"Aku tidak ingin kamu kecewa, Dev."
Devan terdiam seribu bahasa mendengar ucapan yang terdengar tulus itu keluar dari lisan istrinya. Tapi meski tulus, Devan tidak bisa menampik bahwa hal ini justru membuat Devan kecewa hingga akhirnya memilih untuk mengkhianati cintanya pada Ammara.
"Maaf ... Maafkan aku ...," lirih Ammara seraya menahan perih di hatinya.
Sungguh, Ammara tidak bermaksud untuk tidak jujur pada Devan. Walau memang kejujuran itu terkadang menyakitkan. Akan tetapi, seharusnya Ammara sadar jika kejujuran adalah yang akan menyelamatkan.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Devan. Bukan karena terlalu kecewa dan marah pada istrinya. Melainkan ia kecewa dan terlalu marah pada dirinya sendiri. Kenapa ia begitu tega menjalani hubungan gelap dengan Jeana sementara istrinya sedang bersusah payah untuk mempertahankan rumah tangga mereka meski harus menanggung rasa kecewa di hatinya karena tidak pernah mendapat kepuasan?
Mendapati sikap Devan yang seperti itu, Ammara segera menyingkirkan ego dan rasa malunya. Ia mendekat pada Devan dan langsung melayangkan ciuman ganas yang bertubi-tubi. Membuat Devan kesusahan untuk bernapas. Namun pada akhirnya ikut larut dalam lumatan lembut istrinya.
Ammara tersenyum sendu, suaminya sudah mulai bermain aktif. Devan memberikan lumatan pada bibir atas kemudian beralih ke bibir bawah. Serta tangannya tidak ketinggalan memberikan rangsangan pada setiap titik sensitif tubuh istrinya.
Lumatan demi lumatan itu berlanjut hingga keduanya sama-sama polos dan siap untuk meraih surga dunia itu bersama.
***
Lega.
Itulah yang terjadi.
Untuk pertama kalinya setelah dua tahun terakhir ini, Ammara merasakan pelepasan saat bercinta dengan Devan. Pun dengan Devan sendiri. Ia tidak menyangka jika hari ini ia akan kembali merasakan itu dengan istrinya.
Jika demikian kenyataannya. Lalu dimana letak kesalahannya selama ini?
"Sayang ...," panggil Devan, sedikit mengurai pelukannya pada tubuh sang istri yang sedang terbaring lemah di sampingnya karena terlalu kelelahan, demi untuk menatap intens netra Ammara.
"Hm?" Ammara hanya menggumam. Matanya masih setia dalam keadaan tertutup. Meski pikirannya sedang sibuk berkelana kemana-mana. Memikirkan tentang apa yang sebenarnya terjadi barusan.
Ammara masih tidak habis pikir kenapa semua ini bisa terjadi secara tiba-tiba.
"Apa kita pergi konsul aja, ya?" tawar Devan memberi solusi.
Barulah setelah mendengar tawaran dari suaminya itu, Ammara mulai bergerak dan membuka matanya. Ia membalas tatapan teduh suaminya.
"Konsul?" tanya Ammara seraya mengerutkan keningnya, masih belum mencerna situasi dengan baik.
"Iya, Sayang. Sepertinya kita harus mengonsultasikan tentang hubungan kita pada seorang ahli. Bisa jadi mereka tahu apa yang sebenarnya telah terjadi selama ini," jelas Devan. Tanpa mengalihkan sedikitpun netranya dari menatap sang istri.
Ammara terdiam sejenak untuk berpikir. Namun kemudian ia mengangguk setuju. "Baiklah," balasnya. Lalu kembali menenggelamkan kepalanya di dada bidang sang suami.
***
"Sial! Sial! Sial!" Jeana mengumpat berkali-kali. Ia tidak pernah merasa semarah ini karena telah di tolak oleh seorang pria.
Sebelumnya, jangankan di tolak. Bahkan Jeana tidak pernah mendapati raut kesal dan jijik dari tatapan seorang pria padanya. Namun hari ini, Devan melakukannya.
"Berani-beraninya pria itu menolakku!" desis Jeana, geram. Matanya menatap nyalang sudut ruangan kerja di rumahnya yang kini sedikit berantakan.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" titah Ammara, dengan tatapan yang tidak sedikitpun teduh. Bahkan pada seorang pria tua yang sedang membuka pintu untuk masuk dan mengakses Jeana.
"Permisi, Nona. Tuan Josh sedang menunggu anda," beritahu pelayan itu dengan kepala yang senantiasa menunduk.
