"Seburuk apapun kamu di mata orang lain, bagiku kamu selalu menjadi yang terbaik."
- Angkasa Ardiansyah
***
Grace semakin kesal dengan sosok Laura. Ketidaksukaannya terhadap Laura semakin bertambah dan mungkin tanpa disadarinya kebencian perlahan menjalar di hatinya. "Emang cuma lo yang boleh manggil Angkasa dengan sebutan Angsa?! Jangan ngerasa istimewa, ya!"
"Cuma Laura yang gue perbolehkan memanggil gue dengan sebutan apapun. Laura enggak ada salahnya jika menganggap bahwa dirinya istimewa karena bagi gue Laura itu spesial dan segala pengecualian untuk gue!" Angkasa menengahi perdebatan di antara dua gadis itu. Dia melirik tajam Grace yang sejak tadi berbicara sinis pada Laura.
Grace mengepalkan tangannya dengan erat. Wajahnya memerah lantaran terlampau malu dengan pengakuan Angkasa yang menamparnya. Tak ingin kehilangan harga dirinya, Grace memilih melengos dan kembali ke tempat duduknya dengan perasaan dongkol.
"Sialan! Hanya karena gue tertarik dengannya, dia memperlakukan gue dengan seenaknya begitu?! Angkasa, lihat saja, gue akan membuat lo mengetahui seberapa menjijikkannya Laura sampai lo enggak akan bisa menganggap jalang sepertinya orang yang istimewa!" Grace membulatkan tekad dalam hatinya untuk membuat Angkasa mengetahui seberapa kotor sosok Laura.
Tak lama setelah Grace kembali ke tempat duduknya, seorang guru pria mulai memasuki kelas dengan membawa buku-buku terkait dengan mata pelajaran yang diajarnya. Guru tersebut tersenyum sembari melontarkan sapaan hangat pada murid-muridnya.
"Selamat pagi!"
"Pagi, Pak!"
Kedatangan guru tersebut membuat jantung Angkasa berdebar karena tak sabar menantikan pelajaran pertama di hari pertamanya sekolah. Dia mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan di meja dengan sorot mata berbinar.
Lain halnya dengan Angkasa yang sangat antusias untuk mengikuti pembelajaran, Laura justru bersiap-siap untuk tidur. Laura mengamati mejanya yang kosong, berkebalikan dengan meja Angkasa yang dipenuhi buku-buku. Dengan wajah datarnya, Laura mengambil beberapa buku paket dan menumpuknya untuk dijadikan sebagai bantal di mejanya.
"Huh? Laura, buku paketnya mau aku pakai. Bisakah kamu menggantinya dengan buku yang lain?" Angkasa panik karena tak bisa mengikuti pembelajaran di buku paket yang kini digunakan sebagai bantal oleh Laura. Dia mencoba membujuk Laura dengan hati-hati, berharap tak menyinggung perasaan kekasihnya tersebut dan membuat suasana hati Laura hancur.
Laura yang sedang memejamkan mata dengan posisi kepalanya berbaring miring di atas tumpukan buku paket milik Angkasa, perlahan menyipitkan mata. "Ck, ini hari pertama lo masuk sekolah. Enggak usah terlalu rajin!"
Angkasa menghela napas sedih. Dia tak ingin Laura tidak menyukai sikapnya, tetapi hari ini merupakan hari yang spesial baginya karena untuk pertama kalinya setelah 10 tahun lamanya, Angkasa akhirnya kembali menempuh pendidikan di sekolah. Dia ingin melakukan yang terbaik di hari pertamanya sekolah kembali. Sayangnya, semua tak berjalan lancar seperti yang diharapkan karena tampaknya Laura tak menyukai Angkasa yang terlalu antusias dalam menerima pembelajaran.
"Baiklah, aku akan melakukan semua yang kamu inginkan, Laura." Angkasa meremas buku tulis yang masih kosong tanpa satupun goresan tinta.
Laura tentunya menyadari akan perubahan suasana hati Angkasa yang terlihat sedih. Dia memutar bola matanya malas dan kembali memejamkan matanya. Kening Laura mengerut ketika merasakan aura mendung dari sampingnya.
Laura menghela napas berat sambil mengeluarkan beberapa patah kata dengan malas. "Hah, di tas gue. Ambil buku paketnya."
