Chereads / Sama-Sama Mendua / Chapter 14 - Mencoba untuk Menyelesaikan

Chapter 14 - Mencoba untuk Menyelesaikan

Deg!

Ammara kaget setengah mati saat mendengar pertanyaan dari Devan. Hanya satu pertanyaan yang muncul dalam benak Ammara saat ini, yaitu 'darimana Devan mengetahui semua ini?'

Helaaan napas terdengar perlahan keluar dari mulut Devan. Tatapannya tidak terputus sama sekali dari netra Ammara. Tatapan yang mengundang harapan akan jawaban.

"Ra ...," panggil Devan membuyarkan lamunan Ammara.

"Ah iya!"

Ammara melepaskan dirinya dari pelukan Devan lalu berbalik membelakangi tubuh Devan.

"Kamu pergi makan duluan aja ya, aku mau pakai baju dulu," kata Ammara, mengalihkan pembicaraan. Suaranya terdengar sedikit gugup dan gemetaran. Bahkan Ammara tidak berani sedikitpun melihat ke arah Devan saat ini.

Devan kembali menghela napasnya. Kali ini terdengar berat. Ia melangkah meninggalkan Ammara yang kini telah meneteskan air matanya. Berdiri memunggungi Devan yang pergi dengan raut kecewa.

Langkah kaki Devan membawanya ke ruang makan sesuai instruksi istrinya. Devan sedikit kecewa akan sikap Ammara yang tidak ingin jujur padanya. Padahal, ia sampai berhubungan badan dengan Jeana karena ketidakpuasannya. Dan ia semakin penasaran dengan istrinya. Jika memang Ammara juga tidak lagi merasakan pelepasan seperti yang ia rasakan, lalu dengan cara apa Ammara memberikan kepuasan pada dirinya sendiri selama ini?

Mungkinkah Ammara juga berselingkuh sama sepertinya?

Ah, tidak! Ammara bukan wanita yang seperti itu. Devan yakin jika sesulit apapun Ammara melewati semua ini, istrinya pasti tidak akan pernah menempuh jalan yang buruk itu.

Tapi ... Apa susahnya coba Ammara untuk berkata jujur padanya? Karena jika Ammara jujur pada Devan, maka Devan pun akan melakukan hal yang sama. Termasuk ... Jujur dengan apa yang telah ia lakukan dengan Jeana beberapa hari ini terakhir ini.

Shit!!!

Devan mengumpat, sepertinya untuk jujur soal itu, Devan tidak bisa. Lebih tepatnya, ia tidak berani sebab takut kehilangan Ammara. Istrinya itu pasti akan langsung mengambil keputusan untuk pergi darinya jika dia tahu bahwa Devan dan Jeana melakukan 'itu'. Dan Devan tidak akan pernah bisa melepaskan Ammara untuk pergi dari hidupnya.

Sebrengsek apapun Devan, ia tetap tidak berani mengambil konsekuensi kehilangan Ammara hanya karena Jeana.

Ini hanyalah masalah waktu. Devan yakin jika suatu saat nanti, hubungannya dengan sang istri pasti akan kembali bergairah lagi. Meski Devan sendiri kurang yakin kapan itu akan terjadi.

Di sisi lain, Ammara masih berdiri mematung di tempatnya. Yang berbeda kini hanyalah penampilan Ammara. Ia sudah mengenakan pakaiannya, setelah beberapa saat menumpahkan tangisnya.

Sejujurnya, Ammara tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Ada ketakutan tersendiri dalam diri Ammara untuk mengatakan yang sebenarnya pada Devan. Salah satunya, ia tidak ingin jika Devan meninggalkannya karena tahu kalau selama dua tahun terakir ini ia tidak merasakan gairah itu lagi.

Tunggu!!!

Sepertinya ada yang Ammara lewatkan ....

"Kalau Devan bertanya seperti itu, apa berarti selama ini dia juga merasakan hal yang sama?" gumam Ammara, mulai menyadarkan dirinya dari lamunan kosong tiada manfaatnya itu.

Ammara menelan ludahnya. Menyadari jika ia harus membicarakan masalah ini dengan Devan. Karenan sesungguhnya, ini masalah yang sangat krusial dan sangat penting demi keutuhan rumah tangga mereka. Jika bukan sekarang, lalu kapan lagi ia dan Devan membereskan semua ini?

"Iya, sepertinya aku perlu mendiskusikan hal ini dengan Devan," kata Ammara pada dirinya sendiri. Lalu bergegas keluar dari walk in closet dan mencari keberadaan Devan.

Namun, dimanapun ia mencari, Devan tetap tidak ada dimanapun.

