Nindia sudah siap berangkat kerja. Di lihatnya Cinta masih tertidur pulas. Nek Wati sedang santai di ruang tamu.
"Nek, aku kerja dulu ya tolong pamitkan ke Cinta. Mau di banguni kok kasihan nyenyak sekali tidurnya."
"Iya nanti nenek bilang sama Cinta. Kamu katanya di antar Fadil kok dia belum datang?"
"Tidak masalah aku berangkat sendiri, nek. Doain aku, ya!"
"Iya sudah kamu hati-hati"
"Iya, nek. Aku jalan dulu, ya," Nindia lalu mencium punggung tangan nek Wati. Baru saja dia buka pintu, di lihatnya Fadil sedang berjalan menuju ke rumahnya.
"Itu tuan Fadil datang, nek!"
"Ooh iya, syukurlah."
"Maaf telat. Nek, saya antar Diah dulu, ya. Oh ya mana Cinta?" tanya Fadil.
"Cinta sedang tidur," jawab Nindia.
"Ohh tidur. Ya sudah kita berangkat sekarang saja. Mari, nek!" pamit Fadil yang di beri anggukan oleh nek Wati.
"Kamu sudah lama menunggu, Diah?" tanya Fadil saat mereka sudah di dalam mobil.
"Belum lama kok, tuan. Kalau tuan sibuk tidak masalah saya berangkat kerja sendiri."
"Saya tidak sibuk kok, santai saja!" Fadil lalu mulai menjalankan mobilnya, "Oh ya nanti malam pukul tujuh saya dinnernya di restoran. Menunya tanya sama orang kitchen. Minta dua porsi!" ucap Fadil lagi.
"Dua porsi, tuan?" tanya Nindia heran.
"Iya dua porsi. Kamu temani saya makan!"
"Hmm . . . baiklah."
Mereka pun kembali diam. Sesekali Nindia melirik ke arah Fadil. Ingin rasanya dia bertanya, mengapa Fadil bisa sebaik ini dengannya dan juga putrinya. Tapi suaranya hanya sampai tenggorokan saja.
"Kenapa lirik-lirik? Saya kelihatan lebih tampan hari ini, ya?" goda Fadil saat tidak sengaja menoleh ke arah Nindia yang sedang meliriknya.
"Hmm mulai deh! Kenapa sih tuan begitu baik sama saya dan putri saya? Tuan tidak merencanakan sesuatu kan?" tanya Nindia dengan nada mengintimidasi.
"Menurut mu?"
"Yah saya kan tidak tahu,makanya saya tanya tuan!" Nindia ketus.
"Sudah tidak usah mikir macam-macam! "
Nindia pun kembali diam sampai mereka tiba di restoran.
"Heeyy Diah,kamu sift malam ya kirain tidak kerja?" sapa Dimas teman kerja Nindia yang biasa shift malam.
"Iya,pengen coba hari ini dulu shift malam, " jawab Nindia.
"Ya sudah sana layani tamu meja 5,baru datang tadi belum sempat aku layani!" pinta Dimas.
"Oke !" jawab Nindia. Nindia pun segera ke meja 5.
Beberapa jam kemudian Fadil datang dan duduk di meja biasanya. Nindia sudah melihat dari jauh segera menghampirinya.
"Makannya sekarang tuan? Belum pukul tujuh." tanya Nindia saat tiba di meja Fadil.
"Iya, sekarang saja. Saya sebentar lagi ada kerjaan!" jawab Fadil yang di berikan anggukan Nindia.
"Mas, tuan Fadil pesan makan malamnya dua porsi! " pinta Nindia saat tiba di kitchen. Ada Didi dan Ari di kitchen.
"Pak Fadil, ya? Sudah lama tidak makan malam di sini!" sahut Didi.
"Iya yah, tidak biasanya. Oke lah kamu tunggu, Diah!" jawab Ari.
Nindia akan kembali ke restoran tapi ketika lewat office bertemu pak Andi.
