Chereads / Sama-Sama Mendua / Chapter 20 - Aku Mencintaimu

Chapter 20 - Aku Mencintaimu

Ting!

Sebuah pesan masuk di ponselnya entah kenapa membuat Devan terbangun dari tidurnya di larut malam seperti ini. Matanya terbuka dan mengerjap pelan kemudian meraih ponselnya di atas nakas.

"Nomor siapa ini?" gumam Devan seraya mengeryitkan keningnya bingung. Namun sesaat setelah ia membuka isi pesan tersebut. Devan langsung benar-benar membulatkan matanya.

'Jeana!' batinnya syok. Seakan pesan dari Jeana akan mampu mengubah seluruh alur kehidupan Devan setelah ini.

Devan mencengkram erat ponselnya dengan mata menyalang. Ia tidak menyangka jika perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaannya dalam sebuah tender besar beberapa hari yang lalu ternyata milik keluarga Jeana.

Josh Cambridge--Pria yang terkenal dengan sejuta cara liciknya itu ternyata akan mengirimkan anaknya untuk mengurus kerjasama tersebut.

'Darimana Josh mengetahui hubunganku dengan Jeana? Dasar pria licik!' umpat Devan dalam hati.

Mata Devan melirik ke arah wajah istrinya yang terlihat gelisah dalam tidur. Devan mengusap pelan rambut istrinya kemudian mendekatkan wajahnya lalu mencium keningnya mesra.

Perasaan bersalah kembali menyeruak masuk dalam hati Devan. Penyesalan terbesar ia dalam hidupnya adalah bertemu Jeana malam itu. Berlanjut pada Ammara yang membiarkan dirinya untuk pulang berduaan dengan Jeana. Hingga berakhir dengan dirinya melakukan kesalahan satu malam bersama wanita itu sampai kemudian berlanjut pada kesalahan-kesalahan selanjutnya.

Devan mengeram kesal. Ia tidak menyangka jika Jeana akan bertindak sangat agresif. Wanita itu tidak hanya agresif soal ranjang. Tapi ternyata juga soal rencananya untuk dekat dengan Devan.

'Oh shit!' umpat Devan dalam hati. Mengingat Jeana kenapa membuat dirinya panas dingin seperti ini?

Tidak ingin terjebak dalam bayangan dirinya bersama Jeana. Devan akhirnya meletakkan ponselnya dan masuk ke dalam selimut. Merapatkan tubuh telanjangnya bersama sang istri di dalam selimut.

Tangannya yang nakal kembali menyentuh bagian sensitif tubuh istrinya. Hingga membuat Ammara mengerang pelan dalam tidurnya. Devan terus memainkan puncak gunung tambora milik istrinya. Sampai akhirnya Ammara terbangun dengan napas yang memburu.

"Kenapa, Sayang?" tanya Ammara lembut dengan suara yang pelan. Mengelus sayang pipi sang suami yang masih setia meletakkan tangannya di puncak gunung Ammara.

Devan menggeleng kemudian semakin merapatkan tubuhnya pada Ammara hingga keduanya tidak memiliki jarak sedikitpun.

"Kamu masih mau nambah?" tanya Ammara, dua tahun lebih berumah tangga dengan Devan membuat Ammara cukup mengenal suaminya.

"Mau," jawab Devan jujur dengan wajah yang terlihat sangat menggemaskan. Ingin rasanya Ammara tertawa melihat ekspresi Devan yang seperti itu. "Tapi kamu tidak perlu bergerak. Biar aku yang melakukannya sendiri. Aku tahu kalau kamu sangat lelah."

Ammara memberikan senyuman termanisnya pada Devan. Senyuman yang hanya Ammara khususkan untuk suaminya. Tidak dengan siapapun.

"Kalau aku tidak bergerak, itu tidak akan terlalu membuat kamu puas. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Kita baru saja kembali merasakannya, bukan? Dan aku tidak ingin kita kembali pada kondisi kelam itu, Sayang," sahut Ammara penuh pengertian.

Ammara sangat menyadari betapa kelamnya hidupnya bersama Devan saat keduanya tidak sama-sama merasakan pelepasan itu. Dan Ammara sama sekali tidak ingin dan berniat sedikitpun untuk kembali ke posisi itu.

"Tapi memangnya kamu tidak lelah? Aku khawatir kamu~"

"Aku tidak apa-apa," sela Ammara dengan cepat. Menutup mulut Devan menggunakan tangannya yang masih bebas dari himpitan Devan. "Yang aku inginkan hanya kebahagiaan kamu, Dev. Dan aku tidak peduli dengan yang lain. Kamu tahu, kan? Jika hanya kamu keluarga yang aku punya? Dan aku tidak bisa berkata tidak untuk membahagiakan satu-satunya keluarga yang aku cintai."

