Chereads / Dear Angkasa : My Pet Boyfriend / Chapter 29 - 28. Angkasa Mabuk!

Chapter 29 - 28. Angkasa Mabuk!

"Ternyata rasanya mendebarkan ketika melihatmu menangis. Apakah ini semacam keanehan? Tak peduli apapun itu, kamu hanya diperbolehkan untuk menangis di hadapanku!"

- Laura Chintya Bella

***

Angkasa mengerjapkan mata. Tak ada keanehan yang terjadi padanya setelah meneguk segelas wine tanpa sepengetahuan kedua orang yang sedang bersamanya. Dia sesekali melirik Vikram dan Laura, memastikan bahwa kejadian sebelumnya tak disadari oleh mereka.

( "Huh? Apa aku baru saja meminum minuman yang disukai Laura?! Ini luar biasa! Mereka bahkan tak menyadari kesalahan yang ku perbuat!" )

Hati Angkasa seketika berbunga-bunga. Dia merasa puas telah merasakan minuman yang disukai Laura. Kebahagiaannya sesederhana itu, tapi tak bisa dia ungkapkan secara terang-terangan agar tak mengundang kecurigaan dari kedua pihak.

Saat itu, ponsel Vikram yang berada di meja bergetar. Layar ponsel menyala dan menunjukkan nama seseorang yang mengirimkan panggilan pada Vikram. Pandangan ketiga orang itu refleks tertuju pada layar ponsel.

Om Landi.

Nama yang tak asing bagi dua dari ketiga orang itu membuat keduanya saling melempar pandangan. Terdapat jejak rumit pada sorot mata Vikram maupun Laura. Keduanya telah mengantisipasi akan panggilan tersebut mengingat bahwa Laura sekarang tidak berada di rumah.

"Ini dari Om Landi. Sepertinya dia akan menanyakan keberadaan lo saat ini. Gue akan mengatakan seperti biasa, tapi lo jangan bikin masalah setelah gue tinggalkan di sini bersama Angkasa." Vikram bangkit dari sofa sambil memegang ponselnya yang bergetar. Dia memicingkan mata dengan penuh peringatan pada Laura.

Laura mengendikkan bahunya acuh tak acuh. Dia bertindak seakan orang yang menelepon Vikram tak memiliki hubungan apapun dengannya. "Terserah lo! Katakan saja kalau gue udah mati sejak hari kehancuran itu! Toh, enggak biasanya dia pulang lebih awal dan tiba-tiba sok-sokan nyari-nyari gue cuma gara-gara gue bawa peliharaan gue ke rumah. Cih, menjijikkan!"

Vikram menghela napas berat. Tanpa sepatah katapun membalas ucapan sarkas Laura, dia berbalik dan berjalan menjauh dari kebisingan menuju tempat yang sedikit sepi untuk menerima panggilan dari ayah Laura. Setelah kepergian Vikram, hanya tersisa Laura dan Angkasa di meja tersebut.

Angkasa melihat bahwa Laura merajut alisnya dengan erat, seolah sedang memikirkan sesuatu yang terasa mengganggu. Fokus Laura tak berada di tempat itu maupun objek-objek yang ada di depannya. Kehadiran Angkasa mungkin telah dia lupakan saking tenggelamnya gadis itu dalam pikirannya.

Angkasa berdehem, merasakan tenggorokannya yang terasa berbeda setelah meminum segelas wine. ( "Tak ada keanehan yang terjadi padaku setelah meminum segelas wine. Haruskah aku meminumnya lagi selagi Laura dan Vikram tak menyadarinya?" )

Angkasa tiba-tiba memiliki sebuah ide. Dia memutuskan untuk mengambil secara acak gelas-gelas yang tersisa di meja. Terdapat satu gelas yang berisi jus strawberry, sedangkan yang lainnya merupakan wine. Oleh karena itu, Angkasa akan meminum setiap gelas yang dia ambil tanpa memikirkan apakah itu benar atau salah. Yah, sambil menyelam minum air¹. Tak ada salahnya untuk dicoba.

[ ¹sambil menyelam minum air : menyelesaikan dua pekerjaan atau lebih dalam waktu bersamaan. ]

Beberapa menit berlalu, gelas demi gelas telah Angkasa minum dan semuanya wine tanpa ada satupun jus strawberry. Sekilas, sorot mata Angkasa berkabut, kepalanya terasa berat dengan pandangan yang perlahan buram.

"Ugh..." Angkasa mengerang. Tangannya memegangi kepalanya yang terasa berat. Dalam pandangan Angkasa, penerangan di sekelilingnya yang remang-remang, menjadi gelap sampai membutakan mata Angkasa.

Angkasa, pria yang menghabiskan sepuluh tahun hidupnya terkurung di ruangan gelap tanpa pernah sekalipun mendapatkan sedikit cahaya dan hanya ada penyiksaan yang diterima setiap harinya, tentunya memiliki trauma tersendiri dengan kegelapan yang membawa keputusasaan. Tarikan napasnya menjadi berat, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Bayang-bayang rasa sakit saat sebuah tongkat baseball memukul tubuhnya tanpa ampun jika dia memberontak dari rantai-rantai yang mengikatnya, membuat tubuh Angkasa bergetar hebat.

