Chereads / Dear Angkasa : My Pet Boyfriend / Chapter 24 - 23. Keinginan Untuk Mati

Chapter 24 - 23. Keinginan Untuk Mati

"Sungguh tidak berartinya hidup yang ku jalani. Hingga hanya tersisa keinginan untuk mati."

- Laura Chintya Bella

***

Di kantin SMA Merpati yang dipenuhi oleh siswa-siswi yang sedang menyantap makanan mereka, terdapat Vikram yang menempati salah satu meja bersama dengan Susan. Vikram yang sedang asyik-asyiknya menyantap bakso yang hangat, diganggu oleh getaran pada ponsel yang berada di saku celananya.

Vikram menghentikan aktivitasnya. Dia menaruh kembali garpu di mangkuk dan merogoh saku celananya. Kening Vikram mengerut ketika mendapati pesan dari Laura. "Hah? Ini enggak salah dia yang ngirim pesan ke gue duluan?"

"Pesan dari siapa, Vikram?" Susan mengamati Vikram yang memiliki ekspresi terkejut di wajahnya.

Vikram mengalihkan pandangannya dari ponsel untuk menatap sekilas pada Susan yang duduk di depannya. "Pesan dari Laura. Entah setan apa yang merasukinya, dia tiba-tiba menjadi orang pertama yang ngirim gue pesan. Biasanya gue yang harus spam pesan agar dia bales pesan gue. Laura itu bikin gue enggak bisa tenang karena enggak pernah mau ngirim pesan supaya gue enggak tahu keadaaannya."

Susan membulatkan bibirnya. Dia selalu dibuat terkejut dengan fakta mengenai Laura dan hal-hal yang berkaitan dengan gadis itu. "Hm... Dilihat dari sikapnya, Laura memang tipe orang yang jarang bales pesan. Dengan dia mengambil inisiatif, sepertinya ada hal mendesak yang terjadi dan memerlukan bantuan kamu, Vikram."

Vikram menyetujui ucapan Susan yang tepat dengan kenyataan. Dia menekan pesan masuk yang terpapar di layar ponselnya. Mata Vikram bergulir membaca kata-kata pada pesan yang dikirim Laura.

- Laura Si Gadis Gila

Vikram, bawa kotak P3K ke kelas sekarang! Tangan Angsa berdarah! Cepat!

Brak!

"Argh! Kali ini apa yang lo lakukan sampai Angkasa terkena imbasnya, Laura?!" Vikram menggebrak meja sembari memekik tertahan. Dia begitu jengkel dengan tingkah tak terkendali Laura. Untungnya, ada Angkasa yang setidaknya menjadi orang yang digunakan untuk berbagi stress dengannya dalam menghadapi tingkah Laura.

Susan meringis merasa malu karena menjadi pusat perhatian siswa-siswi yang berada di kantin. Kegaduhan yang disebabkan oleh Vikram menarik perhatian siswa-siswi tersebut.

Susan bertanya dengan suara pelan, "Vikram, apa yang terjadi? Apa benar-benar ada hal yang mendesak?"

Vikram menggerakkan gigi kesal. Dia mengedarkan pandangannya ketika merasakan ada berbagai macam tatapan yang tertuju padanya. Mereka yang memperhatikan Vikram seketika mengalihkan pandangan dengan panik karena merasa takut terhadap ekspresi mengerikan di wajah Vikram.

Vikram bangkit dari kursi, dia menatap Susan yang tampaknya telah selesai menyantap makanannya. "Susan, kalau lo udah selesai, ikut gue sekarang!"

"Huh? O-oke!" Susan berdiri dengan gerakan terburu-buru. Dia mengambil tisu untuk membersihkan mulutnya dan meminum jus yang tersisa di gelasnya sampai habis. Tanpa banyak bertanya, Susan mengikuti Vikram yang bergegas keluar dari kantin.

Vikram mungkin tak menyadari bahwa banyak para gadis yang menatapnya dengan tatapan cinta. Fakta bahwa Vikram tak menyadari adanya gadis-gadis yang menyukainya, menunjukkan bahwa pria itu sebenarnya tidak peka terhadap perasaan orang-orang di sekitarnya. Bagaimana bisa Vikram memberikan perhatian lebih terhadap perasaan orang-orang di sekitarnya ketika dia disibukkan dengan menjaga sosok Laura? Yah, sebenarnya itu dapat dimaklumi.

Susan bergidik ketika merasakan tatapan menusuk di punggungnya. Tanpa menoleh pun Susan sudah mengetahui bahwa tatapan tersebut berasal dari para gadis yang memiliki perasaan pada Vikram dan tidak menyukai Susan berada di dekat Vikram.

