"Sayang, kamu sedang apa?" baru saja Fadil meninggalkan rumah Nindia, dia sudah menelpon.
"Hmm ini, sedang makan kue yang mas beliin tadi sama Cinta dan juga nenek. Benar enak mas, Cinta sama nenek suka!" jawab Nindia dengan mulut penuh kue.
"Kamu sambil makan, ya?"
"Iya,hehehe! Ini sudah selesai kok! Mas sudah sampai rumah?"
"Belum, mas masih di jalan."
"Kirain sudah sampai kok sudah nelpon."
"Kangeeen. . ." ucap Fadil lirih hampir tidak terdengar.
"Iiihh . . . Baru juga setengah jam yang lalu ketemu sudah kangen!"
"Ya kamu memang ngangenin sayang. Sudah mandi belum?"
"Hmm,sudah bisa merayu, ya. Ini baru mau mandi,mas!"
"Ya sudah mandilah sudah sore ini!"
"Iya,mas. Sudah ya. Mas hati-hati di jalan," Fadil lalu mematikan handphonenya.
"Bunda, ayah Fadil baik banget ya sama kita. Cinta mau tinggal sama ayah Fadil, bunda!" celoteh Cinta.
"Iya sayang, ayah Fadil memang sangat baik pada kita. Bunda mandi dulu, ya. Kamu abisin makanannya," Cinta pun mengangguk.
Selesai mandi,Nindia kembali memainkan handphonenya. Lalu memberikan pada Cinta karena putrinya itu merengek ingin main handphone. Maklum anak-anak tetangga juga teman-temannya sudah punya handphone semua.
"Diah, coba ceritakan pada nenek."
Nek Wati duduk di samping Nindia saat Cinta sedang asik memainkan handphonenya.
"Iya, nek. Tadi sebenarnya Fadil ingin bicara sama nenek tapi nenek tadi sedang di rumah bu Ratna jadi dia langsung pulang. Mungkin besok dia baru bicara sama nenek."
"Bicara masalah apa, nak?"
"Hmm. . . nek, Fadil mau menikahiku. Bagaimana menurut nenek?"
"Diah, kalian belum lama kenal, nak. Apa kamu sudah yakin? Kalau nenem ya setuju saja, sudah waktunya kamu berumah tangga," ucap mak.
"Iya, nek. Insya Allah aku yakin. Aku merasa sangat nyaman dengan Fadil. Dia itu keponakan pemilik restauran tempat aku kerja, jadi teman kerjaku sudah lama tahu tentang Fadil. Nani juga cerita kalau Fadil itu orangnya baik!"
"Oohh. Syukurlah kalau dia baik, nak. Nenek hanya ingin kamu dan Cinta bahagia."
"Terimakasih, nek," Nindia memeluk nek Wati dengan haru. Andai tidak ada nek Wati, entah apa yang akan terjadi padanya dan juga putrinya.
***
"Sayang, pagi ini mas tidak sarapan di restauran, mas ada meeting dadakan sama orang luar. Tapi nanti mas telepon kamu. Handphonenya simpan di kantong saja, ya!" titah Fadil saat mereka sudah tiba di restauran.
"Iya, mas hati-hati di jalan, yaa!" Nindia melambaikan tangannya. Kemudian Mobil Fadil segera meninggalkan restauran.
"Pagi Diah. Makin cantik saja kamu." sapa Dimas teman kerja Nindia.
"Pagi juga Dimas." Nindia tersenyum dan berlalu menuju ruang karyawan untuk menyimpan tasnya.
Seperti biasa Nindia akan membersihkan area restauran di bantu teman-temannya. Nindia makin betah kerja. Sudah hampir satu bulan dan dia akan menerima gaji pertamanya. Dia akan memberikan sebagian untuk mak dan sebagian lagi untuknya dan keperluan Cinta. Ada rasa bangga kalau bisa membantu keuangan mak. Orang tua angkatnya yang telah membantunya selama ini.
