"Kamu bagaikan candu yang membuatku tergila-gila hanya untuk mendapatkanmu. Walaupun aku tahu suatu hari kamu dapat membunuhku, aku tetap ingin mendapatkanmu hanya untuk diriku sendiri."
- Angkasa Ardiansyah
***
Tak terasa waktu berlalu, bel istirahat pertama berbunyi nyaring. Suasana hati semua siswa-siswi yang mendengar bel tersebut perlahan kembali bersemangat. Mereka telah menantikan bel istirahat berbunyi sejak tadi karena kepala mereka terasa panas.
Angkasa telah selesai membereskan peralatan sekolahnya. Dia mengubah posisi duduknya menjadi menyerong ke arah Laura. Dengan penuh kehati-hatian, Angkasa memegang bahu Laura yang masih tertidur di atas tumpukan buku paket.
"Laura, waktunya istirahat. Bukankah Pak Satria menyuruhmu untuk ke ruang guru?"
Suara serak Angkasa yang terdengar lembut di telinga Laura, menarik kembali kesadaran perempuan itu. Kelopak mata Laura perlahan terbuka dengan kesadaran yang sudah terkumpul sepenuhnya. Laura benar-benar tidak tidur dan hanya memejamkan mata. Dia menegakkan punggungnya sembari meregangkan tubuhnya yang terasa pegal-pegal.
Laura merasakan beberapa pasang mata mengamati setiap gerak-geriknya. Dia tahu bahwa banyak dari teman-temannya yang memberikan penilaian buruk karena Laura sudah menjadi langganan dipanggil ke ruang guru setiap jam istirahat pertama. Entah masalah apa yang Laura perbuat, yang pasti mereka merasa bahwa Laura tak henti-hentinya membuat reputasi sekolah semakin buruk.
"Hm... Angsa, lo pergi ke kantin duluan bareng Vikram. Susul gue setelah sepuluh menit berlalu di ruang guru." Laura bangkit dari kursi untuk pergi ke ruang guru. Langkahnya seketika tertahan ketika sebuah tangan mencengkeram seragam putihnya yang keluar dari rok biru.
"Laura, tidak bisakah aku ikut denganmu ke ruang guru?" Angkasa memasang tatapan memohon agar Laura mengizinkannya mengikuti perempuan itu.
Laura menurunkan pandangannya, menatap lama tangan kokoh Angkasa yang seolah tak ingin melepasnya pergi. Dia menepis kasar tangan Angkasa, meninggalkan jejak merah pada tangan pucat pria itu.
Alis Laura meruncing tajam, sorot matanya memandang tak suka pada Angkasa. Laura mendesis pelan, "Angsa, jadilah peliharaan yang patuh! Dengan sikap lo yang tidak menuruti semua kata-kata gue, nantinya gue akan cepat bosan sama lo! Lo mau gue buang ke tempat itu lagi?!"
Tubuh Angkasa membeku mendengar kata-kata sarat akan ancaman Laura. Dia mengepalkan tangannya dengan kepala tertunduk dalam. Bahu Angkasa terkulai tak berdaya terhadap kata-kata mutlak Laura.
"Jangan buang aku, Laura. Aku akan menjadi peliharaanmu yang patuh."
Laura mendengus dingin. Dia berbalik membelakangi pria itu dan melenggang pergi. "Itu bagus!"
Angkasa mengangkat pandangannya, mengamati punggung Laura yang menghilang dari pandangannya. Angkasa sejenak melupakan status utamanya sebagai peliharaan Laura. Dia lengah hanya karena terlalu senang memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih dengan Laura. Padahal bagi Laura, status yang lebih penting untuk Angkasa di matanya adalah sebagai peliharaannya.
Angkasa pun merasakan ketakutan saat Laura menyebutkan perihal akan membuangnya jika Angkasa tidak menjadi peliharaan yang patuh. Angkasa jelas tak ingin kembali ke tempat terkutuk di mana semua bencana di hidupnya berawal. Jika dia kembali ke tempat itu lagi, Angkasa tak akan pernah bisa bertemu kembali dengan Laura.
"Hei, Angkasa! Lo enggak perlu pasang tampang menyedihkan seperti itu. Mendingan kita ke kantin sambil nunggu Laura." Vikram merangkul Angkasa yang terlihat lesu karena ditinggalkan oleh Laura.
