"Tidak perlu menuntut keadilan karena tak akan pernah ada keadilan mutlak di dunia bagi orang yang tidak pernah bersyukur atas apa yang dimilikinya."
- Vikram Andreyson
***
Guru itu memberikan respon atas laporan Grace. "Laura? Dia menghadiri kelasku sekarang?"
"Ya, Pak! Laura sering bolos pas jam pelajaran Bapak, tapi sekalinya hadir, dia cuma numpang tidur di kelas!" Grace semakin gencar membeberkan keburukan Laura pada guru tersebut.
Sebenarnya semua siswa di kelas tersebut sudah mengetahui kebiasaan Laura. Laura sering berangkat terlambat ke sekolah dan masuk ke kelas pada jam pelajaran kedua sehingga selalu melewatkan jam pelajaran pertama. Jadi, tak hanya tidak menghadiri mata pelajaran yang diajar guru yang sekarang, tetapi semua mata pelajaran yang diajar oleh guru pada jam pelajaran pertama.
Satria, guru yang saat ini sedang mengajar di kelas tersebut seketika menaruh banyak perhatian pada ucapan Grace. Dia mengamati Grace dan Laura secara bergantian sebelum terkekeh geli.
"Grace, tidak usah pedulikan Laura. Biarkan dia tidur sepuasnya." Pak Satria kembali melanjutkan aktivitasnya yaitu menulis rangkuman materi di papan tulis.
Grace berdiri dengan perasaan tidak terima. Dia membelalakkan mata, tak percaya mendengar respon Pak Satria yang begitu tidak terduga. Tak hanya Grace, semua yang mendengarnya pun merasa bahwa respon Pak Satria terkesan memberikan perlakuan istimewa pada Laura.
"Pak, itu tidak adil! Di saat kami semua menyimak pembelajaran dengan baik, kenapa hanya Laura yang diperbolehkan untuk tidur?! Dia pun harus melakukan hal yang sama dengan yang kami lakukan!" Grace berkoar-koar menuntut keadilan seakan ucapannya menjadi perwakilan dari seisi kelas yang tak berani membuka suara sepertinya. Padahal, Grace hanya ingin mendatangkan masalah untuk Laura. Dia benar-benar tak terima dipermalukan oleh Angkasa hanya karena Laura.
"Ck, berisik! Lo pikir gue beneran tidur?! Dasar bodoh! Telinga gue masih berfungsi sehingga gue masih bisa mendengar semua penjelasan dari Pak Satria!"
Baik Grace maupun yang lainnya, pandangan mereka tertuju pada sumber suara yang tidak lain adalah Laura. Laura saat ini masih dalam posisi yang sama, berbaring dengan mata terpejam. Namun, mulutnya tetap mengeluarkan kata-kata seakan sejak tadi dia mendengarkan semua keributan yang terjadi di kelas tersebut.
Grace berdecih sinis. Jelas dia tak percaya dengan setiap omong kosong yang keluar dari mulut Laura yang entah sudah berapa kali berciuman dengan para pria sampah. "Lo pikir semua yang mendengarnya akan percaya dengan omong kosong lo itu?"
Laura terdiam sejenak membuat Grace merasa puas karena mengira Laura telah kalah telak setelah mendengar ucapannya. Namun, bukan Laura jika dia tidak memberikan kejutan dalam setiap hal yang dilakukannya.
"Angsa, lo percaya sama ucapan gue?"
Angkasa mengerjapkan mata. Tanpa perlu bertanya, dia akan selalu mempercayai setiap ucapan yang keluar dari mulut Laura. "Aku selalu mempercayaimu, Laura."
"Tuh, Angsa percaya sama ucapan gue. Jadi, enggak semua orang menganggap ucapan gue omong kosong!"
Grace menggeram marah saat mendengar ada kesombongan dalam nada bicara Laura. Dia tak suka setiap kali Laura bertindak seakan semua orang yang berada di bawahnya pantas untuk diinjak-injak.
"Angkasa masih baru. Dia mungkin enggak mengenal lo dengan baik sehingga percaya sama semua yang lo katakan!" Grace berusaha untuk semakin menyudutkan Laura.
