Pagi-pagi sekali Fadil sudah datang ke rumah Nindia. Nindia pun jadi terburu-buru mengurus keperluan sekolah Cinta. Hanya sepuluh menit,dia dan putrinya pun sudah siap.
"Nek, kita berangkat dulu ya!" pamit Nindia ke nek Wati seraya mencium tangannya, begitu pun Cinta.
"Saya ijin antar mereka ya, nek," ucap Fadil.
"Iya, kalian hati-hati di jalan, ya," sahut nek Wati.
Mereka bertiga pun berangkat bersama menuju sekolah Cinta terlebih dahulu.
"Om, nanti mau ikut antar ke sekolah Cinta, ya?" tanya Cinta di tengah perjalanan. Seperti kemarin malam, Cinta duduk di samping Fadil sementara Nindia duduk di kursi belakang.
"Iya, nanti om ikut antar Cinta," Fadil mengusap lembut rambut Cinta. Cinta pun terlihat bahagia di perlakukan seperti itu oleh Fadil.
"Om, terima kasih ya semalam sudah beliin Cinta banyak sekali alat tulis sama tas baru. Cinta suka tasnya, bagus!"
"Iya sama-sama. Om seneng kalau Cinta suka tasnya."
"Om kok baik banget sama Cinta? Pasti senang ya yang jadi anak om nanti "
"Cinta mau jadi anak om, hhmm?" Fadil melirik ke arah Cinta.
"Memangnya boleh om? Bunda, boleh ya Cinta jadi anak om?" Cinta menoleh ke Fadil dan bundanya secara bergantian.
"Tentu saja boleh!" jawab Fadil. Sementara Nindia hanya menatap Cinta sendu.
"Beneran, om?" Cinta tersenyum sumringah menatap Fadil.
"Benar donk sayang! Cinta boleh panggil om, ayah!" Ucap Fadil sambil mencubit hidung Cinta.
"Horee!" Cinta bersorak kegirangan.
Hanya butuh waktu 10 menit, mereka pun sampai di sekolah cinta. Fadil ikut turun mengantarkan Cinta sampai masuk ke sekolahnya. Banyak teman-teman dan gurunya yang memperhatikan mereka.
"Cinta baik-baik ya di sekolah. Kalau ada yang nakal bilang sama ayah. Ok?!" ucap Fadil seraya menyejajarkan badannya di depan Cinta.
"Iya, ayah!"
"Ya sudah ayah tinggal dulu. Nanti siang tunggu ayah jemput, ok!" Fadil mengulurkan tangannya dan Cinta pun mencium punggung tangan Fadil.
Fadil lalu meninggalkan Cinta dengan banyak mata yang menatapnya.
Di dalam kelas anak-anak banyak yang mengerubungi Cinta. Mereka penasaran sosok laki-laki yang Cinta panggil ayah.
"Cinta, itu benar ayah kamu?" tanya Dera teman sebangku Cinta.
"Iya, itu ayah Cinta!" jawab Cinta dengan bangga.
"Aahh masa sih kok baru lihat sekarang?" tanya Lilis sinis.
"Ayah Cinta memang baru bisa antar Cinta hari ini. Memangnya kamu mesti di antar setiap hari, manja!" Cinta balas berkata sinis.
"Eehh biarin saja!" sahut Lilis.
"Sudah Cin, biarin saja jangan di ladeni!" Dera ikut menimpali. Cinta hanya mengangguk.
Sementara di mobil tinggal Nindia dan Fadil.
"Ayo duduk di depan, memangnya saya ini sopir kamu!" perintah Fadil. Nindia hanya menurut saja. Dia turun dari mobil dan pindah duduk di depan. Fadil kembali menjalankan mobilnya.
"Kamu tadi belum sarapan, kan? Nanti temani saya seperti biasa," ucap Fadil saat mereka sudah sampai di restoran.
"Tapi saya harus bersih-bersih dulu, tuan."
"Ok,saya tunggu sampai jam delapan, kamu sudah harus temani saya!" perintah Fadil.
Nindia mengangguk lalu meninggalkan Fadil.
"Kamu di antar pak Fadil, ya?" tanya Doni teman kerja Nindia.
"Iya, Don."
"Enak, ya?"
"Hmm. . . biasa saja, tuh!" Nindia pun berlalu meninggalkan Doni yang masih menatapnya. Nindia bergegas bersih-bersih karena sudah di tunggu Fadil.
"Nan, biasa pesanan tuan Fadil," ucap Nindia pada Nani di kitchen.
"Ok, di tunggu."
"Eh Nan, tuan Fadil tuh siapa sih kok kalian pada hormat padanya?" tanya Nindia.
"Hmm, dia itu keponakan yang punya restoran ini. Pak Hanif. Pak Hanif itu tidak punya anak jadi pak Fadil itu sudah seperti anaknya sendiri," jelas Nani.
"Ohh begitu. Pantas dikit-dikit ngancam mau memberhentikan aku kerja di sini. Huuhh. . .!"
"Aslinya dia itu baik kok, mungkin dia suka sama kamu, Diah."
"Apaa?! Tidak mungkin lah Nan, kamu ada-ada saja."
"Pak Fadil itu dingin sama perempuan, dia susah di dekati. Dan kamu semudah ini bisa dekat dengannya. Apa lagi namanya kalau bukan dia suka sama kamu?"
"Aahh sudah lah Nan, aku tidak mau berpikir sampai ke situ. Kamu tahu aku pernah terluka kan. Aku tidak mau terulang lagi. Ya sudah aku tunggu pesanannya," Nindia pun berlalu meninggalkan Nani yang masih sibuk memasak pesanan Fadil.
