Fadil duduk di ruang tamu di rumah Nindia. Selama kenal baru kali ini Fadil masuk ke rumah wanita itu. Rumah ini sangat kecil. Bagaimana mereka bisa tinggal di sini selama bertahun-tahun. Batin Fadil.
"Mas, kok melamun? Ini nenek sudah dari tadi datang."
"Eehh iya, maaf. Nenek tidak sibuk?" tanya Fadil.
"Nenek sudah tidak sibuk lagi. Diah bilang nak Fadil mau bicara sama saya."
"Iya, nek!"
Fadil lalu mengutarakan maksudnya. Nek Wati mendengarkan sampai selesai sambil mengangguk.
"Kalau nenek, semua terserah Diah saja. Kalau memang yang terbaik, nenek akan dukung. Yang penting nak Fadil dan keluarga nak Fadil menerima Diah dengan baik. Mengingat masa lalunya yang buruk, nenek tidak ingin terulang lagi. Dan ada Cinta juga yang harus di pikirkan!" jelas nek Wati.
"Iya, nek saya mengerti. Diah juga sudah saya kenalkan dengan orang tua saya."
"Ya sudah kalau begitu. Semua nenek serahkan sama nak Fadil saja bagaimana selanjutnya. Nenek tinggal dulu, ya!" nek Wati pun meninggalkan Nindia berdua saja dengan Fadil .
"Cinta mana sayang dari tadi tidak kelihatan?" Mata Fadil melihat sekeliling mencari keberadaan Cinta.
"Cinta sedang di rumah bu Ratna, mas. Mas mau ketemu Cinta?" tanya Nindia.
"Ada apa di sana? Yah nanti saja tidak apa-apa."
"Bu Ratna baru saja punya cucu. Cinta senang main sama cucunya. Lucu adik bayinya, kata Cinta."
"Nanti kita kasih Cinta adik bayi, ya. Pasti lebih lucu, mamanya saja lucu kok," goda Fadil.
Nindia hanya tersenyum malu.
"Kamu mau kan kasih Cinta adik bayi, hmm?" tanya Fadil sambil menatap Nindia.
"Iya, mas!" jawab Nindia. Nindia tidak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahnya.
"Oh ya, mas pulang dulu, ya. Titip salam saja sama Cinta dan nenek," pamit Fadil.
"Iya, mas. Mas hati-hati di jalan, ya!" Nindia lalu mengantar Fadil sampai depan pintu.
***
Kediaman Fadil
"Fadil dari mana kamu?" Mami Fadil sudah berdiri di depan pintu kamar Fadil saat Fadil baru saja pulang.
"Dari kantor,mi."
"Hmm. Kamu biasanya jam empat tuh sudah ada di rumah. Akhir-akhir ini hampir malam baru tiba. Kamu tidak bohongi mami, kan?" mami Fadil menatap dengan penuh selidik.
"Fadil habis ketemu Diah, mi. Oh ya, nanti habis makan malam Fadil mau bicara sama mami sama papi. Bisa, kan?"
"Tiap hari kamu ketemu dia?" tanya mami Fadil heran.
"Iya mi. Fadil mau mandi dulu, gerah!" Fadil masuk ke kamarnya meninggalkan maminya yang belum selesai bicara.
Fadil keluar dari kamarnya saat jam makan malam tiba. Di lihatnya kedua orang tuanya masih menunggunya untuk makan malam bersama seperti biasa. Dalam keluarga Fadil,makan malam bersama merupakan suatu kebiasaan.
Fadil pun duduk di kursinya seperti biasa.
"Ayo, mi, pi, kita makan. Fadil sudah laper!" ajak Fadil. Setelah berdoa mereka pun makan tanpa suara,hanya denting sendok dan piring saling beradu yang terdengar.
"Papi duluan."
Setelah menaruh sendok di piring, papi Fadil langsung meninggalkan meja makan.
"Mami juga sudah selesai. Mami tunggu di ruang keluarga." mami Fadil menepuk bahu Fadil lalu meninggalkan Fadil sendirian di meja makan.
"Hmmff. . . " Fadil menarik nafas dalam. Tak lama dia pun meninggalkan meja makan, menyusul kedua orang tuanya di ruang keluarga.
Di lihatnya papi dan maminya sedang menonton televisi tanpa bicara. Fadil pun duduk di hadapan mereka.
"Pi, mi, ada yang ingin Fadil bicarakan." Fadil memulai bicara.
"Silahkan!" sahut papinya.
"Papi sama mami sudah tahu kan kalau Fadil mau menikahi Diah? Fadil mau secepatnya!" jelas Fadil tanpa basa basi lagi.
"Secepatnya, maksud kamu?" tanya mami Fadil kaget.
"Iya secepatnya, mi. Satu bulan lagi atau kalau bisa ya bulan ini."
"Hmm, kamu tidak pikir-pikir lagi, Fadil? Dia kan punya anak satu tanpa suami. Apa kata orang-orang terhadap keluarga kita?"
"Orang-orang tidak bisa buat Fadil bahagia, mi! Mami mau kalau Fadil tidak menikah? Kan mami sama papi yang sering mendesak Fadil untuk cepat menikah?" Fadil tetap ngotot.