Ibu, tiba-tiba Nindia ingat ibunya. Apa kabar ibu sekarang, ya? Masihkah marah pada ku? Nindia membatin. Dia sungguh merindukan ibunya itu.
Beberapa jam berlalu. Sudah waktunya istirahat siang. Nindia pun makan di kitchen bersama Nani. Tiba-tiba handphone Nindia berdering pelan.
"Hallo mas." sapa Nindia. Hanya Fadil yang tahu nomor kontak Nindia.
"Halloo sayang. . ." sapa Fadil.
"Mas sudah makan siang? Aku sedang makan siang nih di kitchen sama Nani"
"Mas sebentar lagi makan siang sama klien, sayang. Ya sudah, kamu makan lah dulu yang banyak biar gendut!" gurau Fadil.
"Mas suka kalau aku gendut, ya? Nanti aku jadi jelek loh!"
"Tidak masalah kamu gendut. Mas sudah tahu cantiknya kamu!"
"Iiihh, makin pinter gombal mas nih!"
"Hahahaa . . . memang kamu cantik sayang! Ya sudah mas matiin teleponnya,ya! Byee." Fadil lalu mematikan handphonenya. Nindia kembali makan.
Kamu handphone baru ya, Diah? Wiiihh bagus ya, mahal pasti!" wajah Nani berbinar melihat handphne di tangan Nindia.
"Sssssttt . . .Diam-diam saja ya, jangan sampai yang lain tahu nanti jadi gosip. Ini di beliin pak Fadil kemarin!"
"Waaahh, jadi kalian kemarin kencan ya kok pulang lebih cepat? Tuh kan aku bilang juga apa, pak Fadil itu suka sama kamu, Nindia!' Nani tersenyum semringah. Dia ikut merasakan kebahagiaan Nindia.
"Dia mau nikahin aku, Nan! Kemarin di kenalin sama orang tuanya. Tanpa memberitahu lebih dahulu sampai aku kaget dan bingung"
"Hah, sungguh??" Nani berteriak.
"Sssttt, jangan teriak-teriak donk!" Nindia jadi sewot.
"Hehehee maaf. Kaget!" Nani tersenyum sambil menutup mulutnya.
"Kamu kan sudah lama kenal pak Fadil. Menurut kamu dia baik tidak, ya? "
"Selama ini sih aku tahunya dia baik dan tidak macam-macam. Belum pernah juga bawa perempuan ke sini. Ada yang bilang kalau dia G** karena tidak pernah terlihat bersama perempuan."
"Ooh begitu. Tapi masa iya sih dia belum pernah punya kekasih, ya? Secara tampan dan kaya kan?" tanya Nindia.
"Makanya itu ada yang bilang kalau dia G**. Setiap ada perempuan yang dekati, dia cuek. "
"Kalau sama aku dia sangat baik, sama Cinta juga loh,Nan. Kadang aku pikir,ada maksud apa pak Fadil bisa baik begitu."
"Karena dia suka sama kamu, Diah! Selamat, ya! Semoga kalian benar-benar berjodoh! Aamin!" Nani menengadahkan kedua tangannya.
"Aamiin. Terimakasih, Nan. . .! Aku ke depan lagi ya,sudah satu jam ini," Nindia lalu keluar dari kitchen dan kembali ke area restauran.
Jam siang begini memang waktunya ramai pengunjung. Semua meja terisi. Nindia pun mulai mendekati satu persatu meja yang belum memesan makanan.
"Ramai ya di depan?" tanya Nani,dia sedang masak banyak sekali pesanan.
"Iya Nan, lebih dari kemarin. Ini sudah kan. Aku bawa, ya?" Nani pun mengangguk.
Saking sibuknya sampai Nindia tidak menyadari sudah ada Fadil di restauran. Berdiri di dekat pintu karena semua meja penuh. Waktu sudah sore,sebentar lagi jam pulang jadi Fadil sengaja menjemput lebih awal.
