Chereads / The Lord of Warrior / Chapter 32 - Buku Iblis

Chapter 32 - Buku Iblis

Sebuah petir serta kilatan cahaya menyambar beberapa kali. Aarav mengernyitkan kening setiap kali terdengar suara petir, begitu juga dengan Erina yang berada tidak jauh dari sana. Sementara itu, Eiireen justru tersenyum getir menatap Erina dan Aarav secara bergantian.

Setelah menatap wajah Erina beberapa saat, helaan napas terdengar dari Eiireen. Detik berikutnya, kakinya mulai melangkah mendekati Aarav begitu mantap. Senyuman tipis terpampang pada wajah lelah, bola matanya begitu tajam menatap.

Pada saat yang sama pula, Erina menghembuskan napas kesal. Padahal dia dulu yang memberikan pertanyaan kepada Eiireen, tetapi kenapa justru Aarav yang mendapatkan penjelasan terlebih dahulu. Bukankah hal itu membuat Erina semakin kesal.

"Kenapa Ayah melakukan ini," batin Erina mengepalkan tangan tanda kekesalan. Ujung bibirnya digigit hingga mengeluarkan cairan merah segar. "Kenapa dia tidak memikirkan perasaan putrinya sendiri."

Hentakan kaki yang begitu kencang, terdengar samar di dalam ruangan. Suara petir yang lebih keras, membuat hentakan tersebut tidak terdengar. Erina hanya dapat menahan rasa kesal tersebut di dalam dada. Lagi pula, pertanyaan yang diberikan kepada Eiireen akan dijawab juga. Meskipun harus menunggu sedikit lebih lama dari jadwalnya.

Langkah kaki Eiireen berhenti ketika jaraknya dengan Aarav hanya tunggal tiga langkah saja. Ujung bibirnya diangkat, memperlihatkan senyuman penuh makna. Bola matanya bergerak ke ujung mata, berhenti pada sebuah meja kusam dan tua.

"Dunia ini memiliki lima pilar yang menjadi pondasi utama. Phoenix, Arizona, State, Stump, dan Book." Eiireen menjulurkan tangan dan memperlihatkan kelima jarinya. "Salah satu dari kelima unsur tersebut, selalu diwariskan keluarga ini dari generasi ke generasi. Benda tersebut adalah Book, atau biasa disebut dengan buku kuno._"

Kening Erina mengerut tatkala mendengar penjelasan Eiireen. Sementara itu, tubuh Aarav semakin gemetar tak karuan. Kepalan tangannya tiba-tiba saja mengepal dengan bola mata yang bergetar. Bagaimana tidak, salah satu unsur yang disebutkan oleh Eiireen sangat dia ketahui di mana letaknya.

Melihat ekspresi Aarav yang berubah, Eiireen menghela napas panjang. Senyuman tipis diperlihatkan seakan tidak ingin meladeni Aarav yang tengah gemetar. Sudut matanya kembali berkerut, kali ini aura yang lebih kuat dipancarkan dari tubuh Eiireen.

Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Beberapa detik setelah terpaku menatap meja tua, bola mata Eiireen bergerak secara perlahan ke arah Erina. Sebuah senyuman yang entah memiliki maksud apa diperlihatkan, semakin membuat Erina kebingungan dengan tingkah ayahnya.

Tangan kanan Eiireen terjulur ke depan, menunjuk sebuah buku yang ada di samping Erina. Detik berikutnya, sebuah cahaya hijau muncul pada ujung jari telunjuk Eiireen, kemudian mengarah secara tegak lurus pada buku yang dia tunjuk. Cahaya hijau tersebut bergerak begitu cepat di samping kepala Erina.

Tanpa diduga sebelumnya, cahaya yang dikeluarkan Eiireen mengenai buku tua yang ada di samping Erina. Seluruh bagian buku diselimuti cahaya hijau, begitu terang bagaikan zamrud yang bersinar di dalam kegelapan.

"Karena kau sudah mengeluarkan kekuatan itu, sudah pasti kau diam-diam membuka buku itu. Bukankah begitu, Erina?" tanya Eiireen tersenyum simpul ke arah Erina. Tatapan matanya begitu tajam, bersiap menerkam mangsa yang ada di hadapannya.

Melihat hal tersebut, detak jantung Erina semakin kencang. Tanpa perintah, kakinya mundur secara perlahan dengan keadaan bergetar. Keringat dingin muncul dan membasahi tubuhnya, padahal keadaan cuaca yang hujan serta dingin.

"Ti–tidak," jawab Erina sedikit bergetar. Tekanan suara yang dikeluarkan mulutnya, dipenuhi dengan gelombang mencurigakan. Apalagi dengan bola mata yang dipalingkan dari mata Eiireen, semakin membuat raut wajahnya terlihat mencurigakan. "A–aku tidak mungkin melakukan itu."

