Chereads / Akibat Malam Di Villa / Chapter 17 - Orang Tua Fadil

Chapter 17 - Orang Tua Fadil

Mereka berhenti di ruang tamu. Di sana tidak ada siapa pun. Nindia memperhatikan setiap detil ruangan. Ruang yang sangat besar,terdapat beberapa sofa yang terlihat mahal.

"Ayo duduk dulu! " Fadil menyuruh Nindia duduk sementara dia sedikit menjauh untuk menelepon seseorang. Perasaan Nindia mulai tidak enak. Dia duduk dengan gelisah.

Tak berapa lama datanglah laki-laki dan perempuan setengah baya,mungkin usia antara 50 sampai 55 tahun. Mereka menatap lekat ke arah Nindia. Nindia jadi salah tingkah di tatap seperti itu.

"Mi,pi . . . maaf lama nunggu!" Fadil memeluk mereka satu persatu.

"Iya sayang tidak apa-apa." ucap wanita yang ternyata maminya Fadil.

"Oh iya,ini dia wanita yang Fadil ceritakan itu. Ayo mami papi kenalan dulu," Fadil menunjuk ke arah Nindia. Nindia kaget dan bingung namun dia berusaha terlihat santai. Dengan cepat dia berdiri dan menyalami orang tua Fadil.

"Saya Diah,om tante..." Nindia mencoba tersenyum ramah.

"Hmm . . .!" hanya itu yang di ucapkan oleh papinya Fadil.

"Ayo silahkan duduk lagi," ucap mami Fadil.

Fadil yang melihat kebingungan di wajah Nindia hanya bisa tersenyum. Dia lalu duduk di sebelah Nindia.

"Sudah berapa lama kalian kenal?" tanya mami Fadil.

"Lumayan lama kok,mi!' Fadil yang menjawab padahal Nindia baru mau menjawab.

Nindia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi sekarang. Bayangan masa lalu kembali mengusiknya. Saat seseorang di masa lalu dulu mengenalkan Nindia pada orang tuanya. Nindia bisa menebak kalau suami istri di hadapannya sungguh tidak menyukainya.

"Jadi bagaimana?" tanya papi Fadil.

"Seperti yang sudah Fadil katakan kemarin pi,kalau Fadil serius dengan dia dan Fadil tidak mau membuang waktu," kata-kata Fadil sukses membuat mata Nindia membelalak.

"Jadi kamu ingin cepat menikahinya,begitu?" tanya papi Fadil lagi.

"Iya,pi. Fadil ingin dalam bulan ini juga!"

"Hmm . . ." Papi Fadil menarik nafas berat.

"Kamu tidak ingin mengenalnya lebih jauh lagi,Fadil?" tanya mami Fadil. Terlihat rasa khawatir dari raut wajahnya.

"Fadil sudah cukup mengenalnya,mi. Fadil sudah tahu tempat tinggalnya juga tempatnya bekerja. Mami tahu restorannya om Hanif kan. Diah kerja di sana. Kalau mami papi ingin dia berhenti kerja di sana ya tidak apa-apa. Toh Diah akan tinggal di sini dan tidak perlu lagi bekerja," jelas Fadil. Nindia kembali terkejut.

Apa yang Fadil rencanakan sungguh benar-benar sebuah kejutan besar. Tapi Nindia tidak berani bicara. Dia bingung harus mengatakan apa. Hanya berharap segera pergi dari tempat ini.

"Hmm,ya sudah kalau itu mau kamu. Oh ya, mami papi tidak bisa berlama-lama,kita nanti mau dinner sama orang penting. Jadi kalian silahkan ngobrol berdua,ya," Mereka pun meninggalkan Fadil dan Nindia tanpa menoleh sedikit pun pada Nindia.

"Tuan,ada apa ini? Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?" tanya Nindia ketika kedua orang tua Fadil sudah pergi.

"Mas bukan tuan! Kamu sudah lupa,hhmm?"

"Iya,tapi tolong jelasin! Jangan buat aku seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa."

"Siapa yang anggap kamu orang bodoh,sayang? Kan aku sudah pernah bilang sama kamu,jadilah wanitaku. Apa kamu sudah lupa hmm?" Fadil memegang bahu Nindia dan menatapnya lekat.

"Yah aku pikir tidak seperti ini. Dan ini sungguh terlalu cepat! "

"Memangnya apa yang kamu pikirkan? Jadi simpananku? Pacar? Kamu harus tahu kalau aku paling tidak suka membuang waktu!"

"Tapi mereka tadi seperti tidak menyukaiku! Belum lagi kalau mereka tahu kalau aku sudah punya Cinta!"

"Siapa bilang mereka tidak menyukaimu? Mereka sudah tahu tentang Cinta. Aku sudah ceritakan semua. . ."

"Tapi tadi mereka terlihat dingin begitu. . ."

"Itu hanya perasaan kamu saja. Jangan berlebihan. . ."

"Tapi,aku belum siap untuk semua ini. Ini terlalu cepat! Apa mas sudah yakin sama aku? Mas belum terlalu mengenal tentang aku,kehidupanku!"

"Sudah cukup buatku,aku hanya ingin hidup denganmu!"

