Bola mata Erina tidak berhenti terbelalak ketika menatap buku yang dilepaskan Eiireen. Padahal tidak ada api yang menyulut, begitu juga dengan udara yang dingin. Bagaimana mungkin buku yang tebal seperti itu dapat berubah menjadi abu tanpa sebab.
Sebelum ujung buku menyentuh tanah kering, semua bagiannya telah menghilang menjadi abu dan bertaburan di udara. Erina yang melihat kejadian tersebut, tidak dapat berkata-kata apapun lagi. Paru-paru dan seluruh organ penting di dalam tubuhnya, seakan berhenti bekerja secara bersamaan.
"Apa yang kau pikirkan." Sebuah tepukan menyadarkan Erina dari lamunan.
Jika saja bukan karena tepukan tersebut, Erina masih melamun tanpa bernapas. "Apa yang terjadi," lanjutnya sembari mengusap wajah yang masih terasa kaku. Detik berikutnya, dia mengusap lehernya dengan perlahan. Perasaan yang mengejutkan tadi, membuat tenggorokannya terasa kering.
Sebuah senyuman terlihat pada wajah Aarav. "Ternyata kau juga bisa merasa seperti itu juga." Tangannya menutup mulut setelah mengatakan hal tersebut, berusaha menahan tawa atas apa yang baru saja dia lihat. "Kukira, kau tidak akan pernah merasakan perasaan seperti itu. Ternyata sama saja seperti yang biasa kulakukan."
Terlalu mengganggu Erina yang ada pada keadaan seperti itu, tentu saja akan sangat beresiko pada keadaan Aarav saat ini. Belum lama Aarav tertawa puas, pukulan kencang langsung mendarat pada wajahnya. Hingga membuat tubuhnya terpelanting beberapa langkah ke belakang.
Darah segar keluar dari ujung mulut Aarav, mengalir hingga tertampung pada ujung dagu. Getaran yang dihasilkan, membuat darah tersebut bergetar dan terjatuh dari tempatnya. Aarav bangkit sembari mengusap darah yang masih tersisa menggunakan jari ibu.
Ujung bibir Aarav sedikit diangkat diikuti suara desisan kesal. "Apa yang kau lakukan sebenarnya? Kenapa kau suka sekali memukulku akhir-akhir ini,_" ucapnya setelah membersihkan darah pada mulut.
Wajah Erina yang sebelumnya menatap tajam, dipalingkan begitu cepat ke arah lain. Tanpa mempedulikan kekesalan yang dialami Aarav saat ini. Otaknya berputar cepat, demi mendapatkan informasi yang simpang siur di dekatnya.
"Kenapa kalian selalu bersikap seperti ini?" tanya Eiireen yang sudah mengambil benda di dalam lubang. Sebuah buku bersampulkan kepala iblis, dikeluarkan secara perlahan dari dalam tanah. "Kalian pasti belum pernah melihat buku yang seperti ini bukan?"
Bola mata hitam Aarav kembali bergetar tatkala menatap buku yang sudah ada di depan mata. Jika sebelumnya buku tersebut dilapisi cahaya yang terang, sekarang cahaya tersebut mulai redup secara perlahan. Hingga akhirnya tidak ada sedikit pun cahaya yang melapisi.
Kening Aarav basah akibat keringat yang keluar tanpa jeda. Beberapa kali menelan ludah dengan tatapan mata tajam pada satu arah. Otak Aarav terus saja menampilkan sebuah kejadian yang belum pernah dia lihat atau rasakan. Di dalam ingatan tersebut, terdapat lima cahaya yang berputar begitu cepat di udara.
Ketika kelima cahaya hampir bertabrakan satu sama lain, semua cahaya tersebut melesat pada lima arah yang berbeda. Dari kelima cahaya tersebut, salah satu benda yang berada di dalamnya sangat dikenal oleh Aarav. Itulah busur Phoenix yang diberikan Near, ayahnya.
Kaki yang digunakan Aarav untuk menopang tubuh, seketika kehilangan kekuatan. Semdi kata lututnya terjatuh, hingga keduanya menempel di atas tanah. Sementara itu, kedua tangan Aarav terus saja menekan kepala yang terasa sangat menyakitkan. Ketika informasi yang tidak seharusnya masuk ke dalam kepala sebatas tiba-tiba, tentu saja orang tersebut akan sangat sulit untuk menerimanya.