"Dev ... Kamu dimana?" teriak Ammara, seraya berjalan mengelilingi setiap isi rumahnya

"Dia dimana sih! Kan tadi aku suruh ke ruang makan. Kok malah enggak ada," keluhnya, sedikit kesal. Namun sebelum kekesalan Ammara semakin bertambah. Suara telpon yang masuk ke ponselnya terdengar dari atas kamarnya.

Dengan langkah cepat, Ammara bergegas ke kamarnya untuk mengecek siapa gerangan yang menghubunginya.

"Devan!?" gumam Ammara saat melihat nama 'suami' yang terpampang di layar ponselnya.

Srettt!!

"Halo ...," sapa Ammara.

"Sayang, maaf ya tadi aku langsung ke kantor. Soalnya ada masalah yang sangat serius. Aku enggak sempat naik ke atas untuk pamit sama kamu," jelas Devan dengan raut gusar, ia khawatir jika Ammara akan marah atau kesal padanya karena pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Terlebih, mereka baru saja berada dalam keadaan yang canggung karena pertanyaan dari Devan.

Mendengar penjelasan dari Devan, hati Ammara menghangat. Ia merutuki kebodohannya karena sempat berpikir jika Devan telah pergi meninggalkan dirinya karena kesal sebab tidak ingin jujur pada pria itu.

Namun kini, perasaan Ammara lega. Karena permintaan maaf dari suaminya beserta segala penjelasannya.

"Sayang ... Kamu enggak masalah, kan?" tanya Devan lagi, karena tidak ada sahutan dari seberang telpon. Ammara terlalu asyik sendiri sekarang. Ia tidak sadar jika Devan masih menunggu jawabannya dengan perasaan khawatir.

"Iya, enggak apa-apa kok. Tapi kamu bahkan belum sempat sarapan loh. Kan kasihan kamunya," keluh Ammara dengan nada manja tapi penuh perasaan bersalah sebab ia yang terlalu lama di atas kamar hingga mengabaikan Devan yang ia minta untuk turun terlebih dahulu.

Devan terkekeh kecil mendengar keluhan istrinya. "Enggak apa-apa kok, Sayang. Nanti aku bisa pesan makanannya di luar aja," sahutnya lembut. Tanpa ingin memberatkan sang istri.

"Hem, jangan deh. Biar aku yang ke kantor kamu, aku yang akan bawain bekalnya, okey?" tawar Ammara, penuh semangat.

Senyuman lebar pun terbit di bibir Devan. Ia senang dengan perhatian kecil dari Ammara meski tadi mereka sempat berada dalam kecanggungan.

"Iya, Sayang. Hati-hati ya bawa mobilnya, jangan ngebut," pesan Devan sebelum mematikan sambungan telponnya dengan Ammara.

"Iya-iya, enggak ngebut kok, cuma di percepat, heheh," ucap Ammara di sertai senyumnya yang menggemaskan.

Saat ini, Devan sedang membayangkan gimana ekspresi istrinya itu saat sedang tersenyum seperti itu. Pasti terlihat sangat cantik. Ah, Devan malah tiba-tiba rindu.

"Sayang ... Jangan ngebut ya, tapi cepat datang kesini. Aku kangen sama kamu."

"Iya, aku kesana sekarang. Tunggu ya."

"Iya, Sayang. Hati-hati ... Jangan ngeb~"

Klik!

Belum sempat Devan menyelesaikan peringatan kecilnya, Ammara sudah lebih dulu mematikan sambungan telponnya. Pasti telinga istrinya itu sudah mulai terasa panas karena harus mendengar kata-kata yang sama beberapa kali.

"Yah ... Dimatikan. Enggak sopan, untung sayang," gumam Devan seraya tersenyum tipis kemudian melanjutkan pekerjaanya.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu, sejenak menghentikkan aktivitas Devan yang baru saja mulai serius menyelesaikan proyek penting yang bahkan menggunakan waktu liburnya untuk segera menyelesaikannya.

"Masuk!" titah Devan dari dalam. Matanya merotasi ke arah pintu untuk melihat siapa gerangan yang menganggunya.

Cklek~

"Permisi, Pak Devan."

"Ada apa Tina?" tanya Devan, tanpa melirik ke arah Tina. Ia kira tadi ada istrinya yang datang. Tapi ternyata itu sekretaris pribadinya.

"Ada seorang wanita yang meminta untuk bertemu dengan anda, Pak," jelas Tina, sedikit gugup. Karena Devan terlihat begitu dingin padanya sekarang.

"Siapa?"

"Namanya~"

"Aku!" seru seorang wanita yang kini sedang berdiri dengan tubuh yang menantang di belakang Tina.

Mendengar suara yang begitu tidak asing lagi di telinganya, Devan segera mendongak untuk memastikan.

"Jeana ...," gumam Devan dengan pikiran yang entah kemana perginya sekarang.