Tidak terasa sudah seminggu semenjak kejadian memilukan hati di kamar Gilang. Kini Asya menjadi pribadi yang lebih banyak diam dan melamun. Lontaran kata-kata pedas Gilang masih jelas terngiang-ngiang di kepalanya. Sungguh itu membuat dunia Asya redup.
Perjuangannya selama ini untuk bertahan demi anaknya dengan segala perlakuan buruk Gilang hancur begitu saja. Rasanya sudah tidak berarti, akan perjuangan yang sudah ia bangun selama ini. Dan tibalah kini dia memilih pasrah.
Ditambah lagi dengan keadaan dimana selama seminggu ini, Gilang mendiamkannya dan tidak pernah menampakkan batang hidungnya di hadapannya. Asya tidak tahu apa yang sedang terjadi pada suaminya itu. Yang ia tahu, suaminya selalu pulang larut malam. Mereka tidak pernah berbicara lagi, mengingat Asya takut bila mengajak bicara Gilang duluan.
Namun satu hal yang tidak bisa ia sembunyikan. Perihal perasaan gelisah yang akhir-akhir ini terus menghantuinya tanpa henti. Rasa lega dan sedih beradu jadi satu dalam satu benak.
Lega akan terhindar dari kekejaman Gilang yang sudah seminggu ini tidak menghampirinya. Tapi disisi lain ada rasa sedih menyelinap di dalam benaknya. Tapi Asya tidak menyadari bahwa rasa sedih itu adalah rasa rindu lama tidak bertemu dengan Gilang membuatnya jadi merasa hampa.
"Kenapa aku begini? Bukankah aku seharusnya senang dia tidak menyiksaku. Tapi kenapa dalam benakku berkata lain?"
Disinilah Asya duduk sendiri di kursi kayu tepat menghadap kolam renang di bawah pohon kepala yang tengah melambaikan daunnya hingga menyeruakkan hawa sejuk dan tenang disana. Sorot mata bening Asya terus tertuju pada semburat senja sore hari yang sebentar lagi tenggelam dan digantikan dengan kegelapan pertannda akan berganti malam.
"Kenapa dia sampai sekarang belum pulang? Apa dia akan pulang larut malam lagi?" Asya memejamkan mata erat, menahan rasa sesak di dadanya kala rasa rindu mulai menguasai benaknya. Ditengah keheningan menghampirinya, tiba-tiba dia membayangkan kegiatan ranjangnya bersama Gilang sebelum keadaan sekarang berubah. Tiba-tiba dirinya mendadak rindu akan sentuhan Gilang.
Tanpa disadarinya tangan mungil Asya mengusap perutnya.
"Ayah? Asya capek disini. Asya kangen ayah." Asya menatap selembar kertas berisi barisan nomor milik ayahnya yang senagaja di berikan Budi ketika mereka berpelukan kemarin.
Asya tidak bisa menghubungi ayahnya mengingat tidak ada celah baginya untuk berkomunikasi dengan ayahnya. handpone tidak punya, penjagaan ketat tidak luput dari jangkauannya ditambah lagi banyaknya kamera tersembunyi di setiap sudut rumah Gilang membuatnya tidak bisa bergerak leluasa.
Rasanya begitu bosan menghabiskan di rumah mewah dan luas itu sendirian. Meskipun kadang diselingi dengan obrolan bersama Bi Asri.
Sedangkan di tempat yang berbeda, Gilang Danurendra masih berkutat di ruang kerjanya yang sudah nampak temaram. Tidak sadar kalau hari hampir menginjak malam, waktu pulang kerja sudah terlewat namun dirinya masih berkutat di depan layar computer. Kedua matanya yang sudah nampak lelah namun tidak membuatnya berhenti.
Sesekali jari jemarinya memijat pelipisnya. Rasanya sudah cukup dia gila kerja seminggu ini demi membangkitkan lagi perusahaannya yang kemarin sempat merugi. Menghabiskan waktunya di kantor hingga pulang larut malam dan waktu makannya sampai terlupakan.