"Diah, kamu hari ini saja ya shift malamnya soalnya sekarang pelanggan lebih ramai dan restauran tutup jam 11," ucap pak Andi
"Baiklah, pak! " jawab Nindia
Nindia kembali ke restoran, benar saja restauran sampai penuh tidak ada lagi meja yang kosong. Ada satu meja di tempati beberapa gadis sedang menatap ke arah Fadil. Nindia pun menuju meja pelanggan yang belum di layani. Kemudian kembali ke kitchen memberikan nota pesanan pelanggan pada Didi sekaligus mengambil pesanan Fadil.
"Kok dua porsi Diah, pak Fadil tidak sendirian, ya?" tnya Didi heran.
"Hmm, tuan Fadil minta saya temani makan, Di."
"Oohh, jadi karyawan yang suka temani pak Fadil makan itu kamu ya, Diah?" Tanya Didi lagi.
"I . . .iya !" jawab Nindia gugup. Ternyata dia sudah jadi bahan gosip. Nindia membatin.
"Hmm . . .Ya sudah ini kamu bawa ke meja pak Fadil."
Nindia pun membawakan pesanan makan Fadil.
"Ini tuan makan malamnya," Nindia meletakkan pesanan Fadil ke mejanya.
"Ok. terimakasih. Ayo duduk temani saya makan!" perintah Fadil.
"Tapi tuan, lihat lah sekarang sedang ramai kalau saya temani tuan makan kasihan Dimas dan Robi, mereka pasti repot hanya berdua," Nindia berusaha menolak. Dia juga tidak enak sama temannya.
"Hmm . . . Sebentar saja!" ucap Fadil.
"Hmm, baiklah!" Nindia pun dengan cepat melahap makanannya tanpa bicara lagi dengan Fadil. Fadil yang melihat hanya geleng-geleng kepala, " Uhuukk uhuukkk," Nindia pun tersedak karena makan terburu-buru.
"Niih cepat minum, makanya makan tuh pelan-pelan dan doa dulu!" Fadil menyerahkan segelas air mineral pada Nindia. Nindia pun dengan cepat menenggak minumannya.
"Sudah tuan, saya mau kerja lagi!" Nindia langsung berdiri dan meninggalkan Fadil yang menatapnya jengah.
"Heeyy, sini kamu!" teriak seorang gadis. Nindia pun mencari sumber suara dan ternyata yang memanggil adalah salah satu dari beberapa gadis yang memang sedari tadi memperhatikan Fadil. Nindia lalu berjalan ke arah mereka.
"Iya mbak ada yang bisa saya bantu?" tanya Nindia ramah.
"Kamu siapa kok berani makan bersama pria itu?" tanya gadis itu sinis.
"Saya karyawan sini, mbak," jawab Nindia.
"Kamu tahu, dia itu incaran saya sejak lama. Kamu jangan coba mendekatinya. Kamu hanya seorang pelayan saja tidak pantas duduk satu meja dengannya!" ucap gadis itu dengan marah yang di tahan karena tidak mau ada yang mendengar.
"Saya hanya di minta menemani saja makan saja, mbak," jawab Nindia.
"Ya sudah sana!" usir gadis itu. Nindia pun berlalu menuju meja lain. Huuhh ada saja tingkah fansnya tuan Fadil. Batin Nindia.
Tak terasa restauran sudah tutup. Para karyawan satu persatu pulang. Akhirnya tinggal Nindia saja di depan pintu restoran karena Fadil belum datang menjemput. Untung saja ada sofa panjang, jadi Nindia bisa duduk sambil menunggu Fadil datang menjemputnya.
Sudah hampir satu jam menunggu,Fadil belum datang juga. Gerimis mulai turun. Kendaraan terakhir pun sudah lewat beberapa menit yang lalu. Nindia mulai khawatir melihat sekelilingnya. Andai dia tidak menunggu Fadil,mungkin sekarang dia sudah sampai di rumah,tidur dengan nyaman.
Gerimis pun sudah berubah jadi hujan yang lumayan deras. Sendirian di luar tengah malam di temani hujan deras membuat Nindia ingin menangis," Tuan Fadil kamu di manaaa!" teriak Nindia. Dia pikir tidak akan ada yang mendengar teriakannya. Namun tiba-tiba. . .
"Heeyy, lihat ada gadis cantik sendirian di sini!" teriak satu orang laki-laki berjalan ke arah Nindia dan tak lama datang lagi satu orang laki-laki lain.
