[Kamu enggak ada acara, kan? Ketemu aku sekarang bisa?]
Send.
Alea mengirimkan pesan itu pada Reynal. Dia harap segera mendapat jawaban. Selang beberapa detik, chat yang ia kirimkan akhirnya bercentang dua biru.
[Boleh. Ketemu di mana?]
[Di kafe tempat waktu kita reuni]
[Oke]
Alea memasukkan ponselnya kembali ke saku. Sesudah memakai cardigan dan membawa tas selempang, Alea berjalan diam-diam keluar rumah. Sesekali dia menengok ke sekitar untuk memastikan tidak ada siapapun.
Seluruh lampu mati. Suasana juga sudah hening. Alea memegang handle pintu, perlahan ia membukanya sambil meringis lantaran takut pintunya berdecit.
Sampai akhirnya ia berhasil keluar dan langsung lari dari sana. Alea tidak sadar bahwa sedari tadi sudah ada orang yang mengintainya.
Di luar komplek, Gadis itu langsung menghadang taksi. Hanya butuh waktu 15 menit bagi Alea untuk ke kafe yang sudah dijanjikan.
Ternyata di sana sudah ada Reynal yang tengah duduk.
"Maaf nunggu lama." ujar Alea sambil meletakkan tas di meja disusul dengan dirinya yang mendarat di bangku.
"Enggak apa-apa. Kamu baik-baik aja, kan, di rumah? Apa dia bikin ulah? Sudut bibir kamu... kenapa berdarah?" cecar Reynal khawatir. "hm?" dehamnya lantaran tidak kunjung mendapat jawaban. "laki-laki itu pasti bikin ulah lagi, kan? Kamu boleh cerita ke aku sekarang. Jangan diam aja."
Alea menghembuskan nafas perlahan. Hal itu jelas didengar oleh Reynal. "Tadi sore..." Dia tidak bisa melanjutkan perkataannya lagi. Melihat kedua mata Alea yang mulai memerah sekaligus berair, hati Reynal tersentuh. Perasaannya juga semakin penasaran.
"Kenapa? Kamu boleh cerita semuanya ke aku, Al." Reynal bangkit berdiri. Ia beralih duduk di sebelah Alea. Pandangannya tidak lepas mengamati wajah perempuan itu.
"Aku enggak tau sampai kapan ini akan berakhir." parau Alea. Tangan Sarga terulur membawa Alea ke dalam pundaknya.
"Demi apapun aku enggak ngerti kalau kamu belum cerita." balas Reynal, mengusap-usap bahu Alea. "cerita sekarang aja, oke? Aku akan bantu cari jalan keluarnya."
"Dia... dia gangguin aku lagi, Rey. Aku capek. Aku kira setelah di kelab malam itu, dia enggak akan gangguin aku lagi, tapi nyatanya enggak. Sampai hari ini dia terus ganggu aku." suara Alea nyaris menghilang. Air mata yang sedari ia tahan seketika luruh begitu saja membasahi pipi.
"Ayo, kita ke Ibu kamu sekarang." Reynal menautkan jarinya pada jemari Alea.
"Buat apa? Ibu enggak mungkin percaya perkataan aku, Rey. Dia udah segitunya cinta sama Laki-laki itu. Enggak ada lagi hal yang bisa aku lakuin."
"Hey, dengar aku. Kamu bisa laporkan ini ke Ibu kamu. Aku akan bantu cari bukti. Setidaknya, kita harus berusaha, jangan pasrah begini. Kamu masih mau terus diganggu Bram? Enggak, kan?" Reynal menatap lekat wajah Alea, ia berharap mendapat jawaban yang sesuai dengan harapannya.
"Kamu sendiri tau, kan, gimana kekuasaan yang Ayah Bram punya? Kasih tau semuanya itu enggak mudah, Rey."
"Aku yang akan bantu kamu." Reynal beralih menggenggam jemari Alea. "sekarang," Alea mendongakkan kepala ketika Reynal berdiri. "ayo."
"Enggak. Lebih baik aku sendiri aja yang bilang soal itu. Aku enggak mau kamu kenapa-kenapa,"
"Kamu enggak bisa sendiri." kukuh Reynal, Alea mengesah.
"Besok. Aku akan ke rumah kamu buat membongkar kejahatan dia."
"Caranya?"
"Kamu pulang awal seperti tadi. Dia pasti akan menganggu kamu. Aku akan sembunyi di kolong ranjang dan merekam semuanya. Bagaimana? Kamu setuju?"
