"Kalian membenciku? Ayo, lontarkan kata-kata kebencian kalian padaku karena aku akan menerimanya dengan senang hati! Bukankah menjadi munafik itu melelahkan daripada membenci seseorang secara terang-terangan? Jika kedok kalian terbongkar, bukankah kalian yang akan dirugikan?"
- Laura Chintya Bella
***
"Laura, bangun... Bukankah hari ini kita akan pergi ke sekolah?" Angkasa mengguncang pelan tubuh Laura yang masih terbaring tidur di kasur. Matahari sudah terik, mereka bisa terlambat datang ke sekolah jika Laura tidak segera bersiap-siap.
Laura tak kunjung bangun walaupun Angkasa mengguncang tubuhnya beberapa kali. Gadis itu malah semakin bergumul dengan selimut, bersembunyi di balik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
"Hng... Nanti..." Laura bergumam di dalam selimut dengan mata yang masih tertutup rapat.
Kemarin, Laura benar-benar membawa Angkasa untuk tinggal di rumahnya. Untungnya hari di mana Angkasa dibawa ke rumah, Landi sedang berada di kantor dan kemungkinan lembur seperti biasa. Otomatis, tak ada keributan yang tidak berarti timbul akibat kedatangan Angkasa.
Angkasa juga tidur bersama Laura di ranjang yang sama. Pria itu tidur dalam posisi memeluk Laura dengan erat, seakan Laura bisa meninggalkannya kapan saja jika Angkasa melepaskan pelukannya. Laura tak keberatan akan keintiman tersebut karena dia justru menyukainya.
"Laura, bangun lo! Ini hari pertama Angkasa masuk sekolah! Kenapa lo malah enak-enakan tiduran tanpa tahu waktu?!" Suara menggelegar tersebut terdengar di telinga Laura.
Laura yang memejamkan mata, mendadak mengernyit heran. Jelas itu bukan suara Angkasa yang sebelumnya dipenuhi kelembutan. Suara yang seakan ingin merusak gendang telinganya itu merupakan suara Vikram.
"Oke, oke, gue bangun! Berhenti teriak-teriak di rumah gue!" Laura menyibak selimut dengan kasar. Dia mengulurkan tangan meminta Angkasa untuk menariknya agar terduduk di kasur.
Angkasa menarik tangan Laura hingga gadis itu duduk. "Laura, akhirnya kamu bangun."
"Hm, gue bangun karena suara Vikram bikin telinga gue sakit." Laura memberikan respon sembari meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Tangan Laura bahkan mati rasa karena digunakan sebagai bantal Angkasa kemarin malam.
Bibir Angkasa melengkung ke bawah dengan perasaan sedih. "Tapi, kenapa saat aku membangunkan mu, kamu tidak kunjung bangun, Laura?"
Vikram mendengus melihat sepasang kekasih tersebut bangun di tempat tidur yang sama. Dia seketika memberikan jawaban sarkas pada pertanyaan yang Angkasa ajukan pada Laura. "Itu karena suara lo terlalu lembek! Yang ada Laura tambah pulas tidurnya sebab suara lo itu bikin ngantuk!"
Angkasa menundukkan kepala dengan bahu terkulai. Tangannya saling bertautan dan meremas satu sama lain dengan erat. "S-semenjak aku bisa berbicara, suaraku berubah menjadi serak seperti ini. A-apa Laura lebih suka aku diam saja karena suaraku jelek?"
Angkasa menatap Laura, sorot matanya terlihat sendu dengan bibir bergetar samar. Bagi Angkasa, bisa berbicara setelah sekian tahun lamanya dia habiskan untuk berteriak seperti orang gila di ruangan yang mengurungnya, merupakan sebuah keajaiban. Tak heran jika suaranya berubah tidak seperti 10 tahun yang lalu saat pertama kali Angkasa dibawa ke Rumah Sakit Jiwa.
Dulu, berbicara sangatlah mudah untuk Angkasa. Namun, sekarang terasa sulit karena seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya sehingga hanya suara serak yang bisa dia keluarkan. Hal ini membuat suara Angkasa seakan bisa habis kapan saja jika dia terlalu banyak berbicara.
Laura melayangkan tatapan menusuk pada Vikram yang gelagapan melihat Angkasa yang bisa menitikkan air mata kapan saja. "Vikram... Tangan gue gatal loh pengen mukul sesuatu."
