Alea harap dia salah dengar. Mata dengan tatapan polos itu terus memperhatikan Alden yang masih saja terdiam usai mengatakan kata itu.
"Enggak. Maksud gue, udah jadi kewajiban menolong teman." ujar Alden, terdengar embusan nafas setelahnya. Alea tidak tahu ada apa dengan Alden sekarang. Dari gerak-geriknya Alden menyembunyikan sesuatu, namun Alea tidak ingin memaksa Alden untuk berbicara sesungguhnya sekarang.
"Gue pergi dulu." Alea mendongak ketika Alden mulai berdiri. Pada akhirnya dia sendiri lagi di tengah murid-murid yang tengah mengonsumsi makanan kantin. Alea merogoh saku seragam dan roknya, berniat mengambil uang.
"Kok enggak ada? Perasaan ada di sini." gumam Alea penasaran. Dia sudah menyeluk dua saku, namun tidak kunjung menemukan uang yang ia cari. Alea berdiri, lantas memperhatikan sekitar. Siapa tahu uangnya jatuh, tapi ia sama sekali tidak menemukan apa pun.
"Aduh, mampus deh." gerutu Alea. Kalau sudah seperti ini tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke kelas atau menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Dengan lesu, Alea berjalan menuju kelas.
"Kak Al," panggil seseorang dari belakang.
Alea menengokkan kepala, "Rani? Ada apa?" tanyanya bingung. Tumben sekali ada adik kelas yang memanggilnya seperti ini.
Rani berjalan menghampiri Alea dengan sebungkus plastik yang entah berisi apa. "Ini buat Kakak," ia menyodorkan bungkus itu.
"Dari siapa?" tanya Alea, menerimanya dengan ragu.
"Aku enggak boleh kasih tau. Permisi, Kak." Rani menundukkan kepala, sebelum akhirnya berjalan melewati Alea yang masih diselimuti kebingungan.
Alea menarik langkah ke dalam kelas. Sampainya di sana, dia langsung membuka plastik tersebut. Tatapannya menjadi berbinar-binar melihat satu wadah berisi bakso serta satu botol teh dingin. Saat itulah perut Alea berbunyi. "Terima kasih, orang baik."
Tanpa disadari Alea, seseorang di balik tembok sana menyunggingkan senyum melihat Alea begitu lahap memakan makanan yang ia beli.
**
Melihat Bram masih serius berkutat dengan laptopnya, Venia menghampiri Sang Suami. Dia merangkul pinggang Bram dari belakang dan menempatkan dagunya di pundak tegap Suaminya. "Apa kamu tidak berniat mengajakku untuk pergi berbulan madu?"
Bram menghentikan aktivitasnya. Terdengar helaan nafas dari Pria itu. Dia memegang kedua lengan Venia yang merangkul dirinya, lalu berbalik badan perlahan. Saat itu juga Venia kembali berdiri tegak.
"Kerjaan aku akhir-akhir ini banyak, Sayang. Tidak mungkin, kan, membiarkannya begitu saja?"
"Jadi kamu tidak mau nih? Mas, kan, bisa mengambil cuti. Lagian ada banyak karyawan Mas yang membantu." balas Venia, bibirnya melengkung. Padahal dia sudah memimpikan bulan madu selama beberapa tahun belakangan, tapi suaminya yang membuatnya sakit dengan ekspektasinya sendiri.
"Hm, jadi kamu mau bulan madu?" Bram memegang kedua pundak Venia, mata elangnya menatap lekat netra Venia. "di mana tempat impian kamu?"
"Bali. Sudah lama aku tidak ke sana,"
"Bali? Baiklah. Aku akan membawamu ke sana, tapi Alea harus ikut. Oke?"
"Alea ikut? Kenapa dia harus ikut, Mas?" Raut wajah Venia berubah menjadi tidak suka. Dia hanya ingin berdua saja, tidak ingin ada putrinya itu.
"Kan, kasihan dia di rumah sebesar ini. Jika terjadi sesuatu, tidak ada yang bisa menolongnya. Rumah kita berada paling pojok. Satpam di sini juga hanya dua dan rumah tetangga juga lumayan jauh. Boleh, ya, membawa dia bersama kita?" bujuk Bram.
Venia malah memalingkan wajah, kembali memandang lurus ke arah jendela. "Enggak mau, loh, Mas. Aku maunya kita berdua aja. Udah. Ini bulan madu, loh, Mas. Bukan liburan keluarga biasa," Tangannya bersidekap di dada.
