatuhkan kepalanya di pundak lebar milik Riv. "Aku ingin mengatakan tentang kita pada mom dan dad, tapi kau tahu kan? Apa yang sudah pasti terjadi?" Tanya Bram dengan sendu.
"Mereka tak akan bisa menerima ini. Kita..." sambung Riv dengan fokus pada bara api di depannya.
"Aku tak ingin kehilanganmu, aku ingin terus bersamamu Riv-" Bram kini menatap dalam pada wajah rupawan Riv.
Riv, pemuda berkulit tan dengan wajah rupawan. Dia salah satu prajurit andalan ayahnya. Dia adalah tangan kanan ayah dari Bram. Tuan Marcus.
"Bram..." panggil Riv dengan lirih, dia membingkai wajah Bram dengan kedua telapak tangannya.
"Aku tak paham tentang semua ini... Lagipula kita tak setara... Kau adalah bangsawan, darah biru. Sedangkan aku hanya orang beruntung yang bisa menjadi kaki tangan tuan Marcus. Aku-"
"Riv!" Sedetik kemudian Bram langsung melumat bibir milik Riv. Dia tak ingin Riv berbicara lebih jauh tentang hal itu. Bram tak suka mendengarnya.
"Nghhh.... Mmmmm... Cup..."
Bibir mereka saling mengait, menikmati setiap jengkal rongga masing-masing. Membiarkan malam sunyi dan bara api memerah menjadi saksi cinta mereka.
"Give me more... More!" Riv tak lagi mampu menahan gejolak yang hadir. Dia langsung membawa Bram ke ranjang. Menindihnya dan terus menyusuri rongga basah dengan bibir plumnya.
"I'm yours Bram." Ucap Bram dengan suara seduktif.
***
Pagi begitu cepat datang. Hmm. Akan kubuat hari ini mendung! Itu mengagumkan!
"Aku tak mau tahu, aku akan berbicara langsung pada kak Max. Lia, percayalah padaku, aku bisa mengatasi kak Max." Ucap Arabella yang kini tengah dicegat oleh Lia si pelayan.
Ara berniat untuk memberitahu pada Max tentang undangan pernikahan sepupu jauhnya. Mereka mengundang Max dan Arabella untuk datang sebagai perwakilan keluarga. Tentu saja Arabella senang. Ia jadi memiliki alasan untuk mendekati Max. Walau sebenarnya Arabella tahu jika mendapatkan hati Max bukanlah hal yang mudah. Arabel tahu Max tak akan pernah mencintai dirinya, tapi ia tetap harus mengorbankan perasaan dan bahkan hatinya untuk mengalah. Benar. Jodoh, perjodohan antara dirinya dan Max itu sudah ditakdirkan. Itulah yang Arabel tahu.
"Tapi nona, aku tak-"
"Shut..." Arabella menaruh jemarinya di depan bibir tipis milik Lia, sembari tersenyum ia menjelaskan pada Lia untuk tenang.
"Aku akan baik-baik saja, lagipula kau tahu aku kan Lia? Aku ini ahli bertarung loh... " Ucap Arabella menyombongkan diri. Tapi itu faktanya. Arabella bahkan adalah salah satu putri bangsawan dengan kemampuan bertarung yang tak main-main. Ia begitu handal walau faktanya ia perempuan.
"Sudahlah... Aku akan segera menemui Max dan kembali lagi kesini. Kemarin aku sudah berjanji padamu untuk mengajarimu caranya membaca kan? " tanya Arabella dengan memegang pundak Lia. Lia mengangguk.
"Baiklah nona... Tapi jangan terluka. Hati-hatilah, kondisi hati tuan Max itu sangat tak bisa diprediksi..." ucap Lia dengan sedih.
"Oke...oke... Dah... Aku pergi dulu Lia!" Lalu setelahnya Arabella melangkahkan kakinya menemui Max yang ia yakini masih berada di kamarnya.
Ya... Tiga belas tahun itu waktu yang cukup panjang. Arabella bahkan sudah hafal setiap sudut di mansion mewah milik keluarga Max.
Dengan mengetuk pintu kamar Max sebanyak tiga kali Arabella kemudian masuk dan mendapati kamar Max yang kosong.
"Loh? Di mana dia?" gumam Arabella sambil menelisik kamar kosong itu.
"Kak Max... Kak Max...?" Arabella terus berjalan ke sebuah meja kerja Max. Entahlah ia hanya ingin. Terkadang rasa penasaran itu sangat amat memuakan. Tapi karena penasaran itulah tak jarang ada banyak sekali hal baru yang mungkin saja bisa terungkap.
"Eh? Ini... Gambar siapa?" Arabella tak sengaja melihat lukisan cat air yang warnanya sedikit memudar terselip di buku agenda milik Max. Katakanlah itu tak sopan, tapi Arabella itu adalah gadis yang memiliki rasa keingintahuan tinggi.
