"Sayang ... Kita lakukan disini, ya?"
Ammara menyipitkan mata dengan pipi yang naik ke atas. Merasa tidak biasa dengan sikap manja Devan yang saat ini masih setia mengelus lembut gunung kembarnya.
"Apa tidak mau di kamar aja?" saran Ammara. Ia merasa kurang nyaman melakukannya di dapur. Baginya ini tempat untuknya memasak dan bereksplorasi dengan berbagai bumbu. Bukan untuk melakukan hal itu.
Selama ini cara Devan dan Ammara memang terkesan sangat datar. Mereka hanya sering melakukannya di ranjang. Meski sesekali melanjutkannya di kamar mandi saat sedang mandi bersama. Namun untuk melakukannya di tempat-tempat lain, mungkin ini akan menjadi pengalaman pertama bagi Ammara jika Devan bersikeras untuk tetap melakukannya disini.
Devan diam tanpa menjawab. Pria itu hanya menggelengkan kepalanya tanda bahwa ia tidak menyetujui saran dan masukan dari istrinya. Mulutnya kembali mendekat pada dua gunung yang masih menjulang dengan kokoh itu.
Pada akhirnya Ammara tidak bisa mengelak lagi. Ia membiarkan suaminya melakukan sesukanya. Bercocok tanam padanya. Menanam bibitnya hingga terkadang bibit itu keluar dari lubangnya saking banyaknya bibit unggul milik Devan.
Setelah puas bercocok tanam di samping kompor dapurnya. Devan mengangkat tubuh istrinya untuk ia dudukkan di atas meja makan. Melanjutkannya lagi disana. Wajah Ammara semerah tomat. Bahkan tomat masak tidak mampu mengalahkan rona merah itu. Hubungannya dengan Devan benar-benar sudah kembali sempurna sekarang. Keduanya telah sama-sama puas dengan kegiatan bercocok tanam yang mereka lakukan. Tidak seperti dua tahun belakangan dimana ... Gagal panen.
"Aku mencintaimu, Ra ...," bisik Devan dengan suara seraknya yang terdengar sangat menggoda. Membuat kegiatan bercocok tanam mereka semakin menggelora.
"Aku juga mencintaimu, Sayang," balas Ammara seraya memeluk erat tubuh Devan yang terus saja memasuki dirinya.
.
.
.
Kruyuukkkk!!!
Ronde kedua berakhir dengan suara keroncongan perut Devan. Ammara menutup mulutnya untuk menahan tawanya karena sang suami yang masih saja berada dalam dirinya sementara rasa laparnya tidak bisa lagi di tunda.
"Kamu lapar banget ya, Sayang?" tanya Ammara dengan lembut pada suaminya yang telah menghentikan aktivitas keduanya meski alat untuk bercocok tanam itu belum Devan keluarkan.
Devan hanya mengangguk malu. Sebenarnya ia masih ingin melanjutkannya. Ia dan Ammara sudah seperti pengantin baru saja. Sama sekali tidak ingin melepaskan diri dari tubuh masing-masing.
"Keluarkan gih. Aku mau melanjutkan masaknya. Kamu duduk dulu ya," ucap Ammara seraya turun dari meja makan setelah Devan mengeluarkannya. "Nanti kita lanjutkan saat mandi bersama," bisiknya sebelum berjalan menuju dapurnya untuk kemudian kembali bereksplorasi dengan ritual masaknya.
Mendengar hal itu tentu saja Devan kembali bersemangat. Ia langsung mengambil duduk di kursi meja makan untuk menunggu masakan istrinya.
"Sayang," panggil Devan yang membuat Ammara menoleh sembari mengaduk kembali sop ayam buatannya. "Apa kamu tidak membutuhkan bantuanku?"
Ammara menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Semuanya udah selesai. Tinggal memasukannya ke mangkok aja."
Setelah Ammara berkata demikian, Devan bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari piring. Kemudian mengambil mangkok dan piring dari dalam sana.
Melihat apa yang Devan lakukan saat ini, hati Ammara merasa hangat. Suaminya itu benar-benar pria idaman. Sudah tampan, pengertian, baik dan tentunya sangat menyayangi dan mencintai dirinya.
