"Maaf Ammara, sepertinya ini akan menjadi terakhir kalinya aku memegang naskah tulisanmu," ucap Jeana tiba-tiba membuat Ammara tersedak ludahnya sendiri.
"Apa ada yang terjadi?" tanya Ammara meski ragu.
Jeana mengangguk sedikit kemudian meraih minuman di hadapannya untuk kemudian ia teguk secara perlahan. "Ya. Aku harus berhenti sementara dalam pekerjaanku. Karena aku harus membantu Daddy ku mengurus perusahaan."
"Bukankah kamu sangat menyukai pekerjaan ini?"
Senyuman tipis terbit di bibir Jeana. Dengan tatapan intens menyorot netra Ammara. Wanita di hadapannya ini sangat tahu banyak hal tentangnya. Tentu saja seperti itu, karena ia dan Ammara sudah sangat lama menjalin kerjasama. Bahkan sebelum Ammara bertemu Devan.
Ammara sudah seperti teman yang sangat dekat bagi Jeana. Sayangnya, hanya karena seorang pria, Jeana harus menjadi teman yang akan menusuk temannya sendiri dari belakang. Teman yang akan mengkhianati temannya. Dan teman yang memakan temannya.
"Aku memang menyukainya. Tapi untuk kali ini aku lebih menyukai tawaran Daddy-ku," jawab Jeana dengan tanpa dosa. Lalu melanjutkan dalam hatinya, 'Karena yang di tawarkan Josh adalah pria yang sangat ku inginkan, Ammara. Yang tidak lain adalah suamimu sendiri. Aku harap setelah kamu tahu nantinya, kamu tidak akan terlalu membenciku. Karena kamu sendiri yang mengatakan itu dalam novelmu, "Orang yang jatuh cinta tidak pantas untuk di salahkan" maka jangan salahkan aku nantinya.'
Ammara mengangguk paham. Baginya setiap orang memiliki pilihan masing-masing dalam hidupnya. Tidak ada yang boleh memaksa seseorang untuk memilih apa yang tidak dia inginkan. Namun terkadang, ada yang tidak memilih sama sekali hingga akhirnya menjalani hari-harinya dengan santai namun tidak produktif.
"Sepertinya tawarannya sangat menarik untukmu. Sampai kamu yang sangat cinta dengan pekerjaan ini rela meninggalkannya untuk itu."
Tanpa ada rasa malu, Jeana mengangguk cepat. "Benar, Ammara. Tawarannya sangat menarik. Dan aku tidak bisa bilang tidak."
"Baiklah. Semoga pilihanmu ini tidak akan membuatmu menyesal, Jeana. Karena aku tahu, terkadang pilihan kita hari ini akan menjadi bumerang untuk hidup kita ke depannya."
"Tentu. Tentu aku tidak akan menyesali ini," sahut Jeana dengan yakin.
***
Ammara pulang dari kafe setelah menyelesaikan pertemuannya dengan Jeana. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Berusaha untuk menikmati waktunya saat ini.
Pandangannya lurus ke depan melihat jalanan. Tapi pikirannya di penuhi dengan tanda tanya. "Benarkah Devan berselingkuh dariku?" gumamnya dengan perasaan gamang.
Tidak pernah Ammara segamang ini. Selama berumah tangga dengan Devan ia sangat bahagia. Pria itu tidak pernah bersikap dan bertingkah yang membuat Ammara tidak menyukainya. Bisa di bilang, Devan termasuk tipe good boy yang taubat dan hijrah dari sebelumnya ia bergelar badboy.
Ammara sangat tahu semua masa lalu Devan. Pria itu selalu bergonta ganti pasangan. Lebih jelasnya, ia berpacaran dengan satu wanita hanya akan bertahan paling lama dua hari. Namun setelah bertemu Ammara dalam sebuah pesta pernikahan sepupu Ammara yang ternyata merupakan teman Devan, pria itu tidak mengajak Ammara berpacaran, melainkan langsung menikah.
Tentu saja sebagai wanita yang tidak pernah dekat dengan pria manapun. Dan kemudian di hadapkan dengan pria yang sangat ahli dalam menaklukkan hati wanita, Ammara tidak menerimanya begitu saja.
Devan bahkan menunggu Ammara sampai tahun hingga wanita itu memberikan jawaban. Dan selama satu tahun itu terjadi, Devan benar-benar membuktikan bahwa ia layak dan pantas untuk Ammara. Setelah hari ini, Devan tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Kecuali dalam urusan pekerjaan dan bisnis. Pria itu akan menampakkan sikap dingin pada setiap wanita yang datang padanya.
