Matahari sudah terbenam berjam-jam yang lalu ketika hujan ringan masih mengguyur desa Vitran. Desa bagian utara di negeri Persei itu merupakan desa penghasil kopi terbaik di negeri bekas kekuasaan raja Elf yang indah. Hampir seluruh warganya bermata pencaharian sebagai petani kopi, walau ada juga beberapa yang berternak dan berkebun tanaman lain.
Malam itu, sepasang suami istri yang telah lama menikah dan belum mendapatkan seorang anak tengah berjalan pelan menyisiri tepian sungai Lengh di tepi barat hutan Ales yang sangat lebat. Sangat gelap, awan hitam semakin menjadikan suasana hutan mencekam.
Sepasang suami istri itu adalah Morge Arragegs dan Jonnah Arragegs. Mereka baru saja pulang dari desa Begun untuk menjual hasil panen kopi dari kebun mereka. Desa begun memang salah satu pasar terbaik untuk menjual kopi hasil kebun mereka, karena di desa itu mereka juga dapat menukar barang dagangan mereka dengan berbagai bahan makanan pokok yang berupa sagu ataupun gandum dan juga ikan dari sungai Sopen yang dijual di pasar besar Begun.
Sambil membawa keranjang tempat hasil panen, Morge berjalan di depan membimbing langkah kecil istrinya yang sudah mulai lelah di belakang. Mereka meniti langkah di atas tanah yang becek dan berair karena hujan yang mengguyur negeri Persei mulai dari pagi. Dia menggandeng erat lengan istrinya, tidak ingin terjadi apa-apa kepada orang tercintanya itu.
Samar-samar dari kejauhan Jonnah mendengar sesuatu seperti suara tangisan seorang bayi. Morge menyuruh istrinya untuk tetap fokus ke jalan panjang mereka yang kini sudah semakin gelap karena mendung menutup seluruh permukaan bulan. Tapi Jonnah kembali mendengar suara itu dan dia sangat yakin dengan mendengarannya.
Dia meminta Morge untuk berjalan bergegas menuju ke arah jalan setapak yang berjarak tidak begitu jauh dari tempat mereka berada. Mereka berjalan dengan berhati-hati sambil memekakan indera mereka untuk berjaga-jaga di dalam kegelapan.
Suara bayi itu terdengar semakin nyaring membuat keduanya merinding sekaligus penasaran. Hati Jonnah bergetar, dia benar-benar merasa terpanggil oleh suara bayi itu.
Di sana, tepat di bawah tetesan air hujan, di dalam sebuah keranjang perak yang sangat cantik ada seorang bayi laki-laki yang sangat tampan sedang menangis karena kehausan.
"Aku rasa kita harus merawatnya," ujar sang istri seraya menggendong bayi tampan nan malang itu.
Bayinya tampak pucat dengan bola mata yang juga terlihat pucat dan memiliki telinga yang sedikit meruncing seperti telinga kurcaci, atau lebih tepatnya peri. Bayi itu menatap Jonnah dengan mata mungilnya penuh harap.
Morge mengecek keranjang perak tempat bayi itu, dia ingin memastikan dari mana asalnya dan siapa kiranya orang yang telah tega meninggalkan bayi malang di tengah hutan lebat.
Morge awalnya menolak untuk membawa bayi antah barantah itu pulang, karena dia mengkhawatirkan hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi di masa yang akan datang. Jonnah terus memaksa suaminya, bayi itu pun masih terus menangis membutuhkan kasih sayang sehingga pada akhirnya Morge mengizinkan istrinya untuk membawa bayi itu pulang dan merawatnya.
+++