Chereads / Dear Angkasa : My Pet Boyfriend / Chapter 30 - 29. Bergantunglah Padaku dan Mati Untukku!

Chapter 30 - 29. Bergantunglah Padaku dan Mati Untukku!

"Mengendalikan perasaan seseorang adalah hal yang mudah untuk dilakukan. Kamu hanya perlu memegang erat kelemahan serta apa yang paling dibutuhkannya dalam hidup ini. Buat dia bergantung padamu. Maka, dia pasti akan tunduk dengan suka rela."

- Laura Chintya Bella

***

Laura mengenal dirinya sendiri. Perasaan aneh semacam ini selalu bangkit jika dirinya tertarik akan suatu hal. Perasaan ini telah dirasakan Laura beberapa kali bertahun-tahun yang lalu, yaitu ketika untuk pertama kalinya dia terluka sampai darah mengalir dari luka tersebut dan Laura memiliki keinginan untuk melukai dirinya sendiri hingga gairah hidupnya kembali terisi.

Kemudian, ketika Laura melihat seekor burung sekarat, dia merasa seolah gairah hidupnya kembali terisi saat mengamati burung yang sekarat itu sampai burung itu mati. Sekarang, sensasi itu kembali memenuhi dadanya dan membuat pikiran Laura memanas. Rasa panas itu bahkan tersalurkan sampai membuat wajah Laura memerah. Tangan Laura yang satunya menutup mulutnya yang akan menyunggingkan seringai mengerikan.

"Luar biasa! Sudah lama gue tidak menemukan hal baru untuk membangkitkan gairah hidup gue." Laura bergumam dengan sorot mata menyala-nyala. Dia mengalihkan pandangannya kembali pada Angkasa yang masih terisak dengan wajah sembab.

Tangan Laura mencengkeram erat dagu Angkasa, mendekatkan wajah pria itu hingga hidung mereka saling menempel. ( "Wajah menangis ini sungguh membangkitkan gairah hidup gue." )

Laura mengecup sudut mata Angkasa, lidahnya menjilati air mata pria itu dengan sorot mata yang dipenuhi kepuasan seolah telah menemukan mainan baru. "Teruslah menangis... Jangan berhenti sampai gue menyuruhnya."

Kata-kata Laura yang lirih namun mengandung ketegasan, bagaikan sebuah mantra yang membuat Angkasa benar-benar menuruti kata-katanya. Tubuh Angkasa semakin meringkuk sambil memeluk lututnya yang tertekuk di depan dadanya. Air mata pria itu terus mengalir tanpa henti dengan rasa takut yang mencekik lehernya.

"A-aku hanya ingin bebas... T-tolong jangan selalu memukulku..." Angkasa kembali menggumamkan kata-kata yang dipenuhi dengan permohonan mendalam. Matanya semakin memerah, bibirnya bahkan bergetar sampai kata-kata yang keluar dari mulutnya tersedak tangis.

Jika orang-orang melihat penampilan Angkasa yang tampak menyedihkan saat ini, pasti mereka akan merasa kasihan. Hati nurani mereka terasa tercubit hingga tak jarang memiliki niat untuk memeluk sosok rapuh itu dan menenangkannya.

Sayangnya, orang-orang dengan empati tinggi itu bukan termasuk sosok Laura. Gadis itu tak melepaskan pandangan dari Angkasa satu detik pun. Setiap ekspresi, gerakan tubuh, atau bahkan air mata yang terjatuh dari pelupuk mata Angkasa tak pernah lepas dari pandangannya.

"Gue enggak akan memukul lo. Lo ingin bebas? Itu bisa dilakukan, asalkan lo menuruti semua kata-kata gue!" Laura meremas dagu Angkasa dengan erat seolah ingin meremukkan rahang pria itu. Suaranya bergetar samar lantaran sensasi aneh yang memenuhi seluruh tubuhnya.