"Capek, ya?" sapa Fadil saat Nindia sedang fokus membaca pesanan pengunjung.
"Mas!! Bikin kaget deh!" Nindia memegang dadanya. Jantungnya serasa copot.
"Sibuk sekali kamu, mas perhatikan dari tadi. Pulang yuk!" ajak Fadil.
Belum mas, masih setengah jam lagi."
"Lama, sayangg! Mas kangen kamu!" Fadil menatap manja ke Nindia.
"Setengah jam kok lama?" Nindia memajukan bibirnya.
"Sudah sana siap-siap ambil barang kamu kita pulang!"
"Tidak bisa begitu donk mas! Sebentar lagi yaaa!" Nindia mengusap wajah Fadil dengan mesra. Mungkin bisa membuat Fadil senang jadi mau sabar menunggu.
"Sering-sering donk begini, hmm!" Fadil mengedipkan matanya.
"Sudah ahh! Tunggu sebentar lagi ya mas. Aku ke kitchen dulu!" Nindia pun langsung meninggalkan Fadil yang masih menatapnya.
"Nan,ini pesanan meja lima. Yang meja satu mana ya?" Nindia menyerahkan lembaran kertas pesanan pengunjung.
"Meja satu Didit yang bikin tuh!"
"Oh iya. Makasi ya mas Didit." Nindia mengambil pesanan pengunjung yang sudah siap lalu meninggalkan kitchen menuju meja satu yang sudah menunggu.
"Ini pesanannya pak bu. Silahkan di nikmati. Semoga suka ya!" ucap Nindia ramah sambil tersenyum.
"Ayo,sayang kita pulang!" Fadil tiba-tiba menarik tangan Nindia.
"Hmm,mas ini sungguh tidak sabar,iya! Ya sudah tunggu,saya ambil tas dulu."
Nindia langsung ke ruang karyawan dan pamit sama teman-temannya yang masih ada jam kerja. Tak sengaja dia berpapasan dengan Kety.
"Heehh,kamu pakai susuk apa sih?" Bentak Kety sambil mendorong bahu Nindia.
"Terserah lah mau ngomong apaan!" Nindia langsung meninggalkan Kety yang belum selesai bicara dengannya.
"Jangan ganggu dia, Kety!" Dimas menegur Kety sambil menatapnya tajam.
" Tidak usah ikut campur!" Balas Kety.
"Kalau kamu macam-macam dengannya, saya akan adukan pada pak Fadil, mau kamu heeh?!" Dimas makin emosi melihat tingkah Kety.
"Eehh Dimas, bukan nya kamu suka sama Diah, kenapa kamu tidak cemburu melihat dia dekat dengan pak Fadil? Harus nya kamu tuh kerja sama dengan ku buat pisahin mereka!"
"Saya sayang Diah! Saya bahagia jika dia bahagia! Tidak seperti kamu!" Dimas pun meninggalkan Kety yang melotot ke arahnya.
Sementara Nindia dan Fadil sudah di dalam mobil.
"Sayang, mas mau bicara sama nenek. Kira-kira nenek setuju tidak ya mas nikahin kamu?" Tanya Fadil saat mereka dalam perjalanan ke rumah Nindia.
"Insya Allah setuju mas. Nenek ingin melihat Cinta dan aku bahagia!" ucap Nindia sambil menatap Fadil lekat.
"Kamu bahagia kan sama mas,hmm?" Tanya Fadil. Fadil pun memegang tangan Nindia dan menciumnya.
"Sangat, mas! Terima kasih sudah hadir di hidup aku dan juga Cinta. Terima kasih mas sudah mau menerima Cinta!" ucap Nindia dengan perasaan haru. Semoga kali ini, kebahagiaan itu jadi nyata. Batin Ninndia.
"Mas juga berterima kasih karena kamu hadir di hidup mas, sayang! Hidup mas terasa lebih berarti!" Mereka pun saling memandang dengan penuh cinta.