"Kenapa ingatan ini muncul di dalam kepalaku?" tanya Aarav pada dirinya sendiri, merasa sangat kesakitan atas apa yang terjadi padanya. "Hentikan semua ini! Aku sudah tidak tahan lagi melihat semuanya! Kepalaku terasa sakit!" teriak Aarav hingga urat pada lehernya terlihat jelas.
Aarav menjatuhkan tubuhnya di atas tanah, kemudian berguling ke kanan dan kiri. Seluruh debu kering yang ada di sana, menempel pada kain yang dikenakan Aarav, begitu juga dengan kulit putihnya. Suara teriakan tidak henti-hentinya keluar dari mulut, berusaha menghilangkan rasa sakit dari apa yang dirasakan.
Melihat Aarav yang seperti tersiksa, membuat Eiireen rasa penasaran pada Eiireen memuncak. Entah apa yang sebenarnya terjadi, semua itu belum pernah dia ketahui sebelumnya.
Tanpa menunggu banyak waktu lagi, Eiireen langsung mendekati tubuh Aarav yang sedang berguling ke sana kemari. Buku yang baru saja dia ambil dari dalam tanah diletakkan di depan, tetapi kembali melayang di depan dada Eiireen. Setelah menaruh buku tersebut, Eiireen menyentuh kepala Aarav secara perlahan.
Mulut Eiireen bergerak untuk mengucapkan mantra. Sedangkan Erina hanya berdiri mematung di belakang Eiireen tanpa bisa berkata-kata. Kedua tangan Erina disatukan di depan dada, berdoa agar tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Aarav.
Pada saat mantra yang diucapkan Eiireen hampir selesai, buku yang melayang di depan dadanya bergetar. Angin bertiup begitu kencang di sekitar tubuhnya, membuat sampul buku tersebut terbuka. Tidak sampai di situ saja, beberapa lembar buku tersebut terbuka akibat terpaan angin yang entah dari mana asalnya.
Debu di sekitar beterbangan dan membuat jarak pandang menyusut. Erina melindungi matanya dengan lengan, agar debu tersebut tidak masuk ke dalam matanya.
Cahaya hijau kembali menyelimuti buku yang melayang di depan dada Eiireen. Lembar demi lembar buku terus saja terbuka dengan cepat. Tekanan udara yang ada di sekitar Eiireen seakan menipis, membuat keadaan semakin menegangkan. Sementara itu, Erina yang berada di belakang tidak dapat melihat apapun.
"Kumohon, semoga tidak terlambat!" teriak Eiireen sembari menghentakkan salah satu tangannya pada pungung Aarav. Bola matanya terlihat sangat murung, ujung bibirnya digigit hingga berdarah. Kenangan masa lalu yang sejak lama dikubur, kembali terngiang kembali di dalam kepalanya.
"Emy, kumohon bantu aku dengan kekuatanmu," batin Eiireen meneteskan air mata dari ujung mata.
Cahaya hijau pada buku semakin terang seiring waktu. Terpaan angin dingin mulai mereda, begitu juga dengan debu yang sebelumnya beterbangan di sekitar. Jarak pandang sudah kembali normal dan membuat Erina menurunkan lengan yang menutupi mata.
Ketika lengan yang menutup mata diturunkan, bola mata Erina terbelalak lebar. "Ibu," katanya pelan dengan mulut bergetar. Dengan keadaan seperti itu, membuat ucapan yang keluar dari mulutnya tidak terdengar dengan jelas. "Bagaimana mungkin ibu ada di sini? Bukankah dia sudah tiada." Erina berjalan mendekat.
Sesosok wanita berambut hitam sepanjang punggung, berdiri dengan tangan terjulur ke arah Aarav. Meskipun cahaya hijau melapisi tubuh wanita tersebut, tidak membuat Erina melupakan siapa sosok yang ada di hadapannya. Karena wanita itulah, Erina bisa berada di dunia ini.
Butiran bening mengalir tanpa disadari oleh Erina. Melihat sosok yang sudah pergi lima belas tahun lalu, tentu saja sangat membuatnya sedih jika mengingatkannya.
Namun pada langkah ketiga, Erina tidak dapat berjalan lebih jauh lagi. Seakan terdapat dinding yang menghalangi jalan, agar dia tidak bisa mendekati sosok wanita tersebut.