"Kegilaan yang sebenarnya bukanlah kebahagiaan yang dipenuhi luka. Namun, luka yang justru memberikan kebahagiaan."
- Laura Chintya Bella
***
Semakin sakit luka yang diterima Laura, semakin kuat gairah hidup Laura yang dibangkitkan. Laura benar-benar hampir gila karena merasa senang dengan banyaknya rangsangan yang tiba-tiba dirasakannya.
Malam itu, Laura dan Angkasa tertidur pulas karena kegilaan mereka telah terpenuhi sepanjang malam. Mereka bahkan tidak memperdulikan banyaknya darah yang merembes dan mengotori seprai kasur saking banyaknya darah yang bercucuran dari luka di telapak tangan Laura yang menganga lebar.
Malam itupun tautan tangan mereka tak kunjung lepas karena masing-masing dari mereka masih ingin menikmati kesenangan yang memuaskan dahaga mereka. Kuku Angkasa yang tertanam di daging pada telapak tangan Laura tak berniat untuk lepas dan terus menggali luka tersebut semakin dalam hingga luka itu tak kunjung mengering. Hal tersebut membuat darah terus mengalir tanpa henti.
***
Di pagi hari, Angkasa bangun lebih awal dari pada Laura. Pria itu mengerjapkan mata beberapa kali untuk beradaptasi dengan cahaya di sekelilingnya. Saat kesadarannya terkumpul sepenuhnya, perasaan seolah kepalanya dipukul dengan keras membuatnya meringis.
Angkasa meremas kepalanya yang berdenyut-denyut akibat mabuk kemarin malam. Dia hendak duduk, tetapi gerakannya terhenti ketika merasakan sesuatu di tangannya.
Angkasa refleks menatap tangannya yang ternyata saling bertautan dengan tangan Laura. Jika dalam keadaan normal, Angkasa akan senang ketika bangun di pagi hari tangannya bertautan dengan Laura. Sayangnya, tautan tangan mereka dilapisi oleh darah yang mengering.
Pemandangan mengerikan itu membuat Angkasa terkejut. Dia beringsut duduk mengabaikan rasa berat di kepalanya. Rasa takut perlahan menjalar di hati Angkasa mengalahkan sensasi senang ketika mencium aroma darah.
"L-Laura..." Angkasa memanggil Laura dengan suara serak. Dia mencoba membangunkan kekasihnya yang masih menutup mata.
Angkasa menggigit bibirnya dengan cemas karena Laura tak kunjung bangun. Pupil mata Angkasa bergerak-gerak gelisah mengamati keadaan sekitarnya. Seprai kasur dipenuhi dengan noda darah yang hampir mengering. Baju Angkasa juga tak terkecuali ternoda darah yang berasal dari tautan tangannya dengan Laura.
Hal ini membuat Angkasa mengkhawatirkan kondisi Laura yang pastinya sudah kehilangan banyak darah. Samar-samar Angkasa ingat bahwa dia terakhir kali berada di Vivi's Club' sebelum akhirnya ingatannya menjadi kacau. Dia tahu bahwa semalam sepertinya dia telah mabuk dan menimbulkan masalah bagi Laura. Buktinya, Angkasa sampai tak bisa mengendalikan kegilaannya yang merugikan Laura.
Angkasa mengakui bahwa dia memiliki kelainan sejak kecil. Dia hampir tak bisa mengendalikan kegilaannya. Namun, seliar apapun sikap Angkasa, dia tidak menikmati kegilaan dalam dirinya. Dia justru merasa tersiksa dalam hatinya walaupun kepuasan menghiasi wajahnya ketika dia mencium aroma darah.
Angkasa merasa takut setiap kali dia menyadari bahwa tangannya tak segan-segan melakukan kejahatan dengan melukai orang lain agar dapat mencium aroma darah. Maka dari itu, Angkasa mencoba mengendalikan kegilaan itu dengan menghindari melukai orang lain melainkan dirinya sendiri.
Sayangnya, dulu ketika Angkasa masih kecil pernah terjadi hal mengerikan di mana Angkasa tak bisa mengendalikan diri dan melukai ibu tirinya. Ketika itu terjadi, ibu tiri Angkasa memanfaatkan keadaan itu untuk menuduh Angkasa mencoba membunuhnya. Ayah Angkasa mengetahui tindakan mengerikan putranya tersebut, sehingga dia merasa malu mengetahui bahwa Angkasa memiliki kelainan.
Ayah Angkasa mengganggap putranya gila sehingga dia mengirim Angkasa ke rumah sakit jiwa tanpa mencoba untuk mengobati Angkasa ke psikiater. Angkasa dibuang tanpa memperoleh perawatan yang benar karena dianggap memalukan bagi sang ayah.
Sejak itu, Angkasa bertekad untuk mengendalikan diri agar tak merugikan orang lain dan tidak lagi dibuang oleh orang yang dia sayangi.
Akan tetapi, Angkasa lagi-lagi membuat situasi yang sama. Dia tanpa sadar melukai orang yang paling disayanginya. Tindakannya telah merugikan Laura, melukai gadis itu sampai dia kehilangan banyak darah.
Tinggal menghitung waktu ketika Angkasa akan kembali dibuang ke Rumah Sakit Jiwa. Menyadari situasi terburuk tersebut, tubuh Angkasa bergetar ketakutan.
"L-Laura,... bangun... M-maafkan aku karena melukaimu..." Angkasa mengguncang bahu Laura untuk menyadarkan gadis itu. Dia juga mencoba melepaskan tautan tangannya dengan Laura untuk memastikan seberapa dalam luka yang telah dia ciptakan pada Laura.