Angkasa yang seolah daya hidupnya hanya tersisa sedikit, mengikuti Vikram dengan langkah berat. Vikram berdecak tak menyangka bahwa Angkasa benar-benar akan ketergantungan pada sosok Laura.
"Laura sudah seperti narkoba untuk lo, Angkasa. Lebih baik lo sedikit menjaga jarak darinya agar tak ada efek ketergantungan. Suatu hari lo akan mati karena lo kecanduan terhadap Laura." Vikram membuat sarkasme untuk sosok Laura bagi Angkasa. Dia tak ingin Angkasa terlalu terjerumus dalam pesona mematikan Laura. Sampai sekarang, Vikram pun tak mengetahui sebenarnya apa tujuan dari sikap-sikap aneh Laura.
Angkasa mengerjapkan mata. Dia mengetahui tentang narkoba yang telah membunuh banyak orang yang kecanduan dalam mengonsumsinya. Menyamakan sosok Laura dengan benda itu memang tak ada salahnya. Tapi,...
"Bahkan jika Laura itu racun, aku akan tetap mengonsumsinya, Vikram. Baik adanya efek ketergantungan atau bahkan kematian yang menantiku di akhir nanti, aku tetap akan memegangnya dengan erat untuk diriku sendiri." Angkasa menatap serius Vikram. Tak ada kepalsuan dalam sorot matanya, membuat Vikram merasa ngeri karena pria di depannya benar-benar rela mati hanya untuk bersama dengan Laura.
"Hah, Angkasa. Gue tahu lo orang yang sama anehnya seperti Laura. Pastikan lo memegang erat Laura agar tetap terkendali. Dia harus tetap dalam pengawasan karena kehadirannya sudah seperti bom waktu yang akan meledak kapan saja." Vikram menepuk-nepuk bahu Angkasa, menguatkan pria itu agar tetap tegar dalam menghadapi sikap Laura yang berubah-ubah.
***
Sudah sepuluh menit berlalu, Laura bersiap untuk keluar dari ruang guru. Dia dipanggil oleh Pak Satria bukan tanpa alasan melainkan untuk mengikuti pembelajaran. Para guru memberikan keringanan pada Laura karena prestasi gadis itu yang dapat menjunjung tinggi nama baik sekolah.
Laura memiliki satu permasalahan. Dia tak bisa mengikuti pembelajaran pada jam pelajaran pertama, entah karena terlambat masuk atau tertidur di kelas. Oleh karena itu, guru-guru memberikan solusi terbaik agar Laura tetap bisa mengikuti pembelajaran seperti murid-murid yang lain.
Setiap jam istirahat pertama, Laura selalu dipanggil ke ruang guru untuk mendapatkan pembelajaran dari guru yang mata pelajarannya terlewatkan oleh Laura. Hanya membutuhkan sepuluh menit untuk Laura mendapatkan pelajaran yang terlewatkan. Dikarenakan dia pintar, Laura tak membutuhkan lama untuk memahami materi yang dijelaskan secara singkat oleh guru-guru tersebut.
"Tunggu sebentar, Laura. Ada yang perlu ku tanyakan." Pak Satria menghentikan Laura yang hendak keluar dari ruang guru.
Laura menoleh ke arah Pak Satria sembari mengerutkan kening. "Pertanyaan apa, Pak?"
Pak Satria mengamati penampilan Laura yang kacau. Seragam putih yang seharusnya dimasukkan ke dalam rok biru, justru dikeluarkan. Belum lagi dua kancing teratas seragam putih yang kenakan Laura terbuka, menambah kesan nakal pada gadis itu. Pak Satria menyayangkan sikap Laura yang seperti ini padahal gadis itu memiliki prestasi yang bagus.
"Laura, murid bernama Angkasa Ardiansyah, apa dia dibawa olehmu?"
Laura menganggukkan kepalanya. Fakta bahwa Angkasa dapat masuk dengan mudah di SMA Merpati tentunya karena bantuan Landi, donatur terbesar di sekolah tersebut. Pengaruh Landi membuat sekolah tak banyak bertanya perihal riwayat pendidikan Angkasa yang terkesan janggal.
"Itu benar, Pak. Saya yang membawanya. Apa ada masalah?"