Deg!
Setelah mendengar Tina berkata demikian, Devan mulai ketar-ketir tidak karuan. Namun dengan sekuat tenaga ia menutupi rasa khawatirnya itu. Di gantikan dengan wajah dingin dan penuh ketegasannya, khas seorang Devan.
"Baiklah." Devan melangkah masuk dengan di ikuti oleh Steven dibelakangnya.
Steven melirik sejenak ke arah Tina untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi melalui bahasa tubuhnya. Akan tetapi hanya gelengan kepala dengan bahu yang terangkat tak acuh yang Tina berikan.
Cklek~
"Devan say~"
"Lepas!" sentak Devan dengan wajah kesalnya. Pada Jeana yang saat ini sedang menghampirinya dan menghambar masuk dalam pelukannya.
"Kok kamu gitu sih, Dev? Kamu tidak lupa bukan kalau kita~"
"Cukup!" sambar Devan tanpa ampun. Tatapannya menyorot tajam pada Jeana. Membuat Jeana sedikit ketakutan namun lebih memilih menyembunyikanya. "Ada apa anda kesini?"
Heh! Anda? Devan sepertinya ingin secepatnya bermain bisnis. Tidak masalah. Jeana akan selalu melayaninya.
"Saya datang untuk membicarakan terkait kerjasama kita dalam proyek besar itu, Pak Devan," ucap Jeana, mulai menggunakan nada formal.
"Baiklah. Silakan duduk."
Kedua orang itu sibuk dengan dunia mereka berdua. Tanpa sadar jika Steven sedang memerhatikan mereka sejak tadi. Devan sampai lupa jika ia sudah memberikan mandat pada Steven untuk membantunya mengurus proyek besar kali ini, saking kesalnya dengan Jeana.
"Pak Devan, apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Steven, ikut masuk dalam dunia keduanya sebelum benar-benar membahas tentang proyek tersebut.
"Ada. Tapi tidak sekarang. Kamu keluarlah dulu. Ada yang harus saya bicarakan dengan Nona ini," titah Devan yang langsung mendapatkan anggukan kepala dari Steven.
"Baik, Pak. Jika ada apa-apa, anda bisa memanggil saya. Saya akan stay di luar."
"Hmm." Devan menggumam dengan tatapan terus menyorot tajam pada Jeana saat ini yang sudah mulai nakal dengan memainkan kancing kemejanya sendiri.
Steven pun pergi dengan pintu di tutup oleh pria itu dari luar.
"Katakan! Apa maksud anda bahkan rela meninggalkan pekerjaan anda sebagai editor istri saya demi untuk terlibat dengan proyek ini?" tanya Devan tanpa basa-basi dengan mata yang terus menunduk.
Senyuman lebar mengembang di bibir Jeana. Ingin sekali ia menertawakan sikap Devan saat ini yang begitu menjaga pandangannya. Padahal pria itu bahkan telah melihat bagian yang paling dalam dan tersembunyi dari milik Jeana.
"Kenapa menunduk, Pak Devan? Anda takut, tergoda dengan saya?" Jeana tidak menghiraukan tatapan tajam Devan yang kembali menyorotnya. Ia malah lebih berani untuk mendekat. "Tatapan anda sangat indah, Pak. Saya sampai teringat kembali dengan kenangan pada saat kita bercinta dulu."
"Jangan mendekat!" peringat Devan, keringatnya mulai bercucuran karena berusaha keras menahan syahwatnya sejak tadi. "Kalau kamu mendekat, maka~"
"Maka apa, Pak Devan?" sahut Jeana dengan nada manja. Tubuhnya sudah naik ke atas pangkuan Devan. Menggerakan pinggulnya sedikit demi untuk menganggu adik kecil pria itu. "Saya tidak takut dengan ancaman anda. Tapi bahkan saya semakin bergairah saat melihat anda berusaha menolak saya seperti ini."
Wajah sensual Jeana kini berbisik dengan sangat halus di telinga Devan. Wanita itu sengaja menghembuskan napasnya disana demi agar gairah Devan tersulut. Sementara tanganya mulai nakal dengan memainkan dada bidang Devan. Bukan hanya itu, bamper belakang Jeana bergerak kiri kanan sehingga sesuatu yang tidak pantas di sebut itu menyembul disana dan serasa sesak meminta keluar.
