"Aku tidak ingin membuatmu takut dengan kegilaan yang ada dalam diriku. Oleh karena itu, aku berusaha untuk menyembunyikan keburukan ku sebaik mungkin agar kamu tidak memiliki pemikiran untuk meninggalkanku."
- Angkasa Ardiansyah
***
Amarah Rangga semakin tersulut. Dia tersinggung akan sikap Laura yang terkesan memihak Angkasa. "Tidak mau! Aku akan menghajarnya sekarang agar dia tahu bagaimana seharusnya bersikap di depan seniornya!"
Secepat kilat, tangan Laura mencengkeram lengan Rangga yang tak melepas cengkeraman di kerah seragam Angkasa. Sorot mata Laura yang dingin menyoroti Rangga. "Kau sudah tidak membutuhkan tanganmu lagi? Singkirkan tanganmu darinya atau ku patahkan tangan yang dengan lancang menyentuh milikku!"
Rangga meringis merasa ngilu di tempat Laura mencengkeramnya erat. Dia telah meremehkan kekuatan fisik Laura karena gadis itu memiliki tubuh ramping dan seksi. Tak disangka, tubuh ramping itu memiliki kekuatan sekuat ini sampai Rangga merasa bahwa Laura benar-benar akan mematahkan tangannya.
"Cih, aku akan melepaskannya kali ini, Laura!" Rangga menghempaskan tubuh Angkasa ketika dia melepaskan cengkeraman di kerah seragam pria itu.
Angkasa tak banyak bicara saat Rangga mengintimidasinya karena itu lebih baik daripada Rangga melampiaskan amarahnya pada Laura. Angkasa berusaha menstabilkan tubuhnya yang sempat goyah. Dia mengamati tindakan Laura yang kini melepaskan cengkeraman di tangan Rangga.
"Kalau begitu, enyahlah dari sini! Kehadiran kau sudah tidak dibutuhkan!" Laura mengembalikan kata-kata yang sempat Rangga tujukan pada Angkasa.
Wajah Rangga memerah karena marah. Dia menelan mentah-mentah amarahnya serta harga dirinya yang sudah terinjak-injak oleh dua orang yang melayangkan tatapan tajam padanya.
Bugh!
"Dasar jalang! Gue awalnya ingin bermain dengan lo lebih lama. Tapi, cewek murahan kayak lo justru banyak tingkah! Ck, tunggu pembalasan dari gue!" Rangga memukul dinding yang berada tepat di samping Laura sebagai pelampiasan amarah. Dia bergegas pergi dengan dada yang naik-turun karena emosi.
Laura tak bergeming sedikitpun terhadap tingkah laku Rangga. Tak ada jejak kemarahan saat dirinya mendengar caci-maki yang ditujukan padanya. Dia menundukkan kepala sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Angkasa melangkah mendekati Laura. Dia menatap menusuk pada arah perginya Rangga yang melontarkan kata-kata buruk pada Laura. Angkasa mengepalkan tangannya hingga kuku-kuku jarinya menancap di telapak tangan. Darah merembes dari sela-sela jarinya Angkasa.
Saat ini, Angkasa sedang mati-matian menahan kegilaan yang menggedor-gedor kesadarannya. Dia memiliki keinginan untuk merobek mulut Rangga dan memotong lidah pria itu agar tak bisa melontarkan kata-kata buruk pada Laura.
( "Tahan, Angkasa... Laura pasti akan takut jika mengetahui apa yang kamu pikirkan..." ) Angkasa mensugesti dirinya sendiri agar menahan kegilaan yang bersemayam di pikirannya.
Angkasa memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Setelah dirasa cukup terkendali, Angkasa mengalihkan atensinya pada Laura. Dia tertegun saat melihat bahu Laura bergetar.
Kecemasan seketika melanda hati Angkasa. "Laura, apa yang terjadi padamu? Apa kamu menangis? Tolong jangan pedulikan kata-kata bajingan itu. Kamu tidak sama seperti yang dia katakan. Bagiku, hanya Laura yang terbaik tak peduli sebanyak apapun gadis baik-baik di luar sana!"
Angkasa memegang bahu Laura, meyakinkan gadis itu bahwa Rangga hanya mengatakan omong kosong tak berdasar. Pria itu menduga Laura menangis karena sakit hati dengan caci-maki Rangga yang terdengar keterlaluan.
"Heh, siapa yang menangis? Gue enggak nangis, Angsa." Laura mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk. Telapak tangannya digunakan untuk menutup mulutnya dengan kegelian yang terpancar di sorot matanya.
