Chereads / Dear Angkasa : My Pet Boyfriend / Chapter 12 - 11. Menjemput Peliharaan Tersayang

Chapter 12 - 11. Menjemput Peliharaan Tersayang

"Hanya dengan mendengar suaranya saja sudah membuatku merasa seperti menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Apakah kebahagiaan didapatkan semudah ini? Ataukah perasaanku yang terlalu lemah akan sesuatu yang kecil?"

- Angkasa Ardiansyah.

***

"Kebetulan orang itu ada di rumah. Gue enggak perlu repot-repot pergi ke kantornya." Laura mendesis disertai senyum sinis. Dia bangkit dan berjalan menuju sebuah ruangan.

Tanpa mengetuk pintu ruangan tersebut, Laura menerobos masuk tanpa sedikitpun terbesit rasa takut. Hal ini karena ruangan yang dimasuki Laura sekarang yaitu tidak lain ruang kerja ayahnya.

Mendengar suara pintu yang tertutup dengan keras, sosok Landi yang sedang membaca berkas-berkas di meja kerjanya terpaksa harus mengalihkan pandangannya. Dia menatap lurus pada putrinya yang menghampirinya dengan ekspresi dingin.

"Ada perlu apa sampai kamu menggangguku, Laura?" Landi bertanya dengan sabar. Dia harus menahan semua emosi yang berkecamuk di benaknya jika menghadapi sosok Laura.

Laura mengulurkan tangannya. "Dompet."

Landi mengerutkan kening tak paham dengan maksud Laura. "Apa—"

Sebelum Landi selesai berbicara, Laura lebih dulu memotong ucapannya dengan nada tak santai. "Gue mau dompet lo! Mana dompetnya?!"

Landi seketika memejamkan matanya dengan erat. Alisnya sudah meruncing tajam, menahan diri agar tak terbawa emosi karena sikap tidak sopan Laura. "Laura, sudah berapa kali Ayah bilang agar kamu bertingkah laku sopan pada ayahmu sendiri?"

Laura mengangkat sebelah alisnya. Sorot matanya memancarkan perasaan jijik pada Landi. Dia benar-benar tak menaruh rasa hormat sedikitpun pada sosok Landi yang merupakan ayahnya. Mau bagaimana lagi? Rasa hormat Laura telah hilang sepenuhnya kepada Landi akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri.

"Berhenti meminta gue melakukan hal yang membuat gue semakin jijik sama lo! Tidak tahu malu juga ada batasnya, tapi lo bahkan tak memiliki batasan itu. Dasar murahan!" Laura semakin berani menghina sang ayah secara blak-blakan. Mulutnya benar-benar tak menyaring setiap ucapan yang dilontarkan.

Landi memutuskan untuk tak berdebat lebih jauh dengan putrinya itu. Dengan kepribadian Laura yang aneh, Landi sudah memperkirakan akan seperti apa tanggapan yang diberikan Laura padanya. Laura justru akan sangat senang jika Landi terpancing amarahnya karena hinaan yang diberikan Laura.

Landi membuka laci meja kerja dan mengambil dompet miliknya. Dia mengulurkan dompet tersebut pada Laura, pasrah dengan apa yang akan putrinya itu lakukan pada dompet yang berisikan kartu-kartu penting dan uang tunai dalam jumlah besar.

"Dari tadi dong! Gue minta dompet aja susah banget! Pakai acara ngomong enggak penting! Bikin sakit telinga, tahu!" Laura merampas dompet yang diulurkan oleh Landi dengan kasar. Dia membuka dompet tersebut dan mengambil semua uang tunai hingga dompet tersebut kosong.

Tak hanya itu, Laura mengambil hampir semua kartu transaksi yang ada dan hanya menyisakan satu kartu yang memiliki limit kecil. Yang paling utama, Laura juga mengambil Black Card milik Landi.

"Nah, semua yang gue butuhkan udah gue dapatkan." Laura mengulurkan tangannya untuk mengembalikan dompet Landi yang hampir kering sepenuhnya.

Landi hanya bisa berusaha menyetok kesabarannya dalam menghadapi Laura. Dia hendak mengambil kembali dompetnya dari Laura. Bukan Laura namanya jika dia menyerahkan dompet itu begitu saja. Saat jari Landi hampir menyentuh dompet itu, Laura justru melempar dompet itu ke samping.

"Ups... Sengaja..." Laura menyeringai lebar. Sorot matanya menatap rendah Landi. Sikapnya benar-benar kurang ajar. "Ayo, marah... Enggak biasanya lo diam aja tanpa marah sedikitpun... Kan enggak seru kalau enggak ada pertengkaran hebat seperti yang pernah lo buat!"