***
Setelah berbincang-bincang, Alea keluar dari kafe itu. Reynal terus memperhatikan untuk memastikan Alea aman sampai menaiki taksi. Sampai taksi itu sudah tidak kelihatan lagi, barulah Reynal berdiri dan bersiap untuk pergi.
Dia memakai kembali jaket yang sempat ia lepas, tidak lupa mengambil kunci motor yang tergeletak. Reynal menghampiri bagian tempat parkir. Suasana begitu senyap. Tidak ada satu orangpun.
"Bos, Perempuan itu sudah pergi." Pendengaran tajam Reynal mendengar kata barusan. Dia menengok ke sekitar, begitu aneh. Dirinya tidak mendapati siapapun.
Reynal acuh. Dia menaiki motor, dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Jalanan gelap dan sepi itu dilewatinya sendiri. Reynal sudah biasa seperti ini.
Namun malam ini ada yang janggal.
Dia merasa seperti ada yang mengikuti.
Reynal melihat ke belakang lewat kaca spion. Dan benar saja. Dia mendapati seorang dua pria menaiki motor. Di tangan mereka... apa itu? Reynal menyipitkan mata untuk memperjelas.
Sebuah balok kayu.
Dia yakin mereka adalah orang suruhan Bram. Reynal sudah menduga hal ini sebelumnya.
Laki-laki itu kembali memandang lurus, ia semakin mempercepat laju motornya. Sementara mereka yang ada di belakang pun melakukan hal yang sama. Mereka lebih gila dan gencar mengikuti Reynal.
"Woy! Berhenti!"
"Kejar gue kalau kalian bisa!" sahut Reynal tidak kalah keras.
"Ada Cewek di depan Lo!"
Reynal terperangah, mata elang itu membulat sempurna kala melihat seorang wanita mendadak berhenti di depannya. Dia mencoba menghentikan motor, namun terlanjur. Motornya yang kelewat cepat itu menabrak tubuh Wanita tersebut hingga terjatuh tidak sadarkan diri.
Adrenalin Reynal meningkat. Tidak. Tidak boleh ada hal buruk yang terjadi. Laki-laki itu melepas helm dan turun dari motor. Tatapannya memperhatikan sekitar. Anehnya, dua pria yang mengejarnya tadi melintas begitu saja.
Reynal berjongkok tepat di sebelah Wanita yang ia tabrak. "Hey, lo enggak apa-apa, kan?" Jari Reynal bergerak menyingkap helaian rambut yang menutupi wajah Perempuan itu. "lo--"
Grep!
Tangannya mendadak dipegang kuat. Reynal refleks mundur beberapa langkah melihat Perempuan itu sadar tiba-tiba.
"Maaf. Maafkan aku."
Alis Reynal mengernyit. Untuk apa meminta maaf? Seharusnya dia yang berucap demikian.
"Lihat, Bos. Dia sudah masuk ke dalam jebakan kita."
"Ternyata dia benar-benar bodoh!"
Reynal menengok ke belakang, dua pria yang mengejarnya tadi menyeringai. Reynal berdecih. Ia menarik paksa tangannya dari genggaman Perempuan itu, lantas berdiri. "Cara yang kalian gunain murahan. Semua ini pasti disuruh Bram, kan?"
"Wah, ini bocah songong amat ke kita."
"Kasih pelajaran, Bro. Biar dia sadar diri."
Tepukan tangan mendadak terdengar. Reynal menengok ke sumber suara. Bram ternyata keluar dari mobil dengan pakaian serba hitam. Nyali Reynal masih sama, tidak menciut sama sekali.
"Kamu berani sekali mengganggu saya." Bram mulai angkat bicara.
"Mengganggu? Bukannya Anda yang lebih dulu menganggu sahabat saya?" balas Reynal. Ia memandang bergantian empat orang berbadan kekar yang berada di sekitar Bram. "jika kalian semua mengeroyok saya, berarti kalian tidak ada bedanya dengan pengecut."
Bram tertawa terbahak-bahak disusul oleh empat anak buahnya. Tangan kekar Reynal terkepal kuat. "Bilang saja kalau kau takut. Apa sangat sulit untuk mengatakan itu?" tanya Bram dengan tatapan meremehkan.
"Untuk apa saya takut pada bajingan seperti Anda? Bejat dan tidak berperasaan. Anda bahkan berani menodai anak angkat sendiri dan membuat masa depannya hancur."
"Dia bukan anak angkat saya, tapi dia adalah Gadis biasa. Asal kau tau, saya menikahi Wanita tua itu demi mendapatkan Alea. Saya sudah menginginkannya sejak satu tahun lalu."
Flashback~~~