Susan menggosok lengannya untuk meredakan perasaan merinding di tubuhnya. "Ugh... Cemburunya orang yang sedang jatuh cinta itu sangat menyeramkan!"

***

"Tidak ada hari di mana gue merasa tenang setelah gue berada di sekitar lo, Laura. Bisa enggak, sehari... aja lo enggak bikin masalah?!" Vikram meluapkan amarahnya pada Laura yang hanya memutar bola matanya malas sambil mengorek telinganya dengan jari kelingking. Ekspresi Laura yang tampak tak menaruh kepedulian sedikitpun pada ucapan Vikram, membuat Vikram merasa jengkel.

"Vikram, berhenti marah. Laura tidak mungkin bermaksud membuat masalah untukmu." Susan mencoba menenangkan Vikram yang tenggelam dalam emosinya.

Saat ini, Vikram, Susan, Laura, dan Angkasa berada di satu transportasi yang sama yaitu mobil Vikram. Vikram menjadi orang yang menyetir sedangkan Laura dan Angkasa berada di jok belakang mobil. Kehadiran Susan di mobil tersebut dikarenakan tawaran Vikram sebelumnya yang mengajak Susan untuk berangkat dan pulang bersamanya sudah disetujui oleh Laura.

Sebenarnya Susan ingin menolak tawaran Vikram, tetapi dia tak bisa mengungkapkan keengganannya karena adanya Laura yang pernah menyelamatkannya dari pembullyan. Oleh karena itu, mau tak mau, suka tidak suka, Susan menjadi semakin terlibat dengan Laura dan Vikram.

Vikram mendengus dingin, dia sudah tidak sanggup lagi menahan kekesalannya terhadap sikap Laura yang terlalu seenaknya. "Ck, Susan, lo enggak tahu Laura itu orang yang seperti apa. Dia satu-satunya orang aneh yang ada di hidup gue!"

"Gue aneh, lo lebih aneh karena lo berteman dengan gue," sindir Laura sambil melayangkan tatapan mengejek pada Vikram melalui spion tengah mobil.

Vikram menggertakkan gigi. Dia mempercepat laju mobil untuk melampiaskan amarahnya. Susan yang duduk di samping Vikram, memegang erat seatbelt karena takut terpental dari mobil.

"Vikram, jangan ngebut! Kita di jalan raya!" Susan berteriak ketakutan. Wajahnya terlihat pucat pasi ditambah keringat dingin yang memenuhi dahinya.

Di jok belakang mobil, Laura tak memiliki reaksi yang berarti ketika mobil yang dinaikinya melaju dengan kecepatan tinggi. Dia memasang wajah datar, pandangannya tertuju pada jendela mobil yang menampilkan pemandangan di luar yang terlihat kabur saking cepatnya mobil melaju.

"Laura, apa kamu takut?" Angkasa mengajukan pertanyaan dengan penuh kehati-hatian. Kedua tangannya yang dibalut perban membawa tangan Laura ke pangkuannya dan melingkupi tangan tersebut secara lembut.

Tatapan Laura masih tertuju pada pemandangan kabur di luar jendela mobil yang hanya membuat mata terasa pusing jika diperhatikan secara terus-menerus. Sorot matanya terlihat kosong tanpa adanya kehidupan. "Gue enggak takut."

( "Gue bahkan sempat mikir apa enggak sekalian menabrakkan mobil ini supaya terjadi kecelakaan dan gue mati?" ) Laura menambahkan ucapannya dalam hati tanpa bisa mengungkapkannya secara terang-terangan. Dia tak mau menunjukkan betapa tidak adanya gairah untuk hidup dalam dirinya. Ini hanya akan membuat orang-orang memandangnya dengan tatapan kasihan.

Laura lebih suka orang-orang di sekitarnya memandangnya dengan tatapan hina. Semua tatapan buruk itu setidaknya terasa alami untuknya. Dia juga tak suka jika ada seseorang yang memandangnya dengan tatapan kasihan karena hal itu justru membuatnya merasa terhina. Orang-orang beranggapan bahwa Laura menyedihkan melalui tatapan kasihan yang mereka berikan, sehingga membuat Laura merasa jengkel karena semua tatapan itu terasa dibuat-buat.

Lebih baik mereka langsung mengolok-olok Laura secara terang-terangan, daripada menyembunyikan semua hinaan yang ingin mereka lontarkan melalui tatapan kasihan yang mereka berikan. Ini bahkan membuat Laura menjadi lebih menyedihkan karena hanya ada kepalsuan di sekitarnya.