Chereads / Dear Angkasa : My Pet Boyfriend / Chapter 20 - 19. Hobi Aneh Laura

Chapter 20 - 19. Hobi Aneh Laura

"Di dunia ini, tak peduli seberapa keras perjuangan yang dilakukan untuk bertahan hidup, pada akhirnya orang lain akan tetap mencari celah untuk menginjak-injak semua perjuangan yang dilakukan."

- Laura Chintya Bella

***

Pak Satria mendesah lelah. Dia telah mengamati sosok Angkasa sejak di kelas. Pria itu terlihat memiliki keanehan yang sama seperti Laura. Walaupun dari sorot mata pria itu, Angkasa terlihat seperti murid yang rajin. Sayangnya, ada satu hal yang mengganggu pandangan Pak Satria.

"Tato di lehernya, apa tidak sebaiknya dihilangkan? Laura, murid-murid pasti akan mengajukan keluhan pada BK karena tato di leher Angkasa."

Sorot mata Laura berubah menjadi datar. "Pak Satria, saya tidak ingin ada keluhan dari para guru mengenai tato di lehernya. Cukup terima kehadirannya di sekolah ini dan jangan pernah sekalipun menanyakan perihal masa lalunya. Sebagai gantinya, saya dapat menjamin bahwa dia tidak akan memberikan reputasi buruk pada sekolah ini karena dia akan menjadi siswa yang sepintar saya."

Pak Satria menelan ludah kasar. Atmosfer di ruangan tersebut menjadi mencekam setiap kali Laura berada pada sebuah ruangan. Dia dapat merasakan tatapan dari beberapa guru yang diam-diam mendengarkan interaksinya dengan Laura. Tanpa menoleh, Pak Satria juga sudah tahu bahwa guru-guru tersebut memberikan isyarat agar dirinya berhenti memulai perdebatan dengan Laura.

Pak Satria melambaikan tangannya dengan pasrah. "Baiklah, kamu boleh pergi. Aku menantikan prestasi yang akan diberikan oleh Angkasa."

"Baik, Pak." Laura kembali melanjutkan langkahnya untuk keluar dari ruang guru.

Ketika Laura telah keluar sepenuhnya dari ruang guru, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang tergeletak di tanah. Kakinya melangkah mendekati objek yang menarik perhatiannya.

Laura berjongkok di depan objek tersebut dengan sorot mata yang redup. Objek yang tergeletak di tanah merupakan sebuah burung merpati kecil. Bulu-bulu putihnya dihiasi dengan noda darah. Tubuh merpati kecil tersebut bergetar di antara rasa sakitnya. Mata merpati kecil tersebut tertutup rapat seolah menantikan kematian yang hendak datang.

"Merpati kecil yang sekarat." Laura bergumam sembari mengamati betapa sengsaranya merpati kecil tersebut dalam menantikan kematiannya.

Laura mengulurkan tangannya, meraih sayap merpati tersebut yang terkulai. Tampaknya sayapnya patah karena menabrak pohon dan terluka parah. "Sepertinya kau baru pertama kali belajar terbang. Sangat disayangkan kau harus menemui akhir yang menyedihkan saat baru memulai awal yang baru."

Tatapan Laura menggelap begitu menatap darah yang mengering di tanah. "Haruskah... aku menemanimu sampai kau benar-benar mati?"

Ini menyenangkan. Melihat makhluk hidup sekarat di depan matanya merupakan hobi aneh Laura. Perasaan hampa yang selalu bersarang di hatinya akan menghilang sedikit demi sedikit saat mengamati proses kematian sebuah mahkluk hidup.

Tak jarang ada pikiran yang menyuruhnya untuk melakukan hal yang sama seperti yang dialami oleh makhluk hidup yang disaksikannya. Laura terkadang memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidupnya yang tidak berharga baginya. Jujur, dia tak memiliki gairah untuk hidup. Dia bahkan tak segan-segan menyayat tangannya dengan cutter untuk memastikan bahwa dirinya masih hidup.

Bukannya merasa sakit, tindakan itu justru membuat Laura setidaknya merasakan sedikit gairah kehidupan. Dia bahkan tak tahu, sebenarnya untuk apa dia hidup? Oleh karena itu, dia membutuhkan seseorang yang bisa digunakan sebagai alasannya untuk tetap hidup.

"Hei, Laura, lama tidak bertukar sapa denganmu! Apa kamu merindukanku?" Suara pria terdengar di telinga Laura bersamaan dengan sebuah tangan yang memeluk pinggangnya.