Angkasa tertegun mendengar ucapan Laura. Suara Laura yang terdengar lirih tetapi tidak mengandung banyak emosi, membuat perasaan Angkasa bergetar setiap kali mendengarnya.
"Di tas?" Angkasa cepat tanggap dalam merespon ucapan Laura. Pandangannya perlahan turun ke sandaran kursi dan mendapati tas Laura yang belum tersentuh sejak memasuki kelas.
"Cepat ambil sebelum gue berubah pikiran." Laura kembali berbicara seolah menyadari bahwa Angkasa tak memiliki keberanian untuk mengutak-atik tasnya.
Setelah mendengar izin yang Laura berikan, Angkasa langsung mengulurkan tangannya untuk membuka resleting tas tersebut. Dia mengambil buku paket yang diperlukannya untuk mengikuti pembelajaran.
Raut wajah Angkasa menjadi cerah dengan mata berbinar senang. Semangatnya kembali terkumpul ketika mengetahui bahwa pembelajaran kali ini bisa dia ikuti dengan baik.
"Terima kasih, Laura! Aku tahu kamu yang terbaik!" Angkasa berbisik di telinga Laura dengan sudut bibirnya yang sedikit terangkat, mengulas senyum seminim mungkin karena dia tak bisa menghilangkan kesan dingin untuk dirinya di depan orang lain.
Laura tak memberikan tanggapan apapun atas ucapan terima kasih dari Angkasa. Dia memejamkan mata dengan erat karena rasa kantuk menyerangnya. Laura tak pernah terbiasa bangun pagi, sehingga dia ingin memejamkan matanya 'sebentar' selama di sekolah.
"Ssst! Laura, jangan tidur! Ini materi yang enggak terlalu lo pahami! Setidaknya, perhatikan walau hanya satu kali!" Vikram mengguncang lengan Laura yang duduk tepat berseberangan dengannya. Dia mencuri-curi pandang pada guru yang sedang menjelaskan materi sembari berusaha membangunkan Laura.
"Ck, berisik! Gue ngantuk, Vikram! Belajar itu bisa lain kali!" Laura mendengus kasar. Dia mencubit tangan Vikram yang mengguncang lengannya.
"Ugh!" Vikram menarik tangannya ketika merasakan rasa sakit yang menyengat di punggung tangannya. Dia menggertakkan gigi kesal dengan sikap Laura.
Pandangan Vikram perlahan terangkat, memperhatikan Angkasa yang fokus memperhatikan penjelasan dari guru yang berada di depan. "Psst! Angkasa!"
Pendengaran Angkasa yang tajam dapat mendengar suara Vikram. Dia melirik sekilas pada Vikram sebagai respon kemudian pandangannya kembali tertuju ke depan.
"Ck, hei! Bangunkan Laura!" Vikram tanpa sadar mengeraskan suaranya sehingga semua perhatian seisi kelas tertuju padanya, tak terkecuali dengan guru yang sedang mengajar di kelas tersebut.
"Vikram, kenapa kamu berisik di kelasku sekarang?! Kamu tidak mendengarkan penjelasan ku dengan baik?!" Sang guru melayangkan tatapan menusuk pada Vikram yang telah membuat kebisingan saat pembelajaran sedang berlangsung.
Vikram meringis merasa malu saat semua pandangan tertuju padanya. Dia menggaruk pipinya dengan perasaan canggung. "Uhm... Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud mengganggu pembelajaran yang sedang berlangsung. Lalu, Bapak tidak perlu meragukan saya karena saya selalu mendengarkan semua yang Bapak ajarkan!"
Guru itu mengangkat sebelah alisnya. Dia sebenarnya tak meragukan perihal keseriusan Vikram dalam mengikuti pembelajaran. Vikram termasuk siswa yang pintar sehingga banyak guru-guru yang menyukainya.
Guru tersebut menggelengkan kepalanya, tak ingin mempermasalahkan perihal Vikram lebih jauh lagi. "Oke, aku akan melupakan masalah ini mengingat kamu siswa yang rajin, Vikram. Tapi, tidak ada lain kali!"
"Terima kasih, Pak!" Vikram baru saja akan menghela napas lega karena berhasil menghindar dari masalah. Namun, sebuah suara terdengar dengan niat provokasi.
"Pak, Laura tidur di kelas! Dia tidak menyimak pembelajaran sejak awal!" Grace berteriak sembari menunjuk-nunjuk Laura yang terlihat jelas memejamkan matanya seperti yang dikatakan olehnya.