"Ehm. Katakan padanya untuk menunggu sebentar."
"Baik, Nona." Setelah menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan. Pria itu berjalan keluar dari ruangan kerja Jeana.
"Hah! Kenapa harus sekarang sih!" Jeana menghembuskan napasnya berat. Ia sebenarnya malas bertemu Josh. Karena setiap bertemu pria itu, ia akan selalu mendengarkan banyak omelan. Dan pria bernama Josh itu tidak akan berhenti mendumel sampai ia lelah sendiri.
Tapi Jeana tidak mungkin menolak pria itu. Nyatanya, Josh selalu memberikan yang terbaik untuknya. Bahkan kelewat terbaik. Sampai membuat Jeana selalu lupa diri hingga menjadikannya wanita bebas.
Tentu saja pria itu tidak tahu tentang apa yang Jeana lakukan di belakangnya. Sebab Josh pun terlalu sibuk dengan para wanitanya di luar sana.
Jeana berjalan meninggalkan kamarnya setelah cukup lama ia diam disana.
Dengan langkah gontai, Jeana mendekat pada pria bernama Josh itu. "Dad ...," panggilnya pelan, namun masih terdengar di telinga sensitif Josh.
Mendengar namanya di sebut oleh putri satu-satunya ini. Josh memutar tubuhnya dengan cepat.
"Jeana! Sini kamu!" titah Josh dengan tangan yang bersedekap di dada.
Jeana mendekat kemudian berdiri tepat di hadapan Papanya. "Papa baru pulang?"
"Iya. Duduklah. Ada yang ingin Papa bicarakan dengan kamu."
Tanpa lama, Jeana langsung mengambil duduk di sofa yang bersebrangan dengan Josh.
"Ada apa, Dad?"
"Ada yang Papa inginkan. Dan Papa butuh bantuan kamu," sahut Josh. Tatapannya terlihat serius menghunus Jeana.
"Bantuan apa?"
"Untuk sementara, kamu tepikan dulu pekerjaanmu yang tidak penting itu. Kamu harus membantu Papa untuk mendapatkan tender dan menjalin kerjasama di bawah naungan perusahaan J Group."
"Apa?!" Jeana sedikit tersentak mendengarnya. Bagaimana mungkin ia mau melepaskan atau menepikan pekerjaanya sebagai editor? Meski itu bukan pekerjaan yang terlalu menguntungkan, tapi Jeana sangat senang berada dalam lingkup pekerjaan itu. Karena ia merasa menjadi dirinya sendiri saat disana.
"Jeana enggak mau!" tolak Jeana cepat. Memalingkan wajahnya agar tidak mendapati tatapan tajam dari Josh.
"Kamu harus mau, Jeana. Kalau bisa, kamu juga harus mendapatkan pemimpinnya."
Jeana mendengus tidak suka atas ucapan Josh. Ia mendelik kesal dan hendak memberikan protes lagi. Bagaimana mungkin ia mau mendekati pria lain sementara di otaknya telah di isi sepenuhnya oleh Devan?
Tapi kata-kata Josh selanjutnya membuat mata Jeana berbinar senang dengan bibir yang tersenyum sumringah.
"Kamu akan senang dengan tawaran Daddy ini, Jean. Karena pemimpin J Group, tidak lain dan tidak bukan adalah pria yang sedang kamu incar, Devan Jacob."
***
Tok tok tok!
Tina mengetuk pintu ruangan Devan dengan hati-hati. Sebab ia tidak mungkin masuk begitu saja di dalam ruangan kerja bosnya di saat Ammara sedang ada disana. Terlebih, Devan sempat memberikannya pesan agar tidak menganggunya selama dua atau tiga jam ke depan.
Tentu saja sebagai wanita dewasa, Tina paham dengan perintah tersebut. Itu artinya, akan ada sesuatu yang terjadi di dalam ruangan kerja sang bos.
Tapi yang membuat Tina masih bertanya-tanya ialah terkait kedatangan Jeana di ruangan Devan. Dan sikap Devan yang terlihat menyembunyikan sesuatu sangat mencurigakan bagi Tina.
"Ah! Ya sudahlah. Biarin aja. Bukan urusan aku juga kalau pak Bos selingkuh," gumam Tina, santai.
Namun sikap santai Tina malah menjadi bumerang baginya. Ketika tanpa sengaja Ammara mendengar samar gumaman Tina saat ia berdiri di depan pintu ruangan suaminya hendak membukakan pintu untuk Tina.
Cklek~
"Apa benar yang kamu bilang, Tina? Suamiku selingkuh?"