"Loohh tuan Fadil kemana?" Nindia melihat di meja tempat biasa Fadil makan kosong.
"Cari siapa kamu?" Kety tiba-tiba ada di belakang Nindia.
"Bukan urusan mu!" jawab Nindia ketus.
"Hhh. . . Cari pangeran mu, ya? Mimpi tuh jangan ketinggian nanti jatuhnya sakit banget!"
"Yang jatuh aku kenapa kamu yang urusin?"
Hampir saja mereka ribut, kalau tidak ada pak Hanif yang baru saja masuk ke restauran.
"Ada apa ini?" tanya pak Hanif.
"Diah ini pak cari gara-gara. Karyawan baru banyak tingkahnya," Keti mengadu pada pak Hanif.
"Sudah-sudah jangan ribut di sini. Sana kembali kerja!" perintah pak Hanif. Nindia pun segera kembali ke kitchen.
"Tuan Fadil sudah tidak ada di restauran Nan . Tadi ada pak Hanif pas aku sama Kety bertengkar. Huuhh malu-maluin saja," keluh Nindia saat bertemu Nani di kitchen.
"Looh ada pak Hanif?" Nani kaget.
"Iya Nan. Terus bagaimana ini? Pesanan tuan Fadil?"
"Tunggu saja sebentar. . Kalau satu jam masih belum datang lagi aku makan saja ini."
"Iya deh. Aku ke depan dulu ya Nan," Nindia kembali ke area restauran melihat mungkin Fadil sudah kembali namun Fadil masih tidak terlihat. Pelanggan pun mulai berdatangan dan Nindia melayani mereka satu persatu sampai tiba waktu istirahat siang.
"Diah . . .! Panggil seseorang yang ternyata Fadil.
"Tuan? Tadi pagi kok menghilang?" Nindia segera menghampiri Fadil.
"Iya,saya tiba-tiba harus ke kantor. Kamu tidak punya handphone ya?"
"Ti-dak tuan. .."
"Ok. Nanti saya kasih kamu handphone!"
"Tidak perlu tuan!" Nindia menolak. Handphonenya yang lama sudah rusak.
"Jaman sekarang tidak punya handphone susah. Saya juga susah hubungi kamu!" Fadil menatap lekat ke arah Nindia.
"Terserah tuan saja!" Nindia hendak meninggalkan Fadil tapi di tahannya.
"Siapkan makan siang saya. Dua porsi!" perintah Fadil. Fadil pun duduk ke mejanya seperti biasa.
"Baik tuan! Tapi saya sudah makan! Tuan makan sendiri saja!" jawab Nindia.
"Hmm? Baiklah tapi kamu harus tetap temani saya makan!" Nindia menatap kesal Fadil lalu segera pergi ke kitchen.
"Kamu benar-benar pake pelet ya, Nindia!" Kety tiba-tiba menghadang nya.
"Terserah kamu mau bilang apa!" Nindia cepat-cepat meninggalkan Kety yang masih berkacak pinggang.
"Tuan Fadil datang, Nan. Minta makan siang!" ucap Nindia pada Nani di kitchen.
"Oh ya?"
"Iya. Biasanya dia pesan apaan aku tidak tahu.!"
"Biasanya dia suka steak daging!"
"Hmm . . . Ya sudah aku tinggal dulu."
Saat sedang berjalan ke depan,Nindia bertemu dengan pak Andi.
"Pak, maaf bisa saya bicara sebentar?" tanya Nindia ke pak Andi.
"Iya ada apa, Diah?"
"Saya boleh tukar shift dua pak?" tanya Nindia.
"Looh kenapa? Shift dua pulangnya malam nanti kamu susah mau pulang!"
"Tidak apa-apa pak kan masih jam 10 juga masih ada kendaraan. Boleh ya, pak?" pinta Nindia dengan wajah memohon sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"Baiklah. Besok coba sehari dulu kalau kamu bisa baru seterusnya," jawab pak Andi.
"Terimakasih, pak!" Nindia tersenyum sumringah. Huuhh aman deh ketemu si Kety hanya beberapa jam saja. Batin Nindia. Nindia pun kembali lagi ke kitchen mengambil pesanan Fadil.
"Ini tuan makan siangnya!" Nindia meletakkan seporsi steak ke meja Fadil.
"Terimakasih. Ayo duduk!" perintah Fadil. Nindia mau tidak mau duduk di depan Fadil. Fadil pun menyantap makannya dengan lahap.
"Jangan lihatin saya terus! Nanti kamu bisa jatuh cinta!" goda Fadil.
"Hiiihh kepedean!" Nindia memalingkan wajahnya.
"Hahahhaa . . .! Lihat saja nanti, saya tidak tanggung jawab, ya!" goda Fadil lagi. Nindia hanya dia saja. Cinta ku masih milik Ricki. Batin Nindia.
"Ooh ya nanti saya tidak bisa antar kamu pulang. Kamu naik taksi saja. Ini buat ongkos taksinya," Fadil mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan memberikan pada Nindia.
"Tidak perlu tuan, saya masih punya uang!" Nindia menolak.
"Jangan sombong. Tidak baik menolak rezeki. Ayo ambil!" Fadil memaksa.
"Siapa juga yang sombong!" sahut Nindia.
"Ayo ambil. Saya mau pergi lagi. Kamu hati-hati ya!" Fadil mengusap kasar rambut Nindia sampai berantakan lalu berdiri dan meninggalkan Nindia yang masih kesal sambil merapikan rambutnya.