"Rasanya sangat sulit mengendalikan kegilaan yang sudah melekat dalam diriku dan menyatu dengan pikiranku."
- Angkasa Ardiansyah
***
Rangga mendengus dingin. Dia bersorak dalam hatinya, merasa telah memenangkan tempat pertama sebagai pria yang berhasil 'bermain' dengan Laura. "Heh, untungnya tak ada Vikram yang akan mengganggu aktivitas gue dengan Laura! Sekarang, gue akan menjadi orang pertama yang menikmati tubuh seksi Laura!"
Di sisi lain, Angkasa yang sedang menyusuri koridor menuju ruang guru, mengalami kesulitan karena terlambat menjemput Laura sesuai dengan waktu yang ditentukan kekasihnya tersebut. Angkasa terlambat dikarenakan dia harus menghabiskan waktu untuk mengamati setiap ruangan yang dilewatinya di koridor agar tak salah memasuki ruangan.
"Aku harap Laura tidak marah karena aku terlambat datang. Aku tidak ingin dia mengungkit perihal akan membuang ku ke tempat itu." Angkasa bergumam resah. Wajahnya memucat, membayangkan kemungkinan terburuk bahwa Laura akan membuang ke Rumah Sakit Jiwa, tempat awal Laura menemukan Angkasa.
Angkasa akhirnya menemukan ruang guru yang sejak tadi dicarinya. Sebuah papan yang menggantung di atas pintu bertuliskan 'Ruang Guru' yang membuat Angkasa mengetahui bahwa dia telah menemukan tempat yang dituju.
Kepala Angkasa melongok ke dalam ruang guru yang pintunya terbuka. Dia mengamati ruangan tersebut yang dipenuhi oleh guru-guru yang sedang beristirahat dan tampak berbincang-bincang dengan guru-guru yang lain. Sejauh mata memandang, Angkasa tak mendapati sosok Laura sehingga dia mengerutkan kening dalam kebingungan.
"Huh? Kenapa Laura tidak ada?" Angkasa memastikan kembali keberadaan Laura di dalam ruang guru dan tetap tak menemukan tanda-tanda keberadaan kekasihnya itu.
Oleh karena itu, Angkasa beralih mengamati bagian luar ruang guru. Bukannya mendapati sosok Laura, pandangan Angkasa justru menangkap objek berdarah yang tergeletak di tanah. Merpati putih yang sekarat, Angkasa tiba-tiba tertarik akan objek tersebut.
Manik mata Angkasa seketika berbinar saat matanya melihat warna merah darah yang menodai bulu putih merpati kecil yang sedang sekarat. Belum lagi darah yang menggenang di sekitar merpati itu membasahi tanah dan hampir mengering.
Napas Angkasa menjadi terengah-engah. Darahnya berdesir meninggalkan rasa panas di dadanya. Reaksi Angkasa selalu seantusias ini jika melihat adanya darah yang mengalir dari sebuah makhluk hidup. Perasaan menggelitik perutnya ketika hidungnya mencium bau darah yang membangkitkan segala keanehan yang berusaha dia pendam jauh-jauh dalam dirinya.
"Betapa cantiknya..." Angkasa mengagumi merpati putih yang bulunya ternoda darah. Manik matanya benar-benar memancarkan sorot kekaguman dengan bibirnya yang bergetar berusaha menahan senyum.
Tangan Angkasa terulur pada merpati yang napasnya semakin melemah. Jari-jari Angkasa bergetar saat menyentuh bulu berdarah milik merpati tersebut. Jantungnya berdetak kencang ketika berhasil menyentuh darah yang menghiasi bulu merpati tersebut.
"Lebih banyak darah akan lebih cantik..." Angkasa tak bisa lagi menahan senyum di bibirnya. Tidak, itu bukan senyum yang menggemaskan, melainkan senyum mengerikan predator saat menikmati mangsanya yang tak berdaya di tangannya.
Jari-jari Angkasa yang bergetar memiliki kuku yang panjang. Angkasa menempatkan tangannya di leher merpati itu yang semakin melemah setiap detik berlalu. Dengan senyum menghiasi bibirnya, Angkasa mencengkeram leher merpati kecil itu dengan kuku ibu jarinya yang menekan leher merpati tersebut.
