"Trauma adalah hal yang sulit untuk dihilangkan. Ada kalanya sebuah kejadian sekecil apapun ternyata meninggalkan trauma yang tak mudah untuk dihilangkan. Bukannya mereka tak ingin berusaha untuk lepas dari rasa trauma itu. Hanya saja trauma itu tak mudah dilupakan sebab sudah sangat membekas di hati dan pikiran."
- Angkasa Ardiansyah
***
"Kurang ajar! Apa kau baru saja menyindirku, Vikram?! Bawa Laura pulang sekarang atau aku akan melaporkanmu pada ayahmu!" Landi menggeram marah, memperingati Vikram untuk segera membawa putri sulungnya pulang.
Vikram berdecih. Dia sedikitnya tahu alasan Laura sangat membenci Landi, ayahnya sendiri. Landi benar-benar tipe orang yang tak mau disalahkan dan hanya ingin menjadi pihak yang benar. Pria itu sampai detik ini tak mau mengakui kesalahan yang dibuatnya hingga membuat Laura membencinya sedemikian rupa.
Landi menjadi alasan utama keluarga Laura hancur sampai dia terpisah dengan kembarannya.
"Oh, maafkan aku, Om. Sepertinya aku terlalu banyak bicara. Aku pasti akan membawa Laura pulang secepat mungkin sesuai keinginan Om. Bisa ku tutup teleponnya? Akan memakan waktu untuk membujuk Laura." Vikram mengucapkan kata-kata tanpa beban seakan sebelumnya tak pernah melontarkan kata-kata sarkas yang menyindir sikap acuh tak acuh Landi.
Landi terpaksa harus memendam amarahnya lantaran yang terpenting membawa Laura pulang. Urusannya dengan Laura belum selesai hari itu. Dia tak memberikan kesetujuan atas tinggalnya Angkasa di rumahnya.
"Baik, sampai jumpa!" Landi mematikan sambungan telepon tanpa berniat mendengar balasan dari Vikram.
Vikram memicingkan mata, menatap layar ponselnya yang menampilkan informasi mengenai panggilan yang telah berakhir. Dia mendengus dingin, membayangkan ekspresi jelek di wajah Landi terhadap kata-kata yang sebelumnya dia ucapkan.
"Om Landi benar-benar mengecewakan. Sudah terlambat untuk peduli dengan hal-hal yang dilakukan oleh Laura karena Laura sudah terlanjur menghitam. Tinggal menghitung hari ketika Laura kembali menggila." Vikram mengusap wajahnya gusar. Dia harus mempersiapkan risiko terburuk akan sikap Laura yang tidak bisa ditebak.
Vikram berjalan keluar dari bilik kamar mandi menuju wastafel untuk membasuh wajahnya. Dia memastikan bahwa penampilannya kembali rapi sebelum menuju ke tempat Laura dan Angkasa berada.
Dari kejauhan, Vikram melihat sosok Angkasa sedang meringkuk memeluk lututnya menghadap Laura yang mengelus rambutnya. Walaupun cahaya di sekitarnya temaram, Vikram dapat menebak bahwa Laura kini sedang menyeringai dengan penuh kelicikan.
( "Ck, kali ini apa lagi yang dia perbuat?!" ) Vikram bergegas menghampiri kedua orang itu yang tak menyadari kehadirannya.
"Laura, apa yang..."
"Dia mabuk, Vikram. Itu bukan salah gue." Laura melirik sekilas pada Vikram yang hendak menanyakan terkait kondisi aneh Angkasa.
Vikram mengerutkan kening. Tatapannya beralih pada meja yang sebelumnya dipenuhi gelas-gelas berisi anggur justru telah kosong sebagian besar. Vikram meringis merasa bersalah membuat sosok Angkasa mabuk. Seharusnya dia menyerahkan jus strawberry yang dimaksudnya pada Angkasa agar Angkasa tak salah minum.
