"Kamu ngapain kesini?" tanya Devan dengan berbisik setelah mendekat ke arah Jeana yang saat ini sedang berdiri dengan tubuh yang menantang.
Jeana tidak menggubris pertanyaan yang keluar dari mulut Devan. Ia malah mendekat dan hendak meraup bibir penuh milik pria itu.
Namun dengan cekatan, Devan menghindar dan menjauhkan tubuhnya dari serangan Jeana.
"Tina, kamu bisa keluar," titah Devan, merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Jeana terlalu terang-Terangkan menggodanya saat ini.
"Baik, Pak," sahut Tina, patuh. Meski pikirannya masih penuh dengan tanda tanya.
'Siapa wanita itu?'
'Apa Pak Devan berselingkuh?'
'Ah! Tapi tidak mungkin. Beliau kan sangat mencintai Ibu Ammara.'
'Bahkan saking cintanya dengan istrinya. Pak Devan bahkan tidak melirik ke arah ku.'
Segala pertanyaan menggerayangi pikiran Tina. Ia benar-benar sangat penasaran dengan kenyataan yang terjadi.
"Kamu ngapain kesini?" sentak Devan, kesal. Menatap tajam kepada Jeana yang masih setia memberikan tatapan menggoda pada Devan.
"Aku merindukanmu untuk memasukiku, Devan," sahut Jeana seraya mengerlingkan matanya. Ia membuka blazer yang menutupi tubuhnya hingga yang tersisa hanyalah pakaian dalam wanita itu.
'Shit! Sial!' Devan mengumpat dalam hati. Berusaha mengendalikan hawa napsunya untuk tidak tergoda lagi dengan Jeana.
"Tolong kamu keluar sekarang! Ada banyak hal yang harus saya urus!" usir Devan agak menyentak. Ia benar-benar tidak tahan berada dalam ruangan yang semakin lama membuatnya semakin panas ini.
Jeana tidak memedulikan Devan yang mengusirnya. Bahkan ia semakin mendekat untuk menyentuhkan tubuhnya pada tubuh Devan.
Di tengah situasi yang mencekam dan horor itu. Hanya satu hal yang bisa Devan lakukan. Ia mengingat kebersamaannya dengan sang istri selama ini.
Kenangan itu pulalah yang mampu membuat Devan mendorong tubuh Jeana untuk menjauh darinya.
"Akhhhh!!" teriak Jeana, kesakitan. Tubuhnya jatuh ke lantai. Tapi tatapannya sangat tajam menghunus Devan.
"Pergi sekarang!" teriak Devan lagi. Ia tidak mampu lagi menahan emosinya yang kini telah bercampur dengan hawa napsunya.
'Huh! Sial!' Jeana bangkit dari lantai dengan menghentakkan kakinya. Ia benar-benar kesal. Kenapa Devan sekarang semakin kuat pertahanannya hingga tidak lagi tergoda padanya? Padahal, hampir sedikit saja lagi Jeana bisa memiliki Devan seutuhnya.
Setelah kepergian Jeana, Devan berusaha menekan gairahnya dengan berolahraga. Ia berlari dan berputar di dalam ruangan kerjanya. Mencoba untuk menepis segala pikiran kotor yang terlanjur bersarang dalam otaknya.
"Maaf ... Maaf ... Maafin aku, Ra ...," gumam Devan dengan perasaan bersalah. Ia masih terus berlari dengan memutari meja kerjanya. Sampai suara ketukan pintu menghentikkan aktifitasnya.
Tok tok tok!
"Masuk!" titah Devan, ia telah kembali duduk dengan rapi di kursi kebesarannya.
Cklek~
"Devan .... Eh!" sapa Ammara, kemudian ia sedikit terkejut dengan penampilan suaminya yang penuh dengan keringat. "Kamu kenapa? Keringatan gini?"
Devan bangkit dari tempat duduknya seraya menarik tangan Ammara untuk ikut duduk dengannya di sofa.
"Aku enggak apa-apa, Sayang. Tadi aku cuma olahraga sedikit," sahut Devan, jujur.
Ammara menyipitkan matanya penuh selidik. Kenapa Devan berolahraga di dalam kantor? Lagipula, bukannya tadi pagi mereka sudah berolahraga, ya?
Ah! Ammara menepis segala pikiran buruk dalam otaknya. Kemudian meletakkan bekal yang ia bawa. Lalu ia duduk di atas pangkuan suaminya.
"Mau aku suapin?" tawar Ammara, lembut. Seraya meraih bekal makanan yang ia bawa dari rumah.
"Iya, Sayang. Boleh."