"Pening sekali." Gilang meregangkan ototnya.
"Astaga." Gilang mengerjabkan matanya menatap semburat senja menerobos kaca jendela di ruangan kerjanya. Dia terkejut baru sadar hari hampir malam.
Gilang menyenderkan punggungnya sembari menetralkan tubuhnya dari kekalutan dan letih ototnya yang begitu menyiksa diri. Pikirannya sekarang hanyalah kerja dan kerja saja tanpa memikirkan tubuhnya yang juga butuh istirahat.
"Mona, kamu dimana, sayang?" Gilang menatap sebuah bingkai foto di atas mejanya terpampang jelas foto Mona.
"Saya butuh hiburan."
Gilang bangkit dari duduknya. Belum sepenuhnya berdiri tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Halo."
"Bos, besok ada proyek di Semarang." Riko memberitahu Gilang lewat sambungan telepon.
"Astaga." Gilang meraup wajahnya dengan kasar sambil menatap kalender di atas mejanya yang nampak ada tanda agenda pekerjaan di luar kota. Sengaja memang dirinya melingkari tanggal bila ada pekerjaan di luar kota supaya tiddak lupa. Hampir saja dia lupa kalau tidak di ingatnan orang kepercayaannya, Riko.
"Jangan bilang kamu lupa, Bos."
"Hmm." Gilang memijat pelipisnya.
"Pulang bos, sudah mau malam. Nona Asya sudah …"
"Gimana pencarian Mona?" Gilang menyela pembicaraan Riko yang membahas Asya.
"Belum dapat bos. "
"Kamu bisa berkerja tidak. Harus berapa lama lagi, kamu segera menemukan kekasihku."
"Maaf bos. Ini anak buah, masih mencari keberadaan Mona."
"Suruh mereka bergerak lebih cepat. Mereka saya gaji, bukan buat main-main saja. Cari cepat Mona, kekasihku." Gilang memutus panggilan sepihak dengan kesal.
Gilang kembali mendudukkan tubuhnya di kursi. Tidak terasa hari sudah berganti malam. tapi dia masih belum beranjak pulang ke rumah.
Sekelibatan wajah Asya tiba-tiba melintas di pikirannya. Kebetulan Riko sempat menyinggung Asya tadi.
Bayangan akan percakapan serius segala isi hatinya pada Asya di kamarnya seminggu lalu, kembali memenuhi kepalanya. Tangisan dan kesedihan mendalam Asya begitu terekam jelas dalam ingatannya. Jujur dia merasa puas saat itu, melihat kesedihan Asya karena ucapannya. Karena itu memang tujuannya untuk menyiksa wanita itu.
"Gimana dia sekarang?" Gilang memijat pelipisnya memikirkan perbuatannya kemarin terlanjur kelewat batas. Terselip secuil perasaan di hatinya tertaut rasa iba pada Asya.
"Sudah seminggu tidak menyentuhnya, membuatku haus kenikmatan yang ada pada tubuhnya." Gilang melonggarkan dasinya yang terasa sesak di leher. Bayang-bayang akan suara desahan dan raut wajah Asya di bawah kukungannya, membuat nafsunya bangkit.
"Arghh. Lebih baik aku mempersiapkan berkas untuk pertemuan di Semarang besok." Gilang frustasi berusaha kembali fokus pada pekerjaannya dan membuang bayang-bayang Asya di kepalanya. Dia ingin proyek di Semarang berjalan lancar agar perusahaannya kembali pulih lagi. Walau dia bisa meminta tolong pada ayahnya yang sudah memiliki sepak terjang dalam bisnis, namun dia ingin bangkit dengan jerih payah sendiri. Karena itulah pedomannya dalam berbisnis yang tidak mau bergantung pada orang lain walau keluarga sendiri.