Nindia mulai ketakutan. Dia pun beringsut duduk di pojok sofa. Kedua laki-laki itu tersenyum menyeringai membuat Nindia gemetar dan ketakutan.
"Hay cantik, sendirian saja?" ucap laki-laki yang baru datang.
"Pergi!" teriak Nindia yang mulai menangis. Kedua laki-laki itu malah tertawa mengejek.
"Daripada sendirian enak di temani abang berdua hujan-hujan begini," ucap laki-laki yang pertama datang. Pelan-pelan mereka berjalan mendekati Nindia.
"Tuan Fadil. . . !" Nindia teriak histeris.
Ketika satu laki-laki berusaha memegang tangan Nindia, tiba-tiba ada sorot lampu yang datang dari kejauhan. Ternyata ada sebuah mobil yang datang.
"Tolooongg!" teriak Nindia berusaha melepas pegangan tangan laki-laki itu.
Seseorang turun dari mobil dan menghajar satu laki-laki sementara satu laki-laki lain masih memegang tangan Nindia. Setelah laki-laki yang satu bisa di kalahkan dan lari dari sana,laki-laki yang memegang tangan Nindia pun ikutan lari sebelum di hajar. Nindia menoleh ke arah seseorang yang baru saja datang menolongnya. Dan ternyata seseorang itu adalah Fadil.
"Tuan!" teriak Nindia sambil menangis histeris. Fadil pun segera mendekati Nindia dan memeluknya.
"Sudah-sudah, kamu jangan menangis lagi," bujuk Fadil sambil mengelus lembut rambut Nindia. Nindia balas memukul-mukul Fadil.
"Tuan kemana saja, kenapa baru datang?" tanya Nindia lirih di tengah tangisnya.
"Maafkan saya, maafkan saya!" Fadil mengecup kening Nindia yang masih dalam pelukannya.
Nindia pun reflek mengangkat wajahnya menatap ke arah Fadil. Beberapa saat mereka saling menatap. Fadil hapus air mata Nindia yang masih terus mengalir di pipinya. Wajahnya pun perlahan mendekat ke wajah Nindia hingga hanya tinggal beberapa senti. Cup . . . Fadil mengecup lembut dahi Nindia. Nindia melongo lalu menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Fadil. Fadil pun makin mempererat pelukannya.
"Aku mau pulang!" pinta Nindia lirih. Tangisnya mulai berkurang.
"Ayo kita pulang!" Fadil menuntun Nindia menuju mobil dan membukakan pintu mobil untuk Nindia.
Fadil pun segera meninggalkan tempat itu. Di dalam mobil Nindia duduk sambil bersedekap, dia merasa kedinginan.
"Kamu kedinginan, hhmm?" tanya Fadil sambil memegang tangan Nindia yang terasa sangat dingin. Nindia hanya mengangguk.
Hujan masih deras. Ada beberapa titik jalan yang tergenang air. Ketika sampai di simpang jalan menuju rumah Nindia, genangan air cukup tinggi. Fadil pun menepikan mobilnya di tempat yang tidak ada genangan airnya.
Di lihatnya Nindia murung sambil menatap jalan. Tubuhnya masih terlihat sedikit gemetar. Entah karena kedinginan atau karena masih trauma kejadian di depan restoran tadi.
"Maafkan saya, tolong maafkan saya," ucap Fadil penuh penyesalan sambil menggenggam erat tangan Nindia yang masih terasa dingin
Fadil lalu menggeser duduknya mendekati Nindia. Di raihnya tubuh Nindia dalam pelukannya. Tubuh Nindia makin bergetar, dia berusaha menahan tangisnya. Membayangkan kembali kejadian tadi membuatnya sungguh ketakutan.
"Kamu masih takut, hmm?" tanya Fadil. Nindia hanya mengangguk.
"Tolong maafkan saya! Kamu tidak usah kerja malam lagi, ya!" Fadil mengusap lembut rambut Nindia dan menciumnya.
Nindia pun menoleh ke arah Fadil. Dengan jarak hanya dua tiga senti saja membuat nafas mereka beradu. Fadil pun kembali mengecup lembut dahi Nindia agak lama. Karena kaget dan malu, Nindia langsung sedikti menjauh.
"Aku mau pulang," ucap Nindia lirih.