Ammara tersenyum getir ketika mengingat kembali dirinya yang sempat berpikiran buruk tentang Devan. Mungkin saja memang pagi tadi Tina telah salah berbicara. Meski jauh di lubuk hatinya, Ammara masih menyimpan tanya akan kesalahan yang seharusnya tidak seorang asisten pribadi lakukan.
"Ra!" panggil Devan sedikit menyentak karena istrinya terlihat melamun di hadapan sop ayam yang sudah matang dan siap di pindahkan di atas piring.
"Eh, kenapa Sayang?" tanya Ammara menyadarkan dirinya. Ia langsung mematikan kompornya.
"Kamu kenapa melamun? Ini mangkoknya sudah aku ambilkan. Atau kamu duduk aja? Biar aku yang memindahkannya," tawar Devan penuh perhatian.
"Jangan, Sayang. Biar aku aja. Terima kasih, ya? Kamu kembali duduk aja, tunggu aku disana," ucap Ammara seraya mengelus lembut pipi suaminya dengan satu tangannya. Sementara tangan yang lain, Ammara gunakan untuk mengambil mangkok yang ada di tangan Devan.
Devan menurut mengikuti apa yang istrinya ucapkan. Pria itu berjalan menuju makan dan duduk disana. Sebelumnya, ia me-lap bersih sisa-sisa percintaannya dengan Ammara yang masih terlihat di atas meja sembari menunggu istrinya datang meletakkan hasil masakannya.
"Sudah siap!" seru Ammara dengan wajah penuh binar. Berjalan dengan membawa sop ayam buatannya dan meletakkannya di atas meja makan. Lalu kembali ke bagian dapur untuk mengambil menu lain yang sudah ia selesaikan sebelum kedatangan suaminya.
Acara makan malam pun berlangsung dengan penuh mesra. Keduanya saling menyuapi dengan wajah malu-malu layaknya anak remaja yang baru saja merasakan cinta. Atau seperti pengantin baru yang saling mencintai.
"Masakannya enak banget, Sayang. Padahal menunya biasa loh. Tapi kamu sangat bisa untuk membuatnya menjadi luar biasa," puji Devan, penuh semangat.
Ammara tersenyum bahagia menanggapi pujian suaminya. Devan memang selalu seperti itu. Apapun yang Ammara masak, maka Devan tidak pernah absen untuk memujinya. Bahkan roti bakar selai saja sangat enak dan nikmat menurut Devan.
Meski pujian Devan terkesan berlebihan bagi Ammara, tapi ia tetap merasa senang akan hal itu. Artinya, Devan memang sangat pandai untuk membuatnya berada di atas awan.
Ammara akui jika Devan memang sangat pandai segalanya. Bukan hanya soal ranjang melainkan pada semua bidang. Hal itu terkadang membuat Ammara khawatir jika Devan akan tergoda dengan banyak wanita yang mengincarnya di luar sana. Sehingga ketika hubungannya dengan Devan tidak lagi pernah merasakan pelepasan dua tahun belakangan, Ammara sangat frustasi. Takut jika Devan akan berpaling dan kembali pada euforia kehidupannya sebelum bertemu dengan Ammara--memiliki banyak wanita untuk memuaskan hawa napsunya.
Usai makan malam selesai. Kegiatan bercocok tanam kembali di lakukan. Dan kali ini di kamar mandi. Malam ini benar-benar menjadi malam yang sangat menggairahkan bagi kedua insan manusia yang baru lagi merasakannya indahnya surga dunia itu.
Erangan dan desahan terdengar menggema di seluruh ruang dalam kamar mandi tersebut. Keduanya seakan-akan sedang membayar apa yang sebelumnya tidak lagi mereka rasakan.
Di saat seperti itu, Devan kembali menyesali semuanya. Menyesali dirinya yang pernah terjebak dengan Jeana dan tidur dengan wanita itu. Padahal, jika ia mau bersabar sedikit lagi saja. Mungkin segalanya tidak akan pernah menjadi seperti ini.
Tapi benarkah Devan sungguh menyesali semuanya? Ataukah jika ada lagi kesempatan ia masih ingin menenggelamkan dirinya dalam lautan gairah bersama Jeana?
Siapa yang akan tahu. Segalanya tergantung pada diri Devan sendiri. Ia masih ingin bermain api atau menghentikannya untuk selamanya.