Mata Angkasa terbelalak melihat luka besar di telapak tangan Laura yang menganga. Dia beralih menatap wajah Laura yang tampak pucat pasi. Angkasa kemudian memegang tangan Laura yang tidak terluka dan menyadari bahwa suhu tubuh Laura sedikit dingin.
Angkasa seketika melepaskan tangan Laura dan bergerak menjauh dari gadis itu. "M-maafkan aku, Laura... M-maaf... A-aku tidak bermaksud melukaimu..."
Mata Angkasa berkaca-kaca. Dia mengepalkan tangannya dengan erat, menyalahkan diri sendiri atas kondisi Laura. Pikiran Angkasa kosong lantaran syok. Hal tersebut membuatnya tak dapat menemukan solusi tepat untuk mengatasi masalah yang ditimbulkannya.
"Shh... Diamlah... Gue masih hidup." Laura menyipitkan matanya menatap Angkasa yang tampak terguncang.
Fakta bahwa Laura susah untuk dibangunkan di pagi hari telah dilupakan oleh Angkasa. Laura sebenarnya tidak dalam kondisi baik setelah kehilangan banyak darah akibat ulah Angkasa. Namun, ini tidak membuatnya jatuh dalam kondisi buruk karena pada dasarnya fisiknya kuat. Walaupun dia telah kehilangan banyak darah, Laura tidak demam ataupun pingsan. Dia hanya merasa lemas.
Angkasa tertegun mendengar suara yang dikenalnya. Dia buru-buru memfokuskan pandangannya pada sosok Laura. Kelopak mata yang sebelumnya tertutup kini telah terbuka. Kegembiraan seketika memenuhi hati Angkasa.
"Laura! Kamu akhirnya bangun!" Angkasa memekik tertahan sambil mendekatkan diri pada Laura yang berusaha untuk duduk.
Laura memutar bola matanya malas mengetahui kekhawatiran tak perlu dari Angkasa. "Lo enggak perlu khawatir selama gue masih bernapas. Gue juga enggak perlu rasa kepedulian lo yang berlebihan."
Angkasa membantah ucapan ketus Laura. "T-tapi, aku membuatmu terluka, Laura... Aku khawatir kamu akan membuang ku sama seperti saat dulu aku melukai ibu tiriku..."
Laura memaksakan diri untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang tak peduli selemah apapun dirinya saat ini. Angkasa yang melihat itupun berinisiatif untuk membantu Laura. Sayangnya, Laura mengangkat tangannya sebagai isyarat agar Angkasa tak perlu membantunya. Dia tak repot-repot untuk meminta bantuan Angkasa dalam keadaannya yang lemah. Ini karena Laura terbiasa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Mata Angkasa menatap lekat setiap gerak-gerik Laura, khawatir kekasihnya akan kesusahan. Angkasa menghela napas lega ketika Laura berhasil duduk dengan baik walaupun sedikit kesulitan.
Laura menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa agar mempertahankan kesadarannya. Dia meluruskan pandangannya pada Angkasa yang begitu terpaku padanya.
"Lo dibuang karena melukai ibu tiri lo? Benar-benar hanya melukai?" Laura memastikan kebenaran dalam ucapan Angkasa. Seingatnya, ketika Vikram mengungkapkan fakta mengenai identitas Angkasa, Vikram juga mengatakan alasan mengapa Angkasa sampai pada Rumah Sakit Jiwa Harapan.
Menurut penyelidikan Vikram, Angkasa memiliki gangguan jiwa setelah diketahui membunuh hewan peliharaannya dan hampir membunuh ibu tirinya. Ayah Angkasa yang mengetahui kelainan pada putranya, mengirim Angkasa ke Rumah Sakit Jiwa Harapan dengan alasan berobat padahal sebenarnya menghilangkan jejak keberadaan Angkasa di tempat itu.
Akan tetapi, baru saja Angkasa mengungkapkan bahwa dia melukai ibu tirinya bukan hampir membunuhnya. Memang ada kemungkinan Angkasa berkata kebohongan. Tapi, apakah sosok Angkasa benar-benar berani berbohong pada kekasih sekaligus penyelamatnya? Laura yakin Angkasa tak akan pernah berani berbohong selama pria itu masih bergantung padanya. Jadi, mana yang lebih akurat?
Angkasa tak berpikir panjang untuk menjawab pertanyaan Laura. "Aku benar-benar hanya melukai ibu tiri ku. Tapi, luka yang ku buat padanya adalah cakaran di lengannya yang mengeluarkan banyak darah. Ayah memergoki ibu tiri ku yang dalam keadaan terluka dengan banyaknya darah mengalir dari luka di lengannya. Setelah itu dia mengirimku ke tempat itu dan tidak kembali menjemputku setelah sekian lama."
Laura menyipitkan mata, memastikan bahwa tak ada sedikitpun kebohongan dalam ucapan Angkasa. Walaupun terdapat jejak kesedihan di manik mata Angkasa, pria itu tak menghindari pandangan menyelidik dari Laura. Pupil matanya bahkan tak bergerak-gerak gelisah ataupun membuat gerak-gerik yang mencurigakan. Laura tahu bahwa Angkasa tidak berbohong.
Kebenaran yang terungkap dari mulut Angkasa sedikit mengejutkan Laura. Dia seketika mengetahui bahwa ibu tiri Angkasa sepertinya telah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk menyingkirkan Angkasa dari sisi ayah kandungnya.
Ekspresi di wajah Laura berubah menjadi dingin. Dia teringat akan situasi keluarganya yang kacau akibat kehadiran wanita yang tak diharapkan. ( "Ternyata kami memiliki situasi yang sama. Kami terjebak dengan jalang yang mengganggu ketenangan hidup kami." )