"Lalu, kenapa dia menangis sampai seperti ini?" Vikram dapat melihat wajah Angkasa yang sembab dan dipenuhi air mata.
Laura terkekeh pelan. "Dia berhalusinasi tentang dirinya yang masih terkurung di Rumah Sakit Jiwa. Ternyata, para bajingan itu menyiksanya terlalu banyak hingga meninggalkan trauma yang sepertinya sangat sulit untuk dihilangkan."
Vikram meringis. Dia meraih tangan Angkasa dan memukul punggung pria itu hingga pingsan. "Sebaiknya kita pulang lebih awal. Tidak baik jika Angkasa menimbulkan keributan ketika dia mabuk untuk pertama kalinya."
Laura mengamati sekelilingnya yang masih ramai dengan musik yang memekakkan telinga. Matanya beralih menatap Angkasa yang berada di punggung Vikram dalam kondisi tak sadarkan diri.
"Oke, kita pulang." Laura berdiri dan berjalan memimpin di depan Vikram. Dia sebenarnya tak ingin cepat-cepat pulang dan bertemu dengan Landi. Sayangnya, kondisi Angkasa tak memungkinkan untuknya tetap berada di tempat liar semacam club' seperti ini.
( "Gue bisa bersenang-senang di lain hari. Yang terpenting sekarang, dia bisa aman tanpa sedikitpun ancaman." )
***
Brak!
Laura membanting pintu kamar dengan wajah suram. Dia telah pulang dari club' dan langsung berhadapan dengan amarah Landi. Ayahnya itu benar-benar bajingan tidak tahu malu. Dia yang dulunya tak memperdulikan mengenai keseharian yang Laura lakukan, tiba-tiba menunjukkan kepedulian saat Laura mengatakan akan membawa pria tinggal bersamanya.
Apa ini semacam kepedulian seorang ayah terhadap putrinya?
Sudah terlambat untuk peduli karena Laura terlanjur menghitam. Laura benar-benar muak dengan sikap Landi yang tidak konsisten. Seharusnya jika tak ingin peduli dengannya, maka lakukanlah sampai akhir. Jangan tiba-tiba muncul seolah-olah menjadi seseorang yang paling memperdulikannya. Ini sangat memuakkan.
"Telinga gue akan tuli jika berlama-lama mendengar omong kosong yang keluar dari mulutnya." Laura mendengus dingin. Dia segera mengunci pintu kamar dengan gerakan kasar. Suasana hatinya memburuk akibat sikap Landi.
Laura melangkahkan kaki menuju tempat tidur yang terdapat sosok Angkasa berbaring tak sadarkan diri. Dia duduk di samping Angkasa yang tampak mengerutkan kening dalam tidurnya. Sepertinya pria itu tidak tidur nyenyak dan mengalami mimpi buruk.
"Ugh... Jangan pukul aku... Tolong..." Angkasa bergumam resah sambil menggelengkan kepalanya dengan tergesa-gesa. Dia seolah ingin menghindar dari sesuatu. Anehnya, tangannya tetap terbujur kaku di sisi tubuhnya seakan tertahan oleh benda yang membuatnya tak bisa menggerakkan tangannya.
Angkasa terus menggumamkan pertolongan dalam tidurnya. Matanya bahkan terpejam erat disertai keringat dingin yang bercucuran. Laura yang berada di samping pria itu hanya mengamati dalam diam setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh peliharaannya tersebut.
Tanpa disadari oleh Laura, tangannya tiba-tiba telah menggenggam salah satu tangan Angkasa yang kaku. Laura sejenak tertegun dengan tindakannya sendiri yang tak bisa dikontrol olehnya. Dia mengedipkan mata, lalu memutuskan untuk menggenggam erat tangan Angkasa agar dapat menghilangkan ketegangan di alam bawah sadar pria itu.
