Chereads / Belenggu Ayah Tiri / Chapter 20 - Melayat

Chapter 20 - Melayat

Alea tergemap. Dia begitu tidak menyangka. Mana mungkin Sarga yang selama ini selalu tertawa untuk membuatnya menderita menolongnya dari Pria berengsek itu?

"Mulai hari ini lo tinggal di apartemen gue." Sarga memalingkan muka, lantas lanjut menyetir.

"Mau kamu apa? Kamu mau bawa aku ke kelab malam, begitu?" todong Alea curiga. Dia tidak kaget jika Sarga seperti itu. Hal ini sudah menjadi biasa baginya. "mending turunin aku di sini sekarang." Dia memegang handle pintu, bersiap untuk keluar, tetapi tangan Sarga menahannya