Kuku pada ibu jari Angkasa cukup tajam sehingga dapat melubangi leher merpati tersebut. Darah mengucur dari leher merpati kecil itu yang mati dalam sekejap mata begitu lubang tercipta di lehernya. Darah dari lubang di leher merpati itu mengotori tangan Angkasa dan bulu merpati itu yang semakin bernoda darah.
"Wah,... sangat cantik..." Angkasa semakin gembira dengan darah yang mengotori tangannya.
Clang... Clang... Clang...
Seakan telah dirasuki oleh sesuatu, tiba-tiba kegembiraan yang memenuhi hati Angkasa seketika sirna ketika telinganya mendengar suara benda yang menggelinding di lantai koridor. Senyum di bibir Angkasa menghilang begitu menyadari bahwa dia sedang bersenang-senang dengan merpati kecil yang telah mati.
Tangan Angkasa seketika melepaskan merpati itu. Tenggorokan Angkasa mengering, pupil matanya bergetar dengan penuh kepanikan. "T-tidak... A-aku tidak seharusnya menikmati hal mengerikan ini!"
Ini tidak normal! Angkasa sejak awal tidak normal sehingga dulu ayahnya mengirimnya ke rumah sakit jiwa!
Angkasa selalu memiliki reaksi aneh setiap kali melihat makhluk hidup berhiaskan darah di tubuh mereka. Sensasi saat hidungnya mencium aroma darah membuat tubuhnya memanas dan ingin melihat lebih banyak darah menghiasi tubuh makhluk hidup tersebut.
Tak heran ketika pertama kali bertemu dengan Laura, Angkasa membuat luka di lengan Laura yang kembali terbuka agar semakin mengeluarkan banyak darah. Dia bahkan membaui darah di lengan Laura saat masih berada di mobil Vikram. Laura tak masalah akan tindakan Angkasa karena dia justru merasa senang.
Laura yang masokis dan sering melukai dirinya sendiri disandingkan dengan Angkasa yang terobsesi pada darah yang menghiasi tubuh makhluk hidup. Bukankah sebenarnya mereka saling melengkapi satu sama lain?
"L-Laura... A-aku harus menemukan Laura..." Angkasa dengan panik mencuci tangannya yang berlumuran darah dengan air yang berasal dari keran air yang ada di depan ruang guru. Angkasa berkali-kali menggosok bekas darah merpati di tangannya yang sudah menghilang, khawatir bahwa bau darah itu masih tersisa di tangannya yang bisa membuat dia kembali kehilangan kendali atas keinginan gilanya.
Setelah mencuci tangan hingga memerah, Angkasa memutuskan untuk meninggalkan merpati kecil yang telah mati itu tergeletak di tanah. Dia bahkan tak memiliki keberanian untuk sekadar melihat sekilas kondisi merpati tersebut yang telah dibunuhnya. Sebenernya tanpa campur tangan Angkasa, merpati itu pada dasarnya sudah akan mati. Hanya waktu kematiannya telah berubah dikarenakan Angkasa yang melubangi leher merpati tersebut dengan kuku tajamnya. Betapa malangnya...
"Laura, kamu ada di mana? Kenapa kamu tidak ada di sini?" Angkasa bergumam cemas sembari mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Tak ada tanda-tanda keberadaan Laura selain terdapat sebuah kaleng minuman yang tergeletak di lantai. Sepertinya suara berisik yang menyadarkan kembali Angkasa berasal dari kaleng tersebut yang jatuh menggelinding di lantai.
Angkasa memiliki firasat bahwa Laura masih berada di sekitar ruang guru. Oleh sebab itu, Angkasa melangkah kaki menyusuri koridor lebih jauh. Semakin jauh Angkasa melangkah meninggalkan ruang guru, semakin sepi suasana di sekitarnya. Mungkin karena jam istirahat, tak ada satupun siswa yang berkeliaran di koridor. Mereka pasti berkumpul di kantin atau tempat tongkrongan masing-masing untuk menikmati makanan yang mereka beli.
Langkah Angkasa tiba-tiba terhenti tepat di pertigaan koridor. Sudut matanya menangkap dua orang yang saat ini sedang saling menempel di tembok. Dengan gerakan kaku, Angkasa mengubah haluan untuk melihat lebih jelas dua sosok tersebut.
Tubuh Angkasa membeku menyaksikan aktivitas yang dilakukan dua orang tersebut. Salah satu dari orang itu tidak lain adalah kekasihnya, Laura. Lalu, pria yang saat ini sedang mencumbu leher Laura tidak Angkasa kenal.