"Tu … Tuan, kenapa ke kamar ini?" Asya bingung Gilang menarik tangannya menuju kamar Gilang. Tidak mungkin Gilang mengajaknya bercinta di kamar suaminya itu. Yang ia tahu selama ini mereka atau lebih tepatnya suaminya selalu memaksa bercinta di kamar sempitnya yang ada di belakang rumah.
Pasalnya selama ini dirinya dilarang keras memasuki kamar apalagi sampai tidur disana. Mengingat Gilang tidak ingin berbagi ranjang dengannya walau mereka sudah menikah.
"Apa kamu punya hak untuk menolak? Ini rumah saya jadi terserah mau dimana melakukannya bukan." Ketus Gilang.
Brakk
Dengan langkah tidak sabaran, sesampainya di dalam kamar mewah yang dipenuhi warna putih Gilang menutup pintu kamarnya dengan kakinya. Asya kaget tersentak di ikuti dinding bergetar karena saking kerasnya benturan pintu.
"Layanin saya malam ini dengan tubuhmu." Gilang menarik pinggang Asya hingga tubuh mereka bertubrukan.
"Kenapa wajahnya?" batin Asya menatap wajah Gilang yang terdapat luka lebam di sudut bibirnya.
Tanpa aba-aba, Gilang langsung menyambar bibir mungil Asya yang ranum itu. Asya terkesiap kala bibir GIlang mulai menyesap dan melumatnya penuh nafsu hingga membuatnya kewalahan. Asya tidak bisa meronta dengan tubuhnya yang sudah dikunci Gilang.
"Hahh hahh." Asya kehabisan nafas mulai meraup oksigen sebanyak-banyaknya.
Walau letih yang begitu memuncak namun melihat Asya di hadapannya justru membuat nafsunya tidak terkendali. Bahkan selepas berciuman tadi, Gilang merasa rasa lelah bercampur marah seketika menguap begitu saja digantikan dengan hasrat yang ingin dituntaskan.
"Sekarang persiapkan pelayanan primamu. Karena diriku sudah lelah dengan semua masalah yang timbul karenamu." Gilang hendak mencium kembali namun ditahan Asya.
"Tuan, basah."Asya menyentuh kemeja Gilang yang basah karena keringat. Gilang sebenarnya sudah merasa risih dengan penampilannya saat ini yang jauh dari kata rapi dan maskulin. Mengingat seharian dia banyak menguras tenaga dengan berkelahi.
"Ganti pakaianmu. Ambil di almari." Ujar Gilang dengan nada kesal sambil melepas kemeja navynya di hadapan Asya langsung. Asya reflek menoleh ke samping karena malu.
Brukk
Asya bernafas lega melihat Gilang sudah pergi ke kamar mandi. Dia langsung memungut kemeja kotor milik suaminya yang di buang begitu saja ke lantai untuk di masukkan ke ranjang khusus pakaian kotor.
"Hmm. Wangi." Asya malah mengendus endus aroma wangi maskulin di kemeja basah suaminya tanpa henti. Bukannya merasa risih justru Asya merasa kecanduan dengan aroma maskulin dan seksi di kemeja navy itu. Terdengar suara gemericik air di dalam kamar mandi menandakan kalau Gilang sedang mandi.
"Bagus sekali kamar ayahmu, nak." Asya mengeluas perutnya sambil berjalan di walk in closet yang ada di kamar suaminya. Barisan almari mewah berwarna putih dengan segala isinya di dalamnya dapat dilihat Asya dari balik kaca.
Tiba-tiba langkah Asya terhenti tepat di depan almari yang di dalamnya terdapat barusan pakaian wanita. Terlihat dari warnanya yang mencolok dan bentuknya yang minim.
"Apa itu pakaiannya Mona?"
"Ya. Itu pakaian Mona."
