"Mario, ada apa kesini?" Sekar terkejut melihat Mario dan Budi datang di rumahnya secara bergantian. Ada gerangan apa yang membuat mereka datang ke kediamannya.
"Kebetulan saya lewat disini dan melihat Om Budi di depan rumah. Jadi sekalian saya mampir, tante," ucap Mario dengan ekspresi setenang mungkin.
Berdiri di rumah megah dan luas dengan design klasik menjadi beban tersendiri bagi Budi. Belum lagi membayangkan bagaimana respon orang yang tinggal disana akan tujuannya kesana.
Budi yang merasa disebut Mario seketika kalang kabut sendiri. Datang dengan penuh bulat tekat mengutarakan niat justru sekarang menjadi canggung sendiri pasalnya dirinya tidak memberitahu dulu pada si pemilik rumah akan kedatangannya. Terlebih rumah yang didatanginya itu bukan orang sembarangan yang tidak lain besannya yang terkenal sebagai pengusaha sukses berbeda dengan dirinya yang hanya karyawan swasta saja, merasa tidak tidak selevel.
"Dia kenapa kesini?" batin Sekar dengan perasaan tidak suka akan kedatangan Budi di rumahnya, besan yang tak dianggapnya. Mungkin kalau tidak ada Mario dihadapannya, sudah ia usir mentah-mentah. Karena sampai kapanpun Asya beserta keluarganya tidak pernah diterima dan dianggap bagian daripada keluarga besarnya, walau Gilang sudah menikahi Asya puteri dari Budi Iskandar.
"Apa kita boleh duduk, Tante?" Mario menghentikan keterdiaman Sekar yang tengah menggerutu kekesalan terpendamnya.
"Oh ya, silahkan. Maafkan tante sampai lupa menyuruh kalian masuk. Duduk, nak Mario." Sekar terpaksa mempersilahkan masuk Budi karena tidak mungkin menunjukkan sikap aslinya dihadapan Mario yang tidak lain sahabat dari puteranya. Tanpa ia ketahui hubungan keduanya sudah kandas alias ikatan persahabatan mereka sudah putus lama.
Mario dan Budi duduk bersebelahan di sofa berbulu berwarna cream terbuat dari bulu. Sedangkan Sekar duduk di sofa single tanpa mengalihkan tatapan kesalnya pada Budi. Budi menghela nafas sembari menetralkan rasa gugub dan canggungnya.
"Kok tumben kesini? Ada apa?"
"Om, ada urusan apa kesini?" Mario menoleh kesamping dan bertanya lirih pada Budi yang terlihat bingung.
"Oh maaf, Pak …"
"Tolong panggil saya, Mario bila berada di luar kantor, Pak." sela Mario dengan sopan.
Mario memang dari dulu dikenal sebagai pengusaha yang rendah hati dan suka menolong. Walaupun di anugerahi wajah tampan dan terkesan dingin serta irit bicara layaknya seperti Gilang Danurendra namun mereka memiliki perbedaan mencolok pada kepribadian masing-masing.
Bagi beberapa orang yang cukup dekat dengannya akan menganggap Mario sebagai pengusaha muda yang baik hati dan sopan. Begitu juga Budi yang sangat memuji akan kebaikan bosnya tempat ia bekerja itu. Sudah beberapa kali ia dibantu hingga sampai bisa bertahan hidup di Jakarta sampai sekarang. Belum lagi nasib akan puterinya sudah diperjuangkan oleh bosnya itu hingga sampai dinikahi oleh Gilang.
"Baik Pak, maaf maksud saya … Mario." Mario mengangguk dan tersenyum singkat.
"Maaf akan kedatangan saya kesini yang tidak membuat janji terlebih dahulu pada Bu Sekar dan sekeluarga. Saya datang kesini ingin menanyakan perihal keadaan puteri saya, Asya," ujar Budi langsung menyita perhatian Mario dengan tatapan aneh, merasa ada jarak diantara dua keluarga itu. Terlihat dari gaya bahasa dan mimik Budi ketika mengutarakan niatnya disana.
Sebenarnya Budi ingin bertemu dengan Indra, namun karena sudah ada Sekar jadi dia tetap tidak masalah. Yang penting baginya dirinya segera bisa bertemu dengan puterinya yang sudah lama ia rindukan. Mengenai kondisi tubuh puterinya terkahir bertemu, sementara ia tutupi dahulu supaya tidak menimbulkan ketegangan disana.
"Anda, maksudnya bapak bisa menanyakan pada anaknya langsung, bukan." Sekar dengan suara sedikit meninggi, namun kembali dipelankan setelah mendapatkan tatapan terkejut Mario.
"Saya sudah kesana tapi banyak bodyguard disana. Dan … " Budi memejamkan mata sebelum menjelaskan dengan detail.
Sekar dan Mario menatap penuh penasaran pada ucapan Budi yang tiba-tiba terhenti.
"Jelaskan apa adanya Pak, supaya jelas dan tidak ada yang tertutupi." Mario menenangkan Budi yang nampak bimbang.
"Tolong jangan bertele-tele dan jelaskan apa maksud kedatangan anda kesini."