Vikram menyatukan kedua tangannya, membuat gerakan memohon ampunan dari Laura. "Ampun, Laura... Gue cuma bercanda."
Laura berdecih sinis. "Ck, candaan lo itu enggak lucu! Lihat, cowok gue lo buat nangis!"
"Angkasa, jangan nangis! Laura itu enggak suka sama cowok cengeng!" Vikram memberikan peringatan pada Angkasa yang matanya sudah berkaca-kaca.
Angkasa yang mendengar pernyataan Vikram, seketika mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Dia tak ingin Laura tidak menyukainya. Lagipula, Angkasa juga sudah berjanji untuk menjadi pelindung Laura dan tak ingin berlindung pada gadis itu.
"Aku enggak nangis!" Angkasa menyangkal ucapan Vikram padahal sebelumnya terlihat jelas dia mengusap matanya yang berkaca-kaca.
Laura mendengus dingin. Perkataan Vikram memang benar, dia tidak suka pria yang cengeng. Oleh karena itu, Laura ingin mengubah jati diri Angkasa menjadi pria yang diinginkannya.
"Udahlah. Gue mau siap-siap." Laura bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi sembari membawa handuk. Dia melihat kedua pria itu sudah bersiap dengan menggunakan seragam sekolah kecuali dirinya.
***
Mobil Vikram memasuki tempat parkir di sekolahnya. Di dalam mobil tersebut sudah ada Angkasa bersama Laura yang berpenampilan seperti biasa. Tampilan Laura yang menggunakan rok di atas paha dengan seragam yang dua kancing teratasnya terbuka, memperlihatkan leher serta dadanya.
"Angsa, mulai sekarang, jangan menggunakan bahasa formal. Lo harus ngomong sama orang lain dengan bahasa santai. Kalau sama gue sih terserah lo." Laura memperingatkan Angkasa mengenai gaya bicara Angkasa yang terdengar kaku. Dia ingin mengubah cara bicara Angkasa.
Angkasa menganggukkan kepalanya dengan patuh. "Oke, Laura. Aku akan mengubah gaya bicaraku jika bersama orang lain."
Laura menepuk-nepuk puncak kepala Angkasa. Senyum miring terukir di bibirnya. "Angsa, mulai sekarang lo enggak boleh tersenyum atau bahkan ngobrol sama orang lain kecuali sama gue. Kalau ada orang yang bertanya, jawablah dengan kata-kata yang sesingkat mungkin!"
Angkasa mengerutkan kening sejenak, memikirkan maksud dari tindakan Laura yang meminta Angkasa untuk bersikap dingin pada semua orang. "Aku tidak masalah dengan permintaanmu, Laura. Tapi, bagaimana jika orang-orang menilaiku dengan buruk dan kamulah yang akan menerima ejekan karena mempunyai pacar dengan kepribadian buruk sepertiku?"
Laura terkekeh dengan seringai yang lebar. "Tak masalah. Lagipula jika mereka secara terang-terangan mengejek gue, itu justru bagus karena populasi manusia munafik akan berkurang."
"Sekarang bukan itu masalahnya, Laura. Apa yang akan lo katakan pada guru jika mereka bertanya mengenai tato di leher Angkasa? Tato itu tak bisa ditutupi bahkan dengan kerah seragam." Vikram menoleh ke belakang, menatap Laura dan tato di leher Angkasa secara bergantian.
Laura mengulurkan tangannya, menyentuh tato di leher Angkasa dengan gerakan seringan bulu. "Tato ini? Gue yang akan menjelaskannya pada guru. Yang pasti jangan harap gue mengizinkan orang lain menghapus tato di leher Angsa!"
Vikram menghela napas berat. Tampaknya kehidupan di sekolah akan menjadi semakin menghebohkan karena Laura membawa pria seperti Angkasa. Dari permintaan Laura yang ingin Angkasa tak banyak tersenyum dan menjawab pertanyaan dari orang lain sesingkat mungkin, dia tiba-tiba merasakan kemiripan antara sosok Angkasa yang sekarang dengan sosok Angkasa di masa depan yang dia lihat melalui mimpinya.
"Oke, kalau lo udah punya solusinya." Vikram membuka pintu mobil dan keluar dari mobil mendahului kedua orang yang masih berada di mobilnya.