Cklek~
"Siapa yang datang, Sayang?" tanya Devan dengan lembut. Ia baru saja keluar dari kamar khusus yang di sediakan di dalam ruangannya. Lengkap dengan penampilan yang telah berubah seratus persen.
Usai bergelut panas dengan istrinya di ranjang. Devan melanjutkannya dengan Ammara di dalam kamar mandi--di bawah guyuran shower. Kemudian Ammara lebih dulu keluar setelah keduanya sama-sama mencapai pelepasan untuk yang ke sekian kalinya.
Dan ketika mendengar pintu ruangan kerja suaminya di ketuk, Ammara bergegas menggunakan pakaiannya demi untuk terlebih dahulu membuka pintu. Sementara Devan masih melanjutkan kegiatannya mengguyur tubuhnya.
Namun tidak di sangka, saat Ammara hendak membukakan pintu ruangan kerja Devan, ia malah mendengar gumaman pelan yang keluar dari mulut Tina. Meski samar tapi Ammara masih bisa mendengarnya dengan jelas ucapan wanita seksi itu yang mengatakan bahwa suaminya memiliki selingkuhan.
Yang menjadi pertanyaan Ammara saat ini yaitu sejak kapan Devan telah berselingkuh darinya? Benarkah Devan telah mengkhianati cintanya selama ini?
Ammara menatap getir ke arah netra suaminya yang masih bingung dengan ekspresi kedua wanita itu. Amamara dengan ekspresi sendu dan penuh lukanya. Sedang Tina dengan ekspresi takut dan khawatirnya.
"Ada apa, Tina?" tanya Devan, mengalihkan pembicaraan ke arah Tina. Karena Ammara saat ini terlihat sedang mengacuhkannya.
"Sa-saya ... Saya hanya ingin memberikan berkas ini untuk anda tanda tangani, Pak," jelas Tina dengan gugup. Tubuhnya gemetaran ketakutan karena Ammara tidak sengaja mendengar ucapannya. Bisa-bisa Tina di pecat jadi sekretaris pribadi Devan. Padahal pekerjaan menjadi sekretaris di D Jacob merupakan impian terbesar dalam hidup Tina. Sebab ia berpikir jika perusahaan besar ini akan mampu memenuhi kehidupannya yang susah.
"Baiklah. Letakkan saja disana. Kamu bisa keluar." Devan menunjuk ke arah meja kerjanya seraya meminta Tina untuk segera beranjak dari tempat itu. Meninggalkan ia dan Ammara yang bahkan tidak mengatakan apapun sejak tadi.
"Ba-baik, Pak." Tina bergegas pergi usai menyimpan berkas-berkas tersebut. Ia bahkan berlari kecil keluar dari sana demi untuk menghindari tatapan mengintimidasi dari Ammara yang seumur-umur baru ia dapatkan hari ini.
Setelah Tina keluar dari ruangan, Devan langsung berjalan mendekat ke arah istrinya. Kemudian tanpa basa-basi memeluk tubuh istrinya dari arah belakang. Dagu Devan ia letakkan di bahu Ammara.
"Kamu kenapa, Sayang? Kok dari tadi diam aja?" Devan bertanya dengan suara yang lembut. Membuat Ammara berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan kecurigaan yang terlanjur menelisik dalam jiwanya.
"Enggak apa-apa. Aku cuma kecapean aja. Mungkin tadi terlalu lelah," jawab Ammara, memberi alibi dengan mengatakan bahwa dirinya lelah karena harus melayani hasrat Devan yang besar.
Entah sejak kapan Devan lebih semakin dominan saat berada di atas ranjangnya. Apa mungkin setelah keduanya baru saja merasakan klimaks saat bercinta setelah dua tahun lamanya rasa itu tidak pernah terwujud? Atau mungkin juga sejak ....
"Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang. Kamu harus perbanyak istirahat," putus Devan kemudian namun di tanggapi gelengan oleh Ammara.
"Aku bisa pulang sendiri, Dev. Lagipula juga aku belum bisa langsung pulang. Aku harus menemui editorku dulu untuk menanyakan soal sejauh mana persiapan naskahku untuk bisa di terbitkan."
Saat Ammara menyebut kata 'editor' tubuh Devan memberikan reaksi yang aneh. Seperti ada rasa takut tapi juga tidak.
Devan jelas merasa takut dan khawatir. Takut jika Jeana membongkar hubungan mereka berdua. Bahkan sampai telah melewati batas. Kalau Ammara tahu semuanya, bukan tidak mungkin jika Ammara akan menggugatnya dan pergi dari hidupnya--meninggalkannya seorang diri.