Beberapa kali kepala Erina digelengkan, menyangkal jika bukan dia yang melakukannya. Akan tetapi, Eiireen seakan tidak percaya dengan semua hal itu. Dia terus saja berjalan mendekati Erina dengan tekanan yang luar biasa, tentu saja dengan pandangan mata mengintimidasi yang cukup mengerikan.

Buku yang melayang sedari tadi, mulai bergerak mendekati Eiireen. Jarak yang dilalui semakin dekat, hingga akhirnya buku tersebut berada dalam genggaman tangannya. Seketika itu pula, cahaya hijau yang sebelumnya melapisi buku tersebut menghilang begitu saja.

Helaan napas keluar dari mulut Eiireen. "Padahal aku sudah bilang padamu, jangan mendekati buku ini. Apalagi sampai membukanya." Bola mata Eiireen menatap buku yang ada dalam genggaman tangannya, kemudian membukanya secara perlahan.

"Bukan hanya melanggar semua itu, kau justru membaca isi bukunya. Bukankah kau sudah keterlaluan dalam mendengarkan peringatan?" Bola mata Eiireen yang sebelumnya menatap buku, berpindah begitu cepat ke arah mata Erina.

Seluruh tubuh Erina bergetar ketakutan ketika melihat wajah Eiireen. Selama ini, baru sekarang dia melihat raut wajah mengerikan yang dikeluarkan ayahnya. Meskipun biasanya dia membuat kesalahan, Eiireen tidak pernah menatapnya dengan tatapan mata seperti itu.

Namun, sekarang justru sebaliknya. Tatapan mata penuh kebencian dan ketidakpercayaan, dikeluarkan Eiireen ketika menatap Erina. Sementara tangannya terus membalik lembar demi lembar buku yang sudah usang, bola matanya terus menatap Erina begitu tajam. Seakan tidak ingin melepaskan pandangannya begitu saja.

"Kenapa kau tidak menjawabnya!" bentak Eiireen begitu kencang, membuat urat yang ada pada lehernya terbentuk. "Aku sedang berbicara denganmu. Seharusnya kau menjawabnya!"

Mendengar bentakan yang dikeluarkan Eiireen, semakin membuat jantung Erina terpacu begitu kencang. Wajahnya semakin ketakutan. Bahkan hanya untuk melirik ke arah Eiireen saja, dia tidak sanggup melakukannya dengan benar. Bagaimana mungkin dia bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan lancar.

"Itu ... sebenarnya ... aku melakukannya dengan tidak sengaja," jawab Erina dipenuhi dengan tekanan batin, matanya tidak sanggup menatap wajah Eiireen. "Sebenarnya aku tidak ingin melakukannya, akan tetapi semua itu terjadi secara tiba-tiba."

Kening Eiireen berkerut, alisnya terlihat menyatu antara satu sama lain. Kepalanya sedikit dimiringkan, menambah kesan kebingungan. Meskipun demikian, kedua tangannya masih saja bergerak membuka lembar buku tanpa hambatan. Seakan otaknya tidak memberikan rangsangan untuk menghentikan gerakan tersebut.

"Apa maksudmu?" tanya Eiireen menghentikan gerakan tangan, seperti sudah menemukan apa yang dia cari sejak tadi.

Tangannya digerakkan secara perlahan, hingga akhirnya berhenti di depan dada. Mulut Eiireen terlihat bergerak untuk mengucapkan beberapa kata dengan pelan. Bahkan suara tersebut tidak terdengar oleh Aarav yang ada tepat di belakangnya. Apalagi dengan keadaan membelakangi, tentu saja membuat Aarav tidak dapat membaca gerakan bibir Eiireen.

Sementara itu, Erina masih belum sanggup menatap wajah Eiireen dengan benar. Oleh sebab itu, dia tidak menyadari apa yang sebenarnya ingin dilakukan ayahnya.

Pada saat mulut Eiireen berhenti bergerak, sebuah cahaya merah berbentuk titik muncul di bagian tengah buku. Cahaya tersebut bergerak begitu cepat ke segala arah, seakan mencari sesuatu di sana. Lima detik kemudian, cahaya merah berhenti pada sudut kanan atas buku.

Namun, keadaan tidak berhenti begitu saja. Titik cahaya merah tersebut semakin membesar seiring bertambahnya waktu, hingga akhirnya menyelimuti seluruh bagian buku dengan cahaya redup. Beberapa saat kemudian, cahaya merah terang menerangi ruangan tanpa sepengetahuan Erina.