( "Ini sangat menarik... Gue enggak bisa melepaskan tatapan gue dari pemandangan yang menggairahkan ini." )

Laura menatap lekat Angkasa seakan tak ingin melewatkan satu detik pun momen menangis Angkasa. Dia benar-benar hampir dibuat gila dengan penampilan menangis Angkasa yang membuat darahnya berdesir dan memberikan sensasi yang membuatnya bergidik.

Laura menjilat bibirnya yang kering. Dia meneguk salivanya dengan jantung yang berdegup kencang. Seluruh tubuhnya memanas, apalagi sorot matanya tampak 'hidup', tidak seperti sebelum-sebelumnya yang begitu gelap dan dingin.

"A-apa yang bisa membuatku bebas? A-aku takut... A-aku kesakitan... K-kenapa tidak ada yang datang untuk menolongku? A-apa mereka tidak peduli padaku?" Angkasa meringis kesakitan merasakan cengkeraman di dagunya yang berasal dari Laura. Jejak kemerahan bahkan tercetak jelas di dagu pria itu yang tak terlihat di bawah gemerlap lampu yang remang-remang.

Laura terkekeh mengerikan mendengar pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut Angkasa. Dia mengerti bahwa Angkasa merasa aneh karena tak ada satupun orang di sekitarnya — orang-orang di Vivi's Club' — yang membebaskannya dari cengkeraman Laura. Laura setidaknya dapat mengetahui bahwa Angkasa tampaknya berhalusinasi mengenai kenangan-kenangan mengerikannya ketika berada di Rumah Sakit Jiwa.

Laura memiliki gambaran kasar tentang insiden-insiden yang dialami oleh Angkasa sampai membuat pria itu gemetar ketakutan. Tampaknya, penyiksaan yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Jiwa meninggalkan trauma yang tertanam kuat di alam bawah sadar pria itu.

"Itu benar... Tak ada yang peduli pada lo kecuali gue... Tak ada seorangpun yang bisa membebaskan lo dari genggaman gue termasuk diri lo sendiri, Angsa..." Laura mendekatkan mulutnya ke telinga Angkasa. Matanya menyipit tajam disertai sorot mata mematikan yang bercampur dengan gelapnya pupil mata gadis itu. "Jadi,... bergantunglah pada gue dan hilangkan rasa kesepian gue... Bergantunglah pada gue sampai lo benar-benar enggak bisa bernapas dengan normal dan merasa sekarat tanpa kehadiran gue... Baru setelah itu, lo akan merasa 'bebas'..."

Bebas dalam kata-kata Laura mengandung arti sebaliknya. Jika Angkasa benar-benar bergantung pada Laura, pria itu hanya akan semakin 'terjerat' bukannya 'terbebas'. Maka, keuntungan akan dimenangkan oleh Laura.

Angkasa yang dalam keadaan linglung mengangkat pandangannya, menatap Laura dengan penuh harap. "B-benarkah yang kamu katakan? A-aku akan bebas?"

Laura tersenyum lebar hingga rasanya bibirnya bisa sobek karena tersenyum terlalu lebar. "Itu benar... Gue mengatakan yang sebenarnya... Untuk apa gue berbohong pada lo, Angsa?"

( "Itu bohong... Gue mengatakan kebohongan... Tentu saja gue bohong untuk keuntungan gue sendiri..." )

Lain di mulut, lain di hati. Kata-kata ini benar-benar menggambarkan setiap ucapan yang terlontar dari bibir Laura. Namun, kata-kata tersebut tak memiliki konotasi yang baik jika disematkan pada sosok Laura karena pola pikir gadis itu selalu dipenuhi tindakan-tindakan negatif.

Laura benar-benar bisa berbohong tanpa mengedipkan mata. Senyum lebar bahkan tersungging di bibirnya. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, senyum di bibirnya mengandung jejak kelicikan seolah mengandung berbagai niat yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Salah satu tangan Laura berada di rambut Angkasa. Jari-jarinya perlahan menata rambut pria itu yang tampak berantakan. Dia tak suka jika mempunyai peliharaan yang tak enak dipandang karena penampilan menariknya berkurang.