"Baiklah. Kalau gitu kamu hati-hati, ya?"
Ammara tidak menjawab, ia hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian setelah itu ia langsung keluar dari ruangan suaminya karena waktu pertemuannya dengan sang editor sebentar lagi.
***
"Hai, Ammara! Long time no see. Nice to meet you," sapa Jeana dengan gaya anggun.
Wanita itu baru saja sampai setelah hampir satu jam Ammara menunggunya.
Tidak biasanya Jeana terlambat seperti ini. Tapi entah mengapa hari ini ada yang berbeda dengan wanita itu.
"Yah, nice to meet you too," sahut Ammara, sebenarnya kesal tapi mencoba untuk menahan dirinya. Mungkin saja Jeana memiliki agenda yang sangat penting dan tidak bisa wanita itu tinggalkan.
"Maafkan aku karena harus terlambat. Kamu sampai menungguku hampir satu jam dari perjanjian awal kita."
"Iya tidak apa-apa. Santai aja. Ngomong-ngomong apa yang membuatmu terlambat?" tanya Ammara, tidak ingin berspekulasi sendiri.
"Daddy ku tiba-tiba datang ke rumah. Dan mengajakku mengobrol dengannya. Sebagai anak aku tidak bisa menolak. Sekali lagi maafkan aku," jelas Jeana dengan ekspresi penuh rasa bersalah.
Mendengar alasan Jeana karena orang tua. Ammara mencoba untuk memaklumi. Ia tidak lagi memiliki orang tua. Ayah dan ibunya meninggal saat kecelakaan yang membawa mereka untuk berliburan ke Indonesia. Dan setiap orang yang menggunakan alasan orang tua karena kecerobohan dan kelalaian mereka. Ammara tidak ingin protes.
"Ah ... Harusnya kamu bisa membatalkan pertemuan kita hari ini, Jeana. Jika Daddy mu datang dan berbicara padamu."
"Tidak masalah. Lagipula bukan hal yang terlalu penting kok."
Ammara tersenyum menanggapi. Sebenarnya menurut Ammara, segala hal yang berkaitan dengan orang tua merupakan hal yang sangat penting. Namun ia tidak bisa menegur Jeana dengan sembarangan. Karena bisa jadi Jeana memiliki alasan yang cukup kuat hingga ia bersikap demikian.
"Baiklah. Kalau begitu kita akan mulai membahas tentang tulisanmu."
"Baik."
Hampir dua jam keduanya membicarakan tentang tulisan Ammara yang memang rencananya akan di cetak dalam waktu dekat ini. Di mulai dari isi ceritanya yang sudah sangat-sangat di tunggu oleh penggemar Ammara sampai pada pembahasan tentang berapa eksemplar buku yang akan mereka cetak.
Di saat seperti itu Jeana benar-benar bertindak sebagai editor. Ia merasa biasa saja menghadapi Ammara seperti hari-hari sebelumnya saat belum bertemu Devan.
Tidak ada permintaan maaf dan rasa canggung karena telah mencuri bagian berharga dalam diri Devan yang merupakan hak milik Ammara yang sah.
"Oke, semuanya sudah siap. Bagaimana pendapatmu, Ammara? Apa kamu merasa masih ada yang kurang? Atau ada yang harus di perbaiki dan di tambah, mungkin?" tanya Jeana setelah menjelaskan semuanya yang memang langsung berdiskusi dengan Ammara.
Amamara menggelengkan kepalanya seraya tersenyum puas. "Tidak ada. Aku benar-benar puas dengan perencanaan kalian yang matang."
"Hahah, tidak seberapa kok. Dibanding kamu yang penulisnya. Aku bangga padamu karena bisa menulis kisah seperti ini. Kisah yang cukup relate dengan kehidupan. Apa kamu menggunakan seseorang yang di jadikan sebagai contoh?" tanya Jeana dengan sengaja.
"Tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak semuanya benar. Aku hanya memperhatikan orang-orang di sekelilingku. Dan memang masalah perselingkuhan menjadi topik yang cukup menarik untuk di kupas," jelas Ammara dengan antusias.
Jeana menyeringai licik tanpa Ammara sadari. 'Sepertinya, kisahmu benar-benar akan menjadi nyata dalam rumah tanggamu sendiri, Ammara. Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu. Tapi aku tidak bisa melepaskan Devan begitu saja.'