Angkasa terkejut melihat Laura yang justru tertawa puas setelah dicaci-maki oleh Rangga. Pria itupun merasa bingung tanggapan apa yang harus diberikan. Yang pasti, Angkasa merasa tenang mengetahui Laura tidak menangis dikarenakan kata-kata Rangga.
"Huft... Aku kira kamu sedih mendengar kata-katanya, Laura. Syukurlah, jika tidak aku akan..." Angkasa menghentikan ucapannya ketika menyadari bahwa dia saat ini memasang ekspresi wajah yang mengerikan. Hampir saja dia keceplosan mengatakan kegilaan apa yang akan dia lakukan pada Rangga.
Laura mengangkat sebelah alisnya merasa aneh dengan sikap Angkasa yang gelisah. Walaupun demikian, dia mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk puncak kepala Angkasa.
"Bagus, Angsa. Lo melakukan peran lo dengan baik. Tak disangka, gue juga telah menunjukkan sesuatu yang menyenangkan di depan lo." Laura terkekeh dingin, sorot matanya menunjukkan kepuasan.
Telinga Angkasa memerah mendapatkan tepukan di puncak kepalanya. Namun, dia tak tahu akan maksud dari ucapan Laura. "Huh, apa itu?"
"Seperti yang lo lihat sebelumnya, betapa munafiknya kakak kelas lo yang bernama Rangga. Dia mendatangi gue sambil bersikap manis dengan nafsu membara. Begitu nafsunya tak terpenuhi, dia mengungkapkan warna aslinya. Sangat menyenangkan melihatnya terbakar karena nafsunya sendiri yang tak terkendali."
Angkasa mengerjapkan mata beberapa kali. Dia tak tahu mengapa Laura terlihat senang karena hal semacam itu. Dia justru merasa khawatir dengan sikap Laura yang tak memberikan penolakan jikalau ada pria yang sembarang menyentuh tubuhnya.
Wajah Angkasa berubah muram membayangkan ada banyak pria yang mengantri untuk menyentuh Laura sesuka hati mereka. Dia semakin mengepalkan tangannya dengan erat tanpa memedulikan rasa perih di telapak tangannya yang berdarah.
"Laura, berhenti tertawa... Aku benar-benar tidak suka melihatmu bersama pria lain..."
Tawa Laura terhenti. Dia memandangi Angkasa, tak ada candaan dalam sorot matanya. Sepertinya, kata-kata yang Angkasa ucapankan ketika berdebat dengan Rangga adalah kebenaran. Pria itu tidak suka berbagi miliknya dengan orang lain.
"Angsa, ini akan sulit karena ke depannya, akan ada lebih banyak pria yang mengelilingiku seperti lalat. Jadi, persiapkan diri lo jika tidak ingin gue jatuh ke tangan pria lain." Laura berbalik memunggungi Angkasa tanpa berniat melihat ekspresi wajah pria itu sebagai tanggapan atas ucapannya. Dia hanya mendengar suara napas Angkasa yang tercekat sebelum akhirnya memberikan respon dengan suara rendah yang penuh tekad.
"Aku pasti akan menyingkirkan lalat-lalat itu, Laura! Kamu tidak akan jatuh ke tangan satupun di antara mereka!"
Laura mendengus. "Yah, jangan banyak kata. Gue cuma perlu bukti untuk ke depannya. Ah, satu hal yang perlu lo ketahui tentang gue, gue mendapatkan kesenangan dengan cara mengungkapkan kemunafikan orang lain. Rasanya sangat menyenangkan merobek topeng yang mereka pasang dan membuat mereka harus mengungkapkan warna asli mereka sendiri."
Yah, fakta lain tentang sosok Laura, selain memiliki hobi aneh melihat makhluk hidup yang sekarat, dia juga mencari kesenangan lain untuk membangkitkan gairah hidupnya dengan mengungkapkan kemunafikan orang-orang di sekitarnya. Ekspresi wajah mereka saat mengungkapkan kebusukan yang berusaha disembunyikan melalui topeng 'suci', patut untuk dinikmati oleh Laura.
Laura melirik sekilas pada kepalan tangan Angkasa yang berdarah. Tangan Laura meraih dasi yang dikenakan Angkasa. Dia menarik dasi tersebut dan berjalan diikuti oleh Angkasa yang berusaha mengikuti langkah Laura dengan susah payah. Laura bertingkah seakan memegang tali kekang hewan peliharaannya. Bedanya, tali kekang itu bukan dipasang pada hewan, melainkan manusia.