"Ayolah, Ven. Jangan bersikap kekanak-kanakan seperti ini. Kita sudah dewasa dan sudah menjadi keharusan untuk menjaga Alea. Kenapa kamu seperti ini?" nada bicara Bram masih lembut. Mungkin jika Venia tetap bersikeras, amarahnya meledak.
"Pokoknya aku enggak mau, loh, Mas!" Venia berdiri dari duduknya, ia memegang handle pintu, lantas menutupnya keras hingga terdengar suara bising.
"Dasar wanita tua." ejek Bram, ia meraih telepon di dekatnya. Men-scroll sebentar hingga akhirnya menemukan nomor Alea. Bram langsung meneleponnya.
Beberapa detik ia menunggu sambungannya diangkat, namun tidak kunjung terwujud. Untuk kelima kalinya ia mencoba, malah panggilannya ditolak. Bram menghempaskan kasar ponselnya. Sial. Awas saja nanti. Pulang dari sana, Bram tidak akan membiarkan Alea lepas.
***
Alea menatap ponselnya yang sedari tadi terus berdering. Mendadak tangannya bergemetar, keringat dingin mulai keluar dari pori-pori dahi. Malam itu sudah cukup menjadi trauma baginya. Alea tidak mau mengalami untuk kedua kali.
Padahal sudah satu jam sejak bel pulang sekolahnya berbunyi, Alea masih enggan ke rumahnya. Ia kini sudah duduk di kafe sambil memandangi kendaraan yang berlalu lalang lewat jendela.
Mendadak sepasang matanya terpusat pada mobil milik sang ibu yang berjalan menuju ke kafe sini. Namun entahlah, Alea masih belum bisa memastikan itu sang ibu atau bukan sebab wajahnya sama sekali tidak kelihatan.
"Al? Lo juga di sini?"
Tinjauan Alea berpindah ke depan. Tampak Reynal di sana.
"Eh, iya. Aku di sini,"
Reynal mendarat duduk di depan Alea. "Enggak pulang?"
Alea menggeleng lemah. "Aku..." Dia ragu apakah harus menceritakan isi hatinya atau tidak.
"Kenapa? Takut sama si tua Bangka itu?"
"Eh, ssstt." Alea memandang sekitar dengan tatapan waspada. Bisa saja, kan, ada orang suruhan Bram yang menguping pembicaraan mereka.
"Kenapa? Gue bicara fakta, kan? Lo enggak perlu takut, Al. Ada gue,"
"Iya, tapi kamu, kan, enggak selalu bersama aku setiap saat." balas Alea membuat Reynal terdiam sejenak.
"Oh, okay. Gue akan tinggal di rumah lo sekarang,"
"A--apa? Tinggal di rumah aku?" Yang benar saja. Alea tidak tahu alasan apa yang akan ia lontarkan kalau Reynal tinggal di rumahnya.
Reynal mengangguk. "Gue bisa aja tinggal bersama lo dalam jangka waktu yang lama." lanjutnya begitu enteng. "jadi supir di sana."
"Supir? Enggak semudah itu, Rey. Sekolah kamu gimana nanti? Belum lagi reaksi orang tua dan saudara-saudara kamu. Nanti kamu dikatain over bucin lagi," jawab Alea sambil geleng-geleng kepala.
"Iya, over bucinnya cuma sama lo doang,"
"Masa, sih?" Suara berat itu mengalihkan atensi mereka berdua. Sarga mendadak sudah ada di belakang mereka dan langsung berjalan mendatangi sampai berhenti di bangku samping Alea. "jangan percaya dia, Al. Cowok emang suka pinter ngomongnya." Sarga mendekatkan gelas milik Reynal. Tanpa rasa bersalah apapun dia langsung menengguknya.
"Terus apa kabar dengan kamu? Kamu juga Cowok, kan?"
"Uhuuukk!" Sarga terbatuk-batuk. Ia langsung meletakkan kasar gelas digenggamannya. Sementara Alea mengambil satu lembar tissue dan langsung mendekatkannya pada Sarga.
Sarga menarik tissue itu dari genggaman Alea. Hanya berniat untuk mengambil, namun malah membuatnya sobek.
"Makanya kalau minum yang benar. Apa tadi perkataan aku salah?"