Jeana memberikan seringaian halusnya saat menatapi ekspresi Devan saat ini yang mulai tersulut. Bahkan mulut pria itu mengerang meski dengan sisa kekuatannya mendorong Jeana agar bangkit dari sana.
Pelukan erat Jeana berikan sehingga Devan bahkan tidak bisa bergerak. Sengaja Jeana tempelkan gunungnya disana agar Devan mengingat kembali betapa lembut miliknya itu.
"Milikku tidak selembut Ammara, bukan? Dan aku juga bahkan tidak seagresif dia. Jelas, aku menang banyak di banding perempuan yang hanya lebih banyak tahu tentang menulis cerita itu," bisik Jeana dengan nada sensual di telinga Devan.
Telinga Devan memerah bak kepiting rebus karena berbagai godaan yang Jeana layangkan. Wanita penggoda itu benar-benar tidak menyerah padahal Devan sudah berusaha mendorong tubuh lemahnya. Tapi memang dasar laki-laki yang tidak terlalu mampu menahan hawa napsunya, apalagi di depannya ada seonggok manusia yang sedang menawarkan diri. Bahkan sudah pernah ia rasakan betapa nikmat daging kecil milik manusia itu, tentu saja akan tergoda.
"Jeana! Anda benar-benar keterlaluan!" ujar Devan dengan emosi yang sudah memburu. Ia lalu mulai melupakan wanita yang saat ini sedang setia menunggunya di rumah. Menyelami indahnya neraka yang di bungkusi oleh nikmatnya surga dunia.
Jeana tersenyum smirk saat kemudian Devan mulai menerjangnya habis. Membabat tubuhnya bagai seorang petani yang sedang membabat lahan.
.
.
.
Takkk!!
Suara gelas yang jatuh dan pecah, segera membuat Ammara terbangun dari lamunannya. Dalam sejenak ia kembali teringat dengan gumaman Tina waktu itu.
Meski sebelumnya Ammara sempat berpikir untuk melupakannya saja. Namun nyatanya, hal itu begitu sulit baginya. Dan kini pikiran itu mulai merasukinya lagi.
Ammara bangkit dari duduknya demi untuk mengambil ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas meja. Wanita itu membuka layar ponselnya untuk kemudian mendial nomor suaminya.
Lama Ammara dalam posisi menunggu telponnya di angkat oleh Devan. Tapi pria itu tidak kunjung mengangkatnya. Karena tanpa Ammara tahu, saat ini suaminya sedang meneguk nikmatnya milik wanita lain tanpa sedikitpun mendengar panggilan masuk darinya.
Suara erangan Jeana menutupi suara dering ponsel itu. Kegiatan saling membabat mereka berlanjut di ranjang pribadi ruangan kantor Devan. Pria itu seperti sudah lupa daratan. Jeana memang benar-benar sangat nikmat. Bahkan Ammara kalah nikmat dibandingkan dengan wanita yang sudah memiliki pengalaman dengan banyak laki-laki itu.
"Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan, Devan?" gumam Ammara dengan perasaan khawatirnya. Tidak biasanya Devan bersikap seperti ini. Tapi kali ini, pria itu benar-benar sedang mengabaikannya.
Ammara berjalan keluar dari rumahnya setelah menyambar kunci mobilnya yang terletak di atas meja ruang tamu. Melangkah pelan untuk kemudian masuk ke dalam mobilnya, tapi gerak tangannya tertahan oleh Arnold yang entah sejak kapan berada disana.
"Arnold? Kenapa kamu disini?" tanya Ammara, menutup kembali pintu mobilnya dan berbalik melihat pria itu.
Plukk!!
Tanpa basa-basi, Arnold masuk dalam pelukan Ammara. Mendekapnya erat hingga membuat Ammara bahkan kesulitan bernapas.
"Arnold! Lepas!" sentak Ammara, merasa aneh dengan sikap Arnold saat ini. Namun Arnold tidak melepasnya sedikitpun. Bahkan semakin mendekapnya erat.
"Tidak, Ra. Aku tidak mau melepaskanmu kali ini." Ucapan Arnold membuat Ammara membeku sejenak. Hingga kata-kata Arnold kemudian mampu membuat Ammara terbelalak tanpa suara. "Aku mencintaimu, Ammara. Amat sangat mencintaimu."