"B-baiklah... A-aku akan bergantung padamu... Aku akan menghilangkan rasa kesepianmu... Aku pun akan bernapas untukmu... Aku akan sekarat dan mati atas keinginanmu... Asalkan, aku bisa bebas..." Angkasa yang mendambakan kebebasan tentunya tak akan melepaskan tawaran menggiurkan yang sebenarnya jebakan mematikan yang akan mengurungnya dengan erat dalam domain sosok Laura.

Halusinasi Angkasa juga sudah sedikit berkurang karena dia tak lagi melihat pemandangan ketika para petugas di Rumah Sakit Jiwa menyiksanya di ruangan gelap. Dia menanggapi dengan baik suara Laura yang bagai pertolongan di waktu yang tepat. Angkasa tidak tahu saja bahwa sebenarnya dia telah keluar dari neraka untuk kembali masuk ke sarang iblis. Bahaya yang ada sekarang justru lebih mengerikan dikarenakan tak terdeteksi kapan dan bagaimana insiden mengerikan akan terjadi.

"Bagus, Angsa... Teruslah patuh seperti ini... Inilah sikap yang seharusnya dimiliki oleh peliharaan." Laura mengelus rambut Angkasa. Sorot matanya kian dalam ketika mengamati penampilan Angkasa yang memiliki wajah sembab.

Tak dapat disangkal, wajah Angkasa benar-benar sangat tampan. Vikram ataupun para pria yang pernah ditemui Laura memiliki penampilan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan Angkasa. Angga, kakak kelas Laura bahkan tak bisa dibandingkan dengan Angkasa karena pria jelek itu tak memenuhi syarat.

( "Begitu menarik dan menggoda... Akan sangat merepotkan jika banyak lalat yang mengerumuninya." )

***

Di sisi lain, tepatnya di kamar mandi yang tak jauh dari lantai dansa pada Vivi's Club', Vikram sedang berbincang dengan Landi, ayah Laura. Vikram telah mendapatkan berbagai macam pertanyaan dan teguran yang sama dari Landi selama bertahun-tahun menjalin pertemanan dengan Laura.

"Halo Vikram, di mana Laura?! Kenapa kau selalu menuruti keinginannya untuk keluar di malam hari?! Jam berapa sekarang?! Kenapa kalian belum pulang juga?!" Landi melontarkan berbagai macam pertanyaan beruntun pada Vikram.

Vikram memang sudah biasa mendapatkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini oleh Landi jika Landi mengetahui Laura tak berada di rumah. Namun, ada hal yang tidak biasa dengan apa yang terjadi sekarang. Vikram melirik jam tangannya untuk memastikan waktu sekarang.

"Halo, Om. Laura bersamaku seperti biasa. Om tahu sendiri bahwa Laura itu keras kepala. Aku tidak bisa menolak keinginannya, Om. Sekarang baru jam 10 malam. Sebentar lagi kami akan pulang." Vikram menjawab setiap pertanyaan Landi dengan lancar tanpa beban sedikitpun.

Namun, kata-kata Vikram tak berhenti sampai di situ. Dia kembali melontarkan kata-kata dengan nada yang berubah drastis. "Tapi, Om, ini sangat tidak biasa untuk Om menghubungiku jam segini. Biasanya, Om baru menyadari bahwa Laura tidak berada di rumah setiap lewat jam 12 malam."

Landi mendengar kata-kata sarkas Vikram dengan perasaan suram. Dia memang selalu lembur dalam pekerjaannya sehingga pulang pada jam 1 dini hari atau tidak pulang sama sekali. Saking sibuknya dengan pekerjaan kantor, Landi tak tahu-menahu mengenai keseharian yang dilakukan Laura.

Landi hanya akan menghubungi Vikram setiap kali dia pulang tapi tak menemukan kehadiran Laura di rumah. Ini terjadi ketika Laura tidak pulang dari club' sebelum Landi pulang. Jadi, Vikram berusaha semaksimal mungkin untuk membujuk Laura agar mau pulang sekitar kurang dari jam 12 malam.

***

Note:

Minal Aidzin Wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat Hari Raya Idul Fitri!