"Ah! Apa aku terlalu banyak berpikir? Mana mungkin Devan berani mengkhianati cinta kami setelah berjuang mati-matikan seperti itu sebelumnya?" gumam Ammara dengan yakin.
Ya. Ammara yakin jika mungkin saja Tina telah salah bicara karena salah paham atau dirinya yang salah dengar saat menguping gumaman Tina.
"Benar Ammara. Kamu tidak boleh bertindak bodoh dengan memiliki pikiran seperti itu."
Setelah menyelesaikan problem yang mengikat dalam pikirannya, Ammara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedikit tinggi agar ia sampai dengan cepat di rumah dan memasak untuk makan malamnya dan Devan.
***
Malam harinya Devan baru pulang. Tubuhnya sangat lelah karena bekerja seharian. Meski sebelumnya ia terlalu bersemangat karena mendapatkan suntikan cairan cinta dari istrinya pagi tadi.
Dan untuk pertama kalinya, Devan pulang dengan wajah sumringah dan semangat meski lelah menerpanya. Ia tidak sabar untuk mendapatkan itu lagi. Menikmati waktunya dengan Ammara yang baginya terlihat buruk dua tahun terakhir ini.
Saat masuk, Devan mendapati Ammara sedang memasak sesuatu di dapur. Devan tersenyum ceria saat melihat tubuh molek dan seksi istrinya yang saat ini sedang memakai apron merah maroon sembari menikmati kegiatan memasaknya.
Pikiran jorok mulai memenuhi otak Devan. Kepalanya traveling kemana-mana dan tidak mampu menahan dirinya untuk tidak menuntaskannya saat ini juga.
Devan meletakkan tas kerja dan juga kemejanya di sofa ruang tamu. Kemudian berjalan cepat dan menghampiri istrinya yang posisinya tetap sama seperti tadi.
"Sayang ...," panggil Devan dengan lembut seraya memeluk istrinya dari belakang dengan erat.
Ammara sedikit tersentak dengan kedatangan Devan yang tiba-tiba saja langsung memeluknya dan menyusupkan kepalanya ke leher jenjang milik Ammara.
"Dev, kamu kapan pulang?" tanya Ammara, sembari berusaha melonggarkan pelukan Devan karena ia harus segera menyelesaikan masakannya.
"Baru saja," jawab Devan masih dengan posisi yang sama. Tapi kali ini tangannya lebih nakal dengan menyentuh bagian kembar milik istrinya yang tidak layak untuk di sebut. "Jangan bergerak, Sayang. Aku mau seperti ini sebentar saja."
Ammara menghembuskan napasnya pelan dan perlahan. Kemudian mematikan kompor. Ia tidak mungkin melanjutkan masakannya dalam keadaan Devan seperti ini. Bisa-bisa mereka akan terkena imbas dari apinya yang mungkin saja akan menghanguskan masakannya.
"Dev ... Geli," keluh Ammara merasa aneh dengan tubuhnya karena sentuhan menggelitik dari suaminya. Tangan suaminya itu benar-benar nakal.
"Kenapa harus geli?" Devan melonggarkan pelukannya dan membalikkan tubuh Ammara dengan lembut. "Ini bagian favoritku. Dan ini juga selalu membuatku tidak tahan. Aku ingin~"
"Devan! Jangan katakan! Apa kamu tidak malu?" sambar Ammara seraya menutup mulut Devan agar tidak melanjutkan ucapan vulgarnya. "Nanti kalau ada yang lihat dan dengar gimana? Kamu mau tanggung jawab dengan membuat mereka berpikiran jorok?"
"Aku tidak peduli. Kalau tidak mau berpikiran jorok, ya jangan lihat dan dengar," sahut Devan dengan santai sembari menarik resleting depan baju istrinya. Hingga sesuatu yang kembar itu terlihat sangat menantang di hadapan Devan saat ia keluarkan. "Wah ... Indah sekali," gumamnya seraya mengelus lembut bagian yang menjadi favoritnya itu.
Ammara hanya bisa meneguk salivanya kasar sembari menahan desahannya saat Devan mulai mendekatkan wajahnya dan meraup puncak gunung berwarna pink itu.
"Sayang ... Kita lakukan disini, ya?"