"Sepertinya lo menjalani hari-hari yang dipenuhi keputusasaan ketika berada di tempat itu." Laura mengucapkan kata-kata tersebut dengan mata yang berkilat. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Yang pasti, Laura tidak terlihat peduli atau acuh tak acuh terhadap kondisi menyedihkan Angkasa yang masih dihantui oleh masa lalunya. Laura hanya mencoba untuk tidak terlalu emosional karena hal-hal yang berlebihan semacam itu hanya akan merugikannya di masa depan.
Mendapatkan genggaman erat di tangannya membuat ketegangan di wajah Angkasa berkurang. Namun, tangannya membalas genggaman Laura hingga kuku-kukunya yang tajam menggali ke dalam telapak tangan Laura. Tangan Laura kini memiliki luka baru yang disebabkan oleh Angkasa.
Kuku-kuku Angkasa melubangi telapak tangan Laura dengan kuat sampai hanya darah yang mengalir keluar dari sela-sela tautan kedua tangan mereka. Laura sedikit mengernyitkan dahi sebagai tanggapan atas luka yang telah dibuat Angkasa sebelum akhirnya senyum yang dipenuhi kepuasan terpatri di wajahnya.
Bukannya merasa sakit, Laura justru menikmati setiap rasa sakit yang ditimbulkan oleh Angkasa. Dia membiarkan kuku pria itu menggali semakin dalam pada telapak tangannya yang sudah berlumuran darah.
"Hm..." Angkasa bergumam dengan wajah yang tampak rileks. Sepertinya dia tidak lagi mengalami mimpi buruk.
Hidung Angkasa mengendus aroma yang menggiurkan. Dia benar-benar tergila-gila dengan aroma darah apalagi melukai bagian tubuh untuk memunculkan darah hingga memuaskan kegilaannya. Angkasa sebenarnya tak mau mengakui kegilaan semacam ini karena dia merasa aneh terhadap dirinya sendiri yang memiliki kelainan.
Biasanya, dia akan mencoba untuk menahan keinginannya mencium aroma darah. Namun, jika dia sudah tak tahan dengan kegilaannya yang tertahan, dia tak segan-segan untuk melukai dirinya sendiri atau bahkan orang-orang di sekitar untuk memenuhi hasrat gilanya tersebut.
Sayangnya, kondisi Angkasa yang tak sadarkan diri membuat semua keinginan yang biasa ditahan olehnya, menjadi tak terkendali. Dia menjadi liar hanya karena mengendus aroma yang disukainya. Angkasa segera mendekatkan tangannya yang bertautan dengan tangan Laura ke wajahnya. Dia ingin mengendus aroma tersebut lebih lama sampai dia puas.
Masih dalam keadaan tak sadarkan diri, Angkasa tampaknya tak puas dengan sedikitnya aroma darah yang tercium oleh hidungnya. Dia memiliki keinginan untuk mendapatkan lebih banyak aroma tersebut. Jadi, kuku Angkasa yang tertancap dalam di telapak tangan Laura, bergerak turun dengan gerakan kasar hingga merobek telapak tangan Laura.
Darah menyembur dari telapak tangan Laura yang tercabik-cabik akibat perbuatan Angkasa. Tanggapan Laura tentu saja masih sama. Dia hanya mengulas senyum semakin lebar dengan sorot mata yang menyala. Seperti yang diduga, gairah hidup Laura semakin terisi dan mendidihkan darahnya. Jantung Laura berdegup kencang saking senangnya dia merasa kembali 'hidup' setelah hanya ada kehampaan yang dirasakannya.
"Bagus... Terus lakukan karena aku menikmatinya..." Laura menyeringai lebar. Tangannya yang lain mengusap keringat yang sebelumnya membasahi dahi Angkasa. Dia mengubah posisinya menjadi berbaring di samping Angkasa tanpa merasa terganggu dengan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Dia benar-benar menikmati setiap detik rasa sakit yang didapatkannya.