Landi memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Tingkah Laura benar-benar membuatnya sakit kepala. "Aku lelah, Laura. Jangan memancing emosiku lebih jauh lagi. Bukankah semua yang kamu butuhkan dari ayahmu ini telah terpenuhi?"

Laura berdecih. "Ck, lo enggak seru banget. Tapi, ya, gue udah mendapatkan apa yang gue perlukan."

Laura berbalik pergi menuju pintu ruangan. Dia membuka pintu tersebut. Sebelum keluar dari ruangan, Laura berbalik untuk meninggalkan beberapa patah kata terakhir.

"Ah, ada satu lagi yang gue lupakan. Gue ingin lo mengurus mengenai pendaftaran seseorang di sekolah gue! Harus di kelas yang sama dengan gue. Kalau enggak gue bakal lebih dendam sama lo! Vikram akan mengirimkan informasi mengenai orang itu."

Landi tak tahu siapa lagi sosok yang Laura ingin tempatkan bersama dirinya melalui bantuannya. "Laki-laki atau perempuan?"

Laura tersenyum miring. Ini saat-saat yang dia tunggu. "Laki-laki. Sebagai tambahan, orang itu akan gue bawa ke sini dan tinggal dengan gue di rumah ini! Kalau lo enggak setuju, keluar aja dari rumah ini!"

Brak!

Pintu tertutup dengan keras hingga menimbulkan getaran untuk beberapa detik. Laura meninggalkan kata-kata yang begitu tak tahu diri. Padahal mansion yang ditinggalinya merupakan properti milik Landi, tapi gadis itu justru menyuruh Landi untuk pergi dari mansionnya sendiri.

Landi sudah tak tahan lagi. Dia benar-benar tak bisa mentolerir akan perbuatan Laura jika menyangkut mengenai kehidupan pribadi. Membawa pulang seorang laki-laki dan tinggal di bawah atap yang sama?! Bagaimana bisa Landi mengizinkan hal itu?!

"Laura Chintya Bella! Kembali ke sini! Apa maksudmu dengan membawa laki-laki tinggal di mansion ini?! LAURA, JANGAN MEMBUATKU SEMAKIN MARAH!!!"

Laura tertawa terbahak-bahak setelah mendengar teriakan penuh amarah dari Landi. Dia berjalan keluar dari mansion tanpa memperdulikan tanggapan ayahnya nantinya.

"Dia sudah marah. Lebih baik gue ke rumah Vikram untuk menjemput peliharaan gue yang tersayang! Angsa yang manis, tunggu kedatangan gue!" Laura dengan penuh semangat memasuki mobil dan melaju kencang menuju rumah Vikram yang masih satu komplek dengannya.

Selang beberapa menit kemudian, Laura telah tiba di halaman rumah Vikram yang begitu megah. Sebenarnya itu bukan sesuatu yang mengherankan karena Vikram merupakan satu-satunya calon penerus dari salah satu keluarga konglomerat. Rumahnya bahwa berada di kompleks perumahan elit seperti mansion milik Landi.

Laura keluar dari mobil dan berlari memasuki rumah Vikram tanpa permisi. Para pekerja di sana sudah mengetahui tentang Laura yang merupakan sahabat Vikram. Mereka sudah terbiasa dengan sikap Laura yang seenak jidat tanpa memperdulikan tanggapan orang-orang di sekitarnya.

"ANGSA! LO ADA DI MANA?! GUE DATANG KE SINI UNTUK MENJEMPUT LO, PELIHARAAN GUE TERSAYANG!" Laura berteriak keras setibanya di ruang tamu. Dia berkoar-koar tanpa tahu malu di rumah orang seakan itu rumahnya sendiri.

Teriakan sekeras itu tentunya menarik perhatian seisi rumah termasuk sosok Angkasa yang berada di kamar Vikram. Jantung Angkasa bergemuruh, dia yang sebelumnya dalam posisi menelungkup di tumpukan buku tebal, seketika menegakkan tubuhnya.

"Itu suara Laura!" Angkasa memekik kecil, dadanya membuncah dipenuhi kebahagiaan. Angkasa langsung berdiri dan berlari keluar kamar tanpa memperdulikan Vikram yang kini memucat.

Brak!

Pintu terbuka dengan keras sehingga menimbulkan getaran untuk beberapa saat. Vikram menggeram kesal dengan kelakuan Angkasa yang semakin lama semakin mirip dengan binatang. Benar-benar liar! Mungkin ini dikarenakan faktor Angkasa yang terlalu lama terkurung di ruangan gelap tanpa tahu bagaimana seharusnya manusia berperilaku baik.

Hidung Vikram terasa gatal. "Bau apa ini? Ah, gue tahu. Ini sepertinya bau-bau akan timbulnya masalah yang lebih besar sekaligus beban berat untuk gue."