Niat hati Budi ingin menjaga etikanya agar tidak terpancing emosi di rumah orang kaya itu karena sedari kemarin sudah menahan amarah pada Gilang yang berlaku kasar pada puterinya. Ingin rasanya memaki dan memarahi keluarga Gilang itu atas perbuatan putera mereka yang semena-mena pada puterinya.
"Saya melihat putera ibu berlaku kasar pada puteri saya. Bahkan saya melihat sendiri banyak luka lebam di tubuh puteri saya, Asya."
Raut muka Sekar mendadak tidak terima Gilang dianggap demikian. Dan menurutnya jika itu memang benar, memang pantas Asya mendapatkan perlakuan itu.
"Maksud Pak Budi, Gilang melakukan kekerasan pada Asya?" Mario terlihat kaget akan pengakuan Budi.
"Ya. Untuk itu saya ingin bertemu dengan Pak Indra, meminta bantuan supaya saya bisa bertemu dengan Asya. Karena saya sudah berkali-kali datang kesana namun tidak bisa karena dilarang penjaga rumah disana."
"Apa, itu benar tante?" Mario mengalihkan pandangan seketika menatap tajam Sekar.
"Te … tentu tidak Mario. Gi … Gilang tidak akan berlaku kasar." sanggah Sekar dengan cepat. Selama ini Sekar tidak mengurusi urusan rumah tangga puteranya, namun dia tidak menampik bila puteranya memang berperilaku buruk pada Asya, bahkan dirinya dan sekeluarga juga mendukung kalau anaknya menyakiti Asya.
"Pak Budi yakin?"
"Saya berkata jujur apa adanya dan disini saya meminta tolong pada Pak Indra dan … Bu Sekar untuk membantu saya supaya bisa masuk ke rumah Gilang dan melihat puteri saya disana." Budi sangat memohon tersirat kerinduan yang teramat mendalam pada sang anak, mengingat yang dimilikinya saat ini hanyalah Asya.
"Om Indra kemana, Tan ?"
"Suami tante sedang ada proyek kerja di luar kota dan beberapa hari lagi pulang."
"Sebaiknya kita ke rumah Gilang saja kalau begitu, Pak Budi."
"Tunggu, Mario. Tante akan hubungi Gilang. Setahu tante, Gilang ada kerja di luar kota kemarin." Sekar mencegah Mario pergi. Mario dan Budi tidak jadi beranjak dulu.
Dret dret
Suara ponsel nampak bergetar karena di silent sedangkan si pemiliknya tengah tidak sadarkan diri dan tengah di tangani dokter.
Rumah megah berwarna putih yang sudah biasa tenang dan hening, mendadak berubah menjadi tegang. Dimana si pemilik rumah tengah tidak sadarkan diri sedang ditangani oleh dokter
"Semoga dia tidak kenapa-napa," lirih Asya dengan perasaan cemas berdiri di depan kamar suaminya yang masih tertutup rapat karena sedang ditangani dikter pribadi Gilang.
"Nona, silahkan duduk. Tidak baik ibu hamil berdiri terlalu lama." Riko menarik kursi dan diserahkan pada Asya.
"Makasih." Asya tersenyum tipis pada Riko ditengah rasa cemasnya.
"Senyumnya sungguh manis. Bos benar-benar beruntung memiliki istri sebaik dan secantik dia." gumam Riko menatap paras cantik Asya. Tidak mau meninggalkan kesan aneh bagi semua orang terkait perhatiannya barusan, Riko segera mengalihkan tatapannya kea rah lain.
Dret dret
Riko yang masih menatap Asya, dikagetkan dengan dering ponselnya di saku berbunyi. Riko segera berlalu dari Bi Asih dan Asya.
"Halo Riko, kenapa ponsel Gilang tidak bisa dihubungi, Gilang baik-baik saja kan? Kalian masih di luar kota?"suara Sekar, ternyata yang meneleponnya adalah ibunya Gilang.
Riko terdiam sejenak dengan pikiran berkecamuk. Ibu dari bosnya itu sudah pasti telah menghubungi Gilang sebelumnya, jadi sekarang meneleponnya.
"Bos Gilang sudah pulang, Nyonya …"
"Lantas kenapa teleponnya tidak diangkat. Dasar anak menyebalkan."
"Maaf, Nyonya. Untuk sekarang, Tuan Gilang sedang istrahat karena baru tiba di rumah."
"Susahnya apa, buat ngangkat telepon mamahnya." Protes Sekar.
"Ini ada ayahnya Asya ke rumah. Dan ingin menemui Asya kesana."
"Maaf Nyonya, Bos Gilang hari ini tidak bisa menerima tamu karena butuh istirahat."
"Apa itu berlaku pada aku, mamahnya sendiri. Hissh menyebalkan."
"Maaf Nyonya, tapi itu perintah dari Bos Gilang."
"Ya sudah. Sampaikan buat dia, tolong jangan lupa makan dan tidur yang cukup."
Tutt
Riko menghela nafas lega setelah menyelesaikan urusannya dengan Sekar. Sesuai komando Gilang, sebelumnya dimana tidak seorangpun dilarang masuk kesana.
"Ada apa sebenarnya, hingga Pak Budi ingin menemui Nona Asya? Apa dia sudah tahu keadaan yang sebenarnya mengenai Nona Asya disini dan ingin mengambilnya dari Bos GIlang?" Riko curiga.