Respon Laura masih tetap tenang seperti sebelumnya seakan dia tak merasakan ancaman sedikitpun dari sosok Grace. "Vikram, lo percaya sama ucapan gue sebelumnya?"
Vikram tersentak karena pertanyaan tiba-tiba dilemparkan padanya. Dia meringis dengan raut wajah rumit. "Uh... Sebenarnya, gue enggak percaya. Makanya gue bangunin lo tadi, Laura."
Alis Laura meruncing tajam. Respon Vikram terlalu jujur sampai rasanya Laura ingin mencekik pria itu agar mau melontarkan sedikit kebohongan. Laura mendesis disertai nada mengancam. "Vikram,... gue bunuh lo!"
Vikram seketika panik. Dia tahu bahwa responnya ternyata salah karena memancing kemarahan Laura. Pria itu buru-buru menyanggah ucapannya yang tak sampai beberapa saat yang lalu dia lontarkan. "Ah! Gue mendadak percaya sama ucapan Laura! Ha-ha-ha..."
Grace tercengang. Tawa Vikram yang terdengar kaku sudah menunjukkan bahwa dia terpaksa mempercayai Laura. Padahal sudah bagus jika Vikram tak mempercayai Laura agar rencana Grace dalam menyudutkan Laura berjalan lancar.
"Vikram! Jelas-jelas lo sebelumnya bilang kalau lo enggak percaya sama Laura!"
Vikram mengalihkan pandangannya ke arah lain, berusaha menghindari tatapan menusuk dari Grace. "Huh? Siapa yang bilang begitu? Gue percaya kok sama Laura!"
"Berhenti berdebat! Kalian membuat suasana kelas menjadi kacau!" Pak Satria memberikan teguran keras karena kelas menjadi ricuh. Dia melemparkan tatapan tajam pada mereka yang sebelumnya terlibat dalam perdebatan.
Tatapan Pak Satria terhenti pada Grace yang menunjukkan wajah seolah tak ingin melepaskan masalah ini dengan mudah. "Terutama kamu, Grace! Laura ku biarkan tidur karena walaupun dia terlihat bermalas-malasan, nilainya pada mata pelajaran yang selalu dia lewatkan tidak pernah buruk! Dia selalu mendapatkan nilai sempurna bahkan saat dia tertidur di kelas!"
Grace menggertakkan gigi. Bahkan Pak Satria membela perempuan busuk seperti Laura. "Tapi, Pak, ini tidak adil!"
"Tidak adil?! Kamu menuntut keadilan, Grace?! Oke, kalau kamu ingin keadilan, maka aku pun akan melakukan hal yang sama! Aku menuntut kalian agar mendapatkan nilai sempurna seperti Laura! Tidakkah itu adil untuk kalian semua?!"
Wajah seluruh siswa memucat. Mereka mengetahui bahwa hanya Laura satu-satunya orang yang bisa mendapatkan nilai sempurna di kelas mereka. Vikram juga sebelas dua belas dengan sosok Laura karena pria itu pun memiliki nilai yang sedikit di bawah Laura.
Entah harus belajar sekeras apa untuk bisa mendapatkan nilai sempurna, tentunya itu beban yang sangat memberatkan pikiran mereka yang tak sepintar Laura maupun Vikram.
"Oh, tidak perlu berlaku adil, Pak! Kami tidak akan mempermasalahkan perihal kelakuan Laura!"
"Ya, Pak! Tidak perlu mendengarkan kata-kata Grace! Kami sudah cukup puas dengan keadilan saat ini!"
Siswa-siswi yang lain mulai membuka suara dan menatap memperingati Grace untuk menutup mulutnya. Mereka yang akan kerepotan jikalau Pak Satria benar-benar menuntut nilai sempurna.
Grace marah karena tak ada satupun yang berdiri di pihaknya. Dia akhirnya menyerah dan kembali duduk dengan kebencian yang semakin bertambah untuk Laura.
"Heh, sejak tadi seharusnya kalian berhenti menuntut keadilan! Untuk Laura, saat jam istirahat pertama, pergilah ke ruang guru untuk menemuiku!" Pak Satria mendengus dingin melihat ekspresi murid-murid di kelas tersebut tampak kelabakan. Dia melirik Laura yang masih dalam posisi yang sama.