Detik demi detik berikutnya berjalan dengan sangat damai. Ammara menyuapi Devan dengan penuh perasaan. Mereka seperti pengantin baru yang baru beberapa hari menikah.
Tatapan intens tidak pernah lepas dari netra Devan. Ia begitu menikmati memandangi wajah cantik istrinya.
Tiba-tiba saja ia kembali merasa menyesal karena telah mengkhianati cinta Ammara.
Dulu, Devan sangat berusaha untuk mendapatkan seorang Ammara Stell. Tapi kenapa setelah di dapatkan, ia malah memberikan luka untuk sang istri?
Shit!
Devan mengumpat dalam hati. Andai saja waktu dapat di putar, maka ia tidak akan pernah memilih untuk bertemu dengan Jeana.
Sungguh, Jeana telah berhasil mengobrak-abrik pertahanan Devan selama ini yang memang tidak bisa memiliki pasangan hanya satu.
Dulu, Devan terkenal dengan pria badboy dan playboy. Namun setelah bertemu dengan Ammara, ia berubah begitu banyak.
Akan tetapi, saat takdir mempertemukannya dengan Jeana. Sisi nakal Devan mulai mencuat kembali.
Semua itu membuat Devan cukup takut untuk menjalani hari tanpa Ammara. Devan khawatir jika ia terlalu jauh dari Ammara, maka godaan itu akan kembalu datang dan menyiksa batinnya lagi.
"Dev ... Apa ada yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Ammara, tiba-tiba. Matanya menatap intens netra Devan untuk menemukan kejujuran lewat mata pria itu.
Devan sedikit tersentak dengan pertanyaan yang keluar dari mulut Ammara. Tidak biasanya sang istri bertanya demikian. Kecuali pasti Ammara telah mencurigai sesuatu.
"Ke-kenapa kamu bisa bilang kayak gitu, Sayang?" tanya Devan, gugup.
Tidak ada jawaban dalam beberapa detik kemudian. Tapi tangan Ammara terangkat dan terulur untuk mengusap lembut pipi suaminya.
"Sebenarnya ... Aku merasa aneh dengan kamu yang sekarang, Dev. Belum lagi, saat kamu bertanya tentang hal yang paling sensitif dalam hubungan kita itu pagi ini. Aku~"
"Shttt ... Jangan di teruskan lagi, Ra." Devan menghentikan ucapan istrinya dengan menyimpan jari telunjuknya di bibir sang istri. "Kita lupakan saja itu, ya. Anggap aja aku enggak pernah bertanya tentang hal tersebut. Tadi pagi aku cuma iseng kok."
Ammara menggelengkan kepalanya. Satu tangannya yang masih memegang bekal makan yang masih tersisa sedikit itu, kini ikut meraup wajah suaminya setelah menyimpan bekal tersebut.
Kedua tangan Ammara kini menangkup wajah suaminya. Sementara tubuh Ammara semakin mendekat pada Devan hingga keduanya tidak memiliki jarak sedikitpun.
"Maaf, Dev ... Tapi aku enggak bisa membiarkannya begitu aja. Karena sejujurnya ... Aku ... Aku memang tidak lagi merasakan kenikmatan itu," jelas Ammara. Matanya sudah mulai berkaca-kaca dan bulir bening itu terlihat sesak seakan meminta untuk keluar.
Mendengar kenyataan itu, Devan syok bukan main. Ternyata apa yang Jeana katakan memang benar. Tapi kenapa ... Selama ini Ammara tidak pernah mengatakan apa-apa padanya? Dan hubungan mereka selama ini, terlihat sangat harmonis seakan tidak ada masalah sedikitpun.
"Tapi kenapa kamu tidak pernah mengatakan apapun padaku, Sayang?" tuntut Devan. Kali ini ia melepaskan tangan Ammara yang membelai pipinya. Dan beralih pada ia yang menggenggam kedua tangan istrinya itu.
Ammara menunduk dalam waktu yang lama. Ia tidak sanggup lagi untuk mengatakan kebenarannya. Tapi ia tetap harus melakukan ini jika ia ingin tetap mempertahankan rumah tangganya dengan Devan.
"Aku enggak mau kamu kecewa, Dev."
Jawaban dari Ammara seketika menyadarkan Devan. Bahwa rupanya, ia pun juga memiliki alasan yang sama kenapa dirinya tidak mengatakan apapun selama ini.
Tapi nyatanya, keinginan mereka berdua malah semakin membuat mereka berada dalam posisi saling mengecewakan. Terlebih Devan yang telah terlanjur menjalin hubungan terlarang dengan wanita lain. Hanya karena alasan itu.
'Tidak ingin Ammara kecewa.'