Mendengar ucapan Ammara yang di penuhi dengan ketulusan, Devan tersenyum bahagia. Hasratnya yang ingin segera memasuki tubuh istrinya menguar begitu saja di gantikan dengan rasa nyaman yang lebih menentramkan hati. Hingga yang Devan lakukan sekarang hanya memeluk Ammara semakin erat.

"Kamu selalu pandai membuatku jatuh cinta berulang kali, Ra. Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika aku sampai aku kehilangan kamu," ucap Devan tanpa mengendurkan sedikitpun dekapannya.

Ammara tersenyum atas ucapan Devan. Sepertinya prianya ini benar-benar sangat bucin padanya. Sampai berkata seperti itu.

Di sela-sela pelukannya dengan sang suami. Ammara berharap jika apapun yang terjadi, cintanya dengan Devan yang akan menang.

"So? Enggak jadi nih kamu melakukannya lagi?" uji Ammara seraya mengedipkan sebelah matanya, menggoda.

Devan tersenyum geli dengan tingkah genit istrinya. Ia kemudian hanya menggeleng tanpa sedikitpun mengendurkan dekapannya.

.

.

.

Pagi harinya seperti biasa Devan akan berpamitan dengan Ammara setelah selesai sarapan bersama.

Roti bakar yang di olesi selai menjadi pilihan menu dari kedua suami istri ini setiap paginya.

Devan juga tidak meminta yang muluk-muluk. Sedari awal pernikahan, ia dan Ammara sudah menentukan semuanya. Terutama soal sarapan di pagi hari.

Dan seperti biasa, Devan akan memuji roti bakar buatan itsrinya. Hingga membuat wajah cantik dan putih itu merah merona.

"Aku berangkat kerja dulu ya, Sayang," pamit Devan seraya mengecup lembut kening istrinya.

"Iya. Hati-hati. Dan jangan terlalu lelah," pesan Ammara penuh cinta.

"Iya, Sayang. Dah ...."

"Iya."

Ammara melambaikan tangannya untuk mengiringi kepergian Devan. Hingga pria itu menghilang dari pandangan, Ammara baru menutup pintu dan masuk ke dalam rumahnya.

Devan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Senyumnya tidak pernah terlepas sejak semalam hingga ia keluar dari rumah pagi ini. Ammara memang sangat pintar membuat moodnya kembali membaik.

Setengah jam kemudian Devan sampai di perusahaannya. Bangunan yang menjulang tinggi itu seakan sedang menyambut kedatangannya dengan penuh kegembiraan.

Devan melangkahkan kakinya masuk ke dalam perusahaan setelah menyimpan mobilnya di depan beranda perusahaan dan langsung di ambil alih oleh satpam untuk memarkirakannya ke tempat biasa.

Ekspresi Devan penuh keceriaan pagi ini. Sapaan hangat para karyawannya ia sambut dengan hangat pula. Membuat orang-orang cukup terkejut dengan sikap Devan yang seperti kembali pada masa dua tahun yang lalu. Saat dirinya baru menjadi pengantin setelah menikahi Ammara.

"Selamat pagi, Pak Devan," sapa asisten pribadi Devan dengan ceria. Asisten yang baru saja pulang dari cuti menemani istrinya melahirkan.

"Selamat pagi, Steven. Bagaimana kabar istri dan anakmu yang baru saja lahir? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Devan, penuh perhatian.

Asisten pribadi Devan yang bernama Steven itu tersenyum senang dengan perhatian yang atasannya itu berikan.

"Baik-baik saja, Pak. Semuanya berkat anda yang memberikan cuti panjang untuk saya."

"Ya. Bukan masalah. Lagipula sebentar lagi aku akan merepotkanmu dengan proyek besar dalam waktu dekat ini. Maka bersiaplah."

"Saya selalu siap, Pak. Anda tenang saja," sahut Steven, semangat.

"Baguslah."

Keduanya akhirnya berjalan beriringan menaiki lift yang hanya khusus di gunakan oleh Devan dan beberapa orang yang memegang kartu akses khusus untuk itu.

Ting!

Devan berjalan keluar bersama Steven setelah pintu lift terbuka. Di depan pintu ruanganya ia di sapa dengan Tina.

"Selamat pagi, Pak."

"Selamat pagi."

Devan hendak melanjutkan langkahnya. Namun ucapan Tina kemudian seketika menghentikkan langkah pria itu.

"Maaf, Pak. Di dalam ruangan anda telah ada pihak perwakilan dari perusahaan Tuan Josh sedang menunggu anda."