Asya kaget dan menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Gilang sudah selesai mandi. Dan kini laki-laki itu tengah menyenderkan tubuhnya ke dinding dengan dada telanjang serta hanya memakai celana pendek warna hitam. Dan itu membuat tubuh Asya menegang.
Hati Asya merasa tercubit kala dugaannya dibenarkan oleh Gilang langsung. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di dalam kamar mewah itu bila pakaian Mona sampai ada di dalam almari tersebut.
"Apa kamu sedang menunjukkan wajah kesedihanmu padaku? Apa kamu tidak tahu seberapa jauh hubunganku dengan Mona hingga pakaiannya berada di dalam almariku." Gilang berjalan mendekat kea rah Asya yang tengah menunduk.
Tentu Asya tahu hubungan Gilang dengan Mona. Tapi dia tidak tahu kalau kedua pasangan itu akan berhubungan sejauh itu, hingga pasangan sejoli itu sampai melakukan diluar batas sebelum menikah.
"Tapi itu justru bagus. Setidaknya kamu sadar akan posisimu. Satu-satunya wanita yang ada dalam hatiku hanyalah Mona Larasati. Jadi jangalah berharap padaku walau sudah ada ikatan pernikahan diantara kita." Gilang berdiri tepat di depan Asya yang masih menunduk karena sedih.
"Tatap mataku!" Gilang mencengkram dagu Asya hingga mendongak ke atas. Pandangan mereka bertemu.
Gilang menyeringai puas melihat kelopak mata Asya yang bening itu tertutupi cairan bening. Tidak ada perasaan bersalah sedikitpun dalam diri Gilang atas ucapan yang baru keluar dari mulutnya. Hingga membuat hati Asya sakit hati. Justru dia puas sudah membuat Asya sedih karena itu tujuannya untuk menyiksa fisik dan batin Asya selama tinggal dengannya.
"Kenapa hatiku sesakit ini. Apa aku sudah mulai jatuh cinta dengan Gilang?" batin Asya sambil menitihkan air matanya.
"Jangan jatuh cinta padaku. Ingat, setelah bayimu lahir. Pernikahan kita berakhir." Gilang menghempas tubuh Asya.
Bagai disambar petir membuat dunia Asya serasa runtuh saat itu juga. Disaat dirinya berjuang untuk bertahan akan pernikahannya ini namun Gilang malah meruntuhkan apa yang di perjuangkannya. Rela disiksa fisik dan batinnya setiap hari demi sang buah hati mereka namun itu tidak membuat Gang tersentuh sedikitpun juga.
"Hikss."
"Sekarang saya tahu. Ternyata kamu sudah jatuh cinta padaku. Tapi jangan salahkan diriku yang tak akan pernah memberimu hati sedikitpun untukmu. Karena hatiku hanya untuk Mona seorang."
"Jadi jangan harap." Gilang menekankan setiap perkataannya berharap Asya mengerti.
Asya mengangguk pelan. Linangan air mata tak kunjung berhenti membasahi paras cantiknya. Sungguh ucapan yang menyakitkan mematahkan relung hatinya yang paling dalam yang sedang belajar mencintai Gilang serta berusaha bertahan untuk berjuang di sisi Gilang ditengah siksaan yang yang dberikan Gilang padanya.
"Bodoh. Makanya sadar diri. Siapa kamu, dan siapa diriku." bentak Gilang sambil beranjak pergi meninggalkan Asya yang sedang menahan isakan tangis tertahannya.
"Kenapa hidupku jadi begini? Apa yang harus aku lakukan lagi untuk bisa bertahan dengan ayahmu demi kamu, nak? " Asya terjatuh ke lantai dengan perasaan tercabik-cabik. Rasanya hancur sehancurnya sudah perjuangannya selama ini setelah apa yang sudah dikorbankannya demi Gilang. Sepertinya sudah terlalu dalam dirinya berharap pada sosok Gilang yang bisa menerimanya dan bertanggung jawab pada anak yang dikandungnya.