"Wah... Dia tampak manis, matanya juga indah... Heterochromia. " ucap Arabella.
"Apa yang kau lakukan!" hardik Max yang tiba-tiba sudah berada di belakang Arabell dan merebut lukisan Miky dari tangan Arabell.
"Ah? Anu, Kak Max maaf... Aku kemari dan kamarmu sepi, jadi-" belum sempat Arabell mengatakan alasannya, Max sudah terlebih dahulu memotong kalimat itu.
"Tak sopan!" desis Max.
"Pergilah! Jangan pernah lagi masuk ke kamarku!" usir Max tanpa melihat kepada Arabella.
Arabella menggeleng. Dia memutuskan untuk duduk di ranjang milik Max. Ranjang dengan seprai berwarna hitam pekat dengan taburan emas di beberapa bagian. Ahahahaha. Dia kaya.
"Kau tuli?!" Max berbalik dan memandang Arabella dengan benci. Sungguh! Demi apapun, Max sangat ingin membatalkan dan memutuskan hubungannya dengan Arabella. Hei! Arabell itu sempurna dia begitu amat sangat sempurna untuk seukuran gadis muda. Lantas bagaimana bisa Max tak jatuh cinta padanya? Sederhana, Max hanya dan akan memberikan hatinya, bahkan hidupnya hanya untuk Miky.
"Kau tak melihat bahkan membaca surat yang kutitipkan pada Lia tempo hari," ucap Arabella.
Max memilih abai. Ia ingin sekali merobek mulut Arabell. Tapi tidak, itu akan menambah masalah. Dia tak ingin ada masalah baru, karena ia ingin fokus untuk mencari dan menangkap kakak manisnya yang bersembunyi layaknya kelinci! Sangat lihai.
"Kak Max, ayo ke Norwegia. Sepupu jauhku, Kak Mica akan menikah dan kita diundang sebagai perwakilan keluarga." ucap Arabella dengan lancar.
"Aku tak mau." jawab Max datar. Ia sedang memilih kemeja dan setelan jas yang akan ia pakai, karena saat itu Ia baru selesai mandi dan mendapati Arabella yang sudah ada di kamarnya dan dengan lancang menyentuh lukisan Miky yang berharga.
"Tapi ini harus kak. Ayolah, kumohon." pinta Arabell yang kini mendekati Max yang sedang berkaca sambil membenahi kancing kemeja hitamnya.
"Apa peduliku?!" ketus Max.
"Tapi kak aku tak mungkin pergi tanpamu, itu sangat jauh. Di Norwegia-" setelah mendengar kata Norwegia, Max kini memfokuskan dirinya kepada Arabell.
"Norwegia?" tanya Max memastikan yang ia dengar barusan.
"Iya kak, Norwegia..." jawab Arabell.
Max diam dan berfikir, rencananya memang dia akan mulai mencari keberadaan Miky di Eropa Utara. Tak salahkan memilih Norwegia sebagai tempat pertama? Haha.
"Baiklah." ucap Max dengan singkat.
Arabella membulatkan matanya tak percaya. Ia pikir membujuk Max akan sangat sulit dan membutuhkan waktu dan tenaga ekstra, tapi ini bahkan belum sepuluh menit. Sebuah keajaiban!
"Kau tak bohong kan kak?!" tanya Arabell memastikan.
"Hm. Jangan ganggu aku sekarang. Pergilah dan jangan pernah memasuki kamar ini lagi!" ucap Max memandang sengit pada Arabella yang balas tersenyum cantik pada Max.
"Terima kasih kak! Lusa esok pagi kita akan berangkat, jangan lupa okey?!" Setelah mengatakan itu akhirnya Arabella keluar dari sana.
Max tersenyum menatap lukisan Miky yang ia buat. Wajah kakak kembarnya saat usia Miky lima tahun. Karena Max memang hanya menyaksikan lima tahun Miky, namun tenang tiga belas tahun perpisahan tak akan membuat Max melupakan wajah kakaknya yang begitu ia puja.
"Hah. Ini terlalu lama kak.Tiga belas tahun, dan aku akan menjamin setelahnya kau tak akan kuizinkan bertemu lagi dengan matahari. Kau hanya akan ada selalu bersama diriku. Hanya aku. Aku begitu merindukanmu kak..." Max menciumi permukaan lukisan itu.
"Kuharap kali ini adalah kesempatan ajaibku. Kuharap aku akan segera menemukan dirimu..." gumam Max lirih.
"Dan kupastikan untuk membuatmu tak berdaya dan kau hanya akan bergantung pada Maxmu ini kak." lalu muncullah senyuman iblis dari wajah tampan Max. Tampan namun mengerikan.
"Please wait for me... My white Twins..." desis Max dengan mata merah kelamnya yang semakin kelam.