Masa-masa ketika Angkasa mengalami penyiksaan yang membuatnya merasa putus asa sampai di titik di mana dia sudah menyerahkah hidup dan matinya di tangan-tangan orang-orang yang menyiksanya, masih segar di ingatan. Yang lebih mengerikan, setelah orang-orang berseragam putih itu — pegawai Rumah Sakit Jiwa — menyiksa Angkasa, mereka tak lupa untuk menyuntikkan secara paksa obat bius di leher pria itu dengan tanpa perasaan. Bekas suntikan paksa itu sampai tertinggal di lehernya.

Angkasa meringkuk ketakutan. Mungkin karena mabuk yang disebabkan oleh meminum terlalu banyak wine untuk pertama kalinya, Angkasa tak bisa mengontrol emosinya. Pria itu yang berusaha untuk berubah menjadi sosok Angkasa yang akan melindungi Laura, kini tampak menyedihkan dalam posisinya yang meringkuk sambil memeluk lututnya sendiri. Ketakutan nyata terpancar dari sorot matanya yang berkabut.

"S-sangat gelap... A-aku ingin keluar dari sini..." Angkasa bergumam dengan nada yang tak stabil. Dia seolah-olah akan menangis kapan saja jika harapannya tak terwujud.

Laura tertegun mendengar suara serak dari samping. Dia yang semula tenggelam dalam pikirannya, seketika disadarkan kembali setelah mendengar suara Angkasa yang tidak biasa. Laura juga tidak merasakan adanya tangan yang memeluk lengannya dengan erat.

Kepala Laura menoleh ke samping dan mendapati sosok Angkasa yang memeluk lututnya sendiri dengan bahu gemetar. Alis Laura terajut, sorot matanya menjadi gelap. Tangan Laura menepuk bahu Angkasa dengan pelan. "Angsa, apa yang terjadi?"

Tubuh Angkasa menegang ketika merasakan sentuhan di bahunya. Dia yang tersesat dalam bayang-bayang masa lalunya yang mengerikan, tak menyadari kehadiran sosok Laura. Sebelum pikirannya bereaksi akan sentuhan tersebut, tangan Angkasa sudah menepis tangan Laura dengan kasar. "Jangan sentuh aku!"

Sinar di mata Laura tampak menyala ketika mendapatkan penolakan dari Angkasa. Dia menatap tangannya yang ditepis oleh pria itu. Laura yakin, tepisan dari Angkasa sebelumnya akan meninggalkan memar di tangannya. Mata Laura memicing tajam, memindai Angkasa yang tampak aneh.

"Lo kenapa, huh?" Seolah tak mendengarkan kata-kata Angkasa, Laura kembali mengulurkan tangannya. Kini, gadis itu meraih dagu Angkasa dan memaksa pria itu untuk menatapnya.

Jantung Angkasa berdegup kencang disertai ketakutan yang begitu mencekik sampai rasanya sulit untuk bernapas. "L-lepaskan aku! A-aku hanya ingin keluar dari tempat ini... Tolong, bebaskan aku..."

Laura semakin yakin ada sesuatu yang salah tentang Angkasa. Pria itu sedang memberontak dari cengkeramannya, tapi tak berdaya karena rasa takut membuat kekuatannya melemah di antara rasa mabuk yang membuat kepala pria itu terasa berat. Matanya bahkan sudah memerah dan berkaca-kaca seolah-olah Laura telah menyiksanya sampai rasanya begitu tak tertahankan untuk bertahan di antara penyiksaan tersebut.

Laura dapat mencium aroma wine yang pekat dari mulut Angkasa. Dia melirik meja yang ternyata telah dipenuhi oleh gelas-gelas kosong yang sebelumnya terisi penuh oleh wine. Tiba-tiba perasaan menggelitik memenuhi hatinya ketika memikirkan kemungkinan Angkasa tak mendengarkan peringatan Vikram untuk tidak meminum wine. Nyatanya, pria itu malah meminum banyak wine sampai mabuk.

Seringai terbit di bibir Laura, manik matanya memancarkan kegelian tanpa gadis itu sadari. "Heh, lo mabuk rupanya... Gue enggak nyangka ternyata lo bisa menunjukkan sikap memberontak secepat ini."

Laura berkedip. Pupil matanya membesar begitu melihat air mata yang mengalir dari pelupuk mata Angkasa. Peliharaannya itu menangis terisak-isak sambil bergumam meminta untuk dibebaskan. Sorot mata Angkasa mengandung keputusasaan, ketakutan, dan sedikitnya harapan.

"Ah, gue bisa gila." Laura memalingkan wajahnya dari menatap wajah Angkasa yang berlinang air mata. Sesuatu di dadanya menggedor-gedor dengan sensasi saat aliran darahnya berdesir panas, membuat Laura bergidik.