"Iya, mami mau kamu cepat menikah tapi sama anak pak Bram, si Lysa. Dia kurang cantik apa dari si Diah? Pendidikannya juga tak kalah tinggi dari kamu. Dan yang pasti dia masih gadis, Fadil !" jelas mami Fadil lagi.
"Fadil kan nyari istri bukan nyari sekretaris yang harus berpendidikan tinggi, mi! Fadil nyari wanita yang Fadil cinta, nyari kebahagiaan, mi!" Fadil pun tak mau kalah berdebat dengan maminya.
"Kamu itu susah sekali di bilangin orang tua!" mami Fadil mulai emosi.
"Selama ini belum ada yang bisa mengisi hati Fadil. Fadil mau menikah hanya dengan Diah, mi. Kalau tidak yah Fadil tidak akan mau menikah!"
"Ya sudah pusing papi dengar kalian berdebat. Sudah mi, turutin saja mau anakmu ini. Ingat usianya hampir kepala tiga!" papi Fadil coba menengahi.
"Huuhhh, papi ini malah dukung anaknya. Nanti kalau menyesal jangan salahkan mami, ya!" mami Fadil memberengut.
"Yang jalanin kan Fadil bukan papi, mi. Jadi kalau menyesal ya Fadil bukan papi," ucap papi Fadil sambil melirik ke Fadil.
"Iya papi benar mi. Kan yang jalani Fadil. Bagai mana, kapan Fadil boleh nikahin Diah?".
"Terserah kamu, deh. Mau besok juga terserah. Kamu urus sendiri!" mami Fadil lalu meninggalkan Fadil dan papinya kembali ke kamar.
"Sudah, kalau kamu benar-benar yakin dengan wanita itu nanti papi yang akan bicara sama mami kamu. Kamu persiapkan saja acaranya. Minta tolong sama tante Sarah dan om Hanif. Mereka lebih mengerti. Papi ke kamar dulu. " ucap Papi Fadil sambil menepuk pundak anaknya dan menyusul istrinya ke kamar.
"Terimakasih, pi," Fadil pun kembali kekamarnya, ingin videocall dengan Nindia.
Di dalam kamar, Fadil segera mengambil handphonenya. Memandang sekilas foto Nindia sambil tersenyum. Kamu membuat dunia seorang Fadil berubah, Diah. Fadil membatin. Di tekannya nomor kontak Nindia. Tak lama muncullah wajah wanita yang di cintainya.
"Sayang, kamu sedang apa?" tanya Fadil melihat Nindia muter-muter di kamar.
"Aku sedang beresin lemari pakaian, mas. Ini habis lipetin baju," jawab Nindia yang hanya sesekali menoleh ke arah Fadil.
"Ya sudah sayang kalau kamu sibuk,nanti saja mas telephon lagi."
"Tidak apa-apa mas. Sudah hampir selesai kok."
"Hmm. Kamu sudah makan belum?"
"Sudah, mas. Mas sudah makan?"
"Mas juga sudah makan. Tadi mas sudah bicara tentang rencana mas ingin secepatnya nikahi kamu sama orang tua mas."
"Hmm, apa?" Nindia kaget.
"Kenapa kaget? Kamu tidak suka, hhmm?"
'Bukan tidak suka mas. Hanya aku pikir mas belum siap bicara sama orang tua mas."
"Kapan pun mas siap. Kalau mau di tunda-tunda lalu kapan kita bisa nikah?"
"Terima kasih ya, mas." Nindia jadi terharu dengan kesungguhan Fadil.
"Terimakasih untuk apa, hmm?"
"Ya untuk kesungguhan mas padaku dan juga putriku!"
"Mas yang harusnya berterimakasih sama kamu! Kamu bisa membuat hidup mas berubah. Mas merasa sangat bahagia sejak mengenal mu,sayang!"
"Mas bisa saja!" Nindia tersenyum malu.
"Kamu tidak percaya sama mas, hmm?"
"Percaya kok, mas. Nani sudah cerita sedikit tentang mas. Makanya aku yakin sama mas!"
"Hmm. . . Nani cerita apa?" dahi Fadil berkerut.
"Cerita yang baik-baiklah tentang mas. Nani bilang tidak pernah melihat mas dekat dengan wanita. Hanya dengan aku mas dekatnya. Jadi dia juga yakin kalau mas sungguh-sungguh denganku!" jelas Nindia takut Fadil salah paham terhadap Nani.
"Ooh begitu, yaa" Fadil manggut-manggut.
"Iya, mas."
"Oh iya sayang, besok pulang kerja ikut mas sebentar, ya. Mas mau ajak kamu ke suatu tempat"
"Kemana, mas?" tanya Nindia penasaran.
"Pokoknya tempat penting! Kamu harus ikut karena menyangkut kamu juga."
"Mas bikin penasaran saja deh!"
"Hehehee. Ya sudah mas tutup dulu, ya. Kamu istirahat jangan begadang! Besok pagi mas jemput!"
"Iya, mas. Mas juga istirahat, ya."
"Daaahh sayang, i love u!" ucap Fadil.
"I love u too, mas!" balas Nindia tersenyum dengan wajah memerah. Fadil lalu mematikan handphonenya.
Aku mencintaimu, mas! Nindia memejamkan matanya dengan wajah tersenyum bahagia.