"Tapi ?"

"Kenapa? Kamu tidak mau hidup denganku,hhmm??'

"Maaf,aku belum yakin dengan perasaan mas! Aku juga belum yakin dengan perasaanku. . ."

"Hmm . . . Aku harus bagaimana agar kamu yakin,hmm?? Dengan pernikahan pun kamu masih belum yakin??"

"Mas tahu aku pernah kecewa,kan?"

"Iya aku sangat tahu! Makanya aku tidak mau membuang waktuku hanya untuk hal yang tidak penting! Apa yang aku lakukan belum bisa meyakinkan mu,hmm?"

"Tapi,mas?" Nindia merasa sangat bimbang. Dia masih takut tentang pikiran keluarga Fadil terhadapnya.

"Sekarang aku harus bagaimana lagi?"

"Bukan begitu mas. Aku tidak mau kalau tanpa persetujuan orang tua mas. "

"Mereka setuju sayang,sangat setuju! Mereka tidak bisa menolak ke inginanku!" ucap Fadil seraya menggandeng Nindia.

"Jadi mereka terpaksa menerimaku?" Nindia menatap Fadil.

"Tentu saja tidak! Sudah kamu tidak perlu mikir macam-macam! Kita keluar saja yuk,biar pikiran kamu fress,hmm??" Nindia pun mengangguk.

"Kita mau kemana? Jangan terlalu lama kasian Cinta di tinggal?" tanya Nindia saat mereka sedang dalam perjalanan.

"Iya sayang sebentar saja kok hanya untuk mengembalikan mood kamu biar tidak banyak pikiran lagi." jawab Fadil sambil mengelus rambut Nindia. Nindia merasa mulai nyaman di samping Fadil. Jadi dia menurut saja kemana Fadil melajukan mobilnya.

"Ayo turun !" titah Fadil saat mereka sudah tiba di depan toko handphone.

Nindia pun turun dari mobil. Dia mengikuti saja langkah kaki Fadil. Fadil lalu berbicara dengan pemilik toko,sepertinya mereka saling kenal terlihat dari cara mereka berbicara yang di selingi tawa.

"Ini,mungkin dia suka!" pemilik toko menyerahkan sebuah handphone pada Fadil.

"Ok saya tanyakan dulu apa dia suka yang ini!" jawab Fadil. Fadil pun menoleh ke arah Nindia.

"Sayang,apa kamu suka handphone yang ini?" tanya Fadil sambil memberikan handphone yang ada di tangannya.

"Ini. . . buatku,mas??" tanya Nindia sambil menimang-nimang handphone yang ada di tangannya.

"Tentu saja untuk kamu! Supaya tidak susah kalau aku mau hubungi kamu"

"Tapi mas?" Nindia ragu menerima handphone pemberian Fadil.

"Tidak ada tapi-tapian! Kamu tidak suka yang ini,ya? Mau tipe yang lebih bagus?"

"Tidak mas,bukan masalah tipenya. Tapi ini handphone mahal. Yang biasa saja!"

"Hmm. . . Ya sudah yang ini saja. Kamu bilang jangan lama-lama kasian Cinta kan. Sudah ini kita pulang!" Fadil lalu kembali ke pemilik toko. Setelah transaksi,mereka pun kembali ke mobil.

"Ini handphonenya kamu coba dulu. Sudah ada nomor kontak saya,dan ada internetnya juga," Fadil menyerahkan handphone yang baru dia beli pada Nindia. Nindia lalu mengambilnya.

"Terimakasih,mas . .!" ucap Nindia.

"Iya sama-sama. Oh ya kita beli oleh-oleh dulu untuk Cinta sama mak,ya!"

"Tidak usah mas,mak pasti sudah masak!"

"Tidak masalah. Mas tahu toko kue yang jual kue-kue enak. Kalian pasti suka."

Tak lama Fadil memarkirkan mobilnya di depan toko kue yang tidak jauh dari toko handphone tadi.

"Kamu tunggu di mobil saja. Hanya sebentar." Fadil pun turun dari mobil dan setelah 5 menit kembali lagi ke mobil dengan membawa kantong berisi kue.

"Ayo kita pulang sekarang. Bagaimana kamu sudah paham cara pakai handphonenya,hmm??"

"Sudah mas! Mas. . . Terimakasih,ya!" ucap Nindia sambil menatap wajah Fadil yang sedang fokus menyetir.

"Terimakasih untuk apa?"

"Untuk semua kebaikan yang mas lakukan padaku,pada putriku!

"Mas yang harus berterimakasih pada kamu Diah. Kamu membuat hari-hari mas sibuk!" Fadil tersenyum.

"Membuat mas sibuk?!" Nindia kaget dan merasa tidak enak hati.

"Iya! Kamu buat mas tiap hari sibuk mikirin kamu!" Nindia langsung menoleh ke Fadil dengan wajah bersemu. Fadil pun menatap Nindia sambil mengedipkan sebelah matanya. Wajah Cyndia makin bersemu merah.

"Kamu makin cantik kalau sedang malu-malu!" Fadil meraih tangan Nindia lalu mengecupnya.