Laura melirik pria di sampingnya yang merupakan kakak kelas di sekolahnya. Dia menyipitkan mata disertai senyum miring yang terukir di bibirnya. "Kak Rangga, lama tidak bertemu."

Rangga menyeringai, matanya tak lepas mengintip ke seragam Laura yang dua kancing teratasnya terbuka. Matanya berkilat ketika melihat dua gundukan yang tercetak di celah kancing seragam yang terbuka.

Rangga menelan ludahnya dengan susah payah, membuat jakunnya terlihat naik turun. "Laura, kamu selalu seksi seperti biasa. Ku dengar kamu membawa pria lain bersamamu selain Vikram. Apa dia mainan barumu?"

Laura tak berniat menyingkirkan tangan yang melingkar di pinggangnya. Dia justru merasa senang bermain-main dengan sikap nakal seniornya. "Kak Rangga, untuk apa kamu penasaran dengan pria yang ku bawa? Kamu di sini bukan untuk mencari tahu tentang pria itu, 'kan?"

Rangga meringis, dia merasakan hawa dingin di punggungnya. Sepertinya Laura tak ingin Rangga mengungkit pria itu. "Ah, aku tidak peduli tentang pria itu. Tentu saja aku ke sini untukmu, Laura. Bisakah kamu memberiku kesempatan untuk 'bermain' denganmu? Ini akan menyenangkan untuk kita berdua."

Laura terkekeh geli. Dia menoleh ke arah Rangga dan bertatapan dengan sorot mata pria itu yang memancarkan gairah membara. "Bermain apa? Ku harap ini akan menyenangkan..."

Rangga menjilat bibirnya dengan gerakan sensual. Bibirnya mendekat ke telinga Laura dan berbisik dengan suara rendah. "Permainan apapun yang pastinya tidak akan membosankan untuk kita, Laura..."

Laura berdiri diikuti oleh Rangga. Tangan Rangga kembali memeluk pinggang Laura, menarik gadis itu agar semakin menempel di tubuhnya. Rangga mengendus-endus aroma Laura di ceruk leher gadis itu layaknya anjing yang sedang birahi. Wajahnya yang memerah disertai gerakan menelan ludahnya sungguh menunjukkan betapa kerasnya Rangga menahan hasratnya terhadap Laura.

Laura memandangi merpati kecil yang sedang sekarat di tanah. Merpati itu belum mati, seperti Laura yang masih hidup tetapi selalu merasa sekarat setiap harinya. Dia yang ingin menemani merpati kecil itu sampai kematian menjemput, sayangnya tak bisa dilakukan.

( "Pada akhirnya yang tidak berdaya akan selalu ditinggalkan." )

Laura mengalihkan atensinya pada Rangga sepenuhnya. Tangannya meraba punggung Rangga, membuat gerakan seakan memeluk pria itu. Ketika bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tatapan Laura menangkap sosok yang familier mendekat dari kejauhan.

Laura memicingkan mata, kekehan mengerikan keluar dari mulutnya. Sosok familier yang sedang berjalan di koridor menuju ruang guru tidak lain adalah Angkasa. Pria itu berjalan sendirian sembari memandangi setiap ruangan yang dilewatinya untuk memastikan tidak salah dalam menemukan ruang guru yang menjadi tujuannya.

Angkasa belum menyadari akan keberadaan Laura yang berada tak jauh di depannya bersama Rangga. Hal ini membuat seringai lebar terbit di bibir Laura.

"Ayo, kita 'bermain', Kak. Ini akan sangat menyenangkan untuk mencobanya..." Laura berbalik membelakangi Angkasa yang tak jauh di belakangnya.

Rangga berjalan bersama Laura menuju sebuah tempat yang sepi. Pria itu sebenarnya tak menyangka bahwa hari ini Laura akan menurut saat diajak bermain-main olehnya. Biasanya, gadis itu hanya memandang Rangga dengan tatapan dingin tanpa memberikan respon sedikitpun atas ajakan mesumnya. Namun, anehnya Laura tak menolak setiap kali Rangga atau bahkan pria cabul lain menyentuh tubuhnya.

Sayangnya, setiap kali Rangga ingin menyentuh bagian tubuh Laura yang seharusnya tak sembarang disentuh, ada seseorang yang selalu menghalanginya. Vikram, pria yang selalu menempel ke manapun Laura pergi akan menggagalkan rencana Rangga untuk memanfaatkan kesempatan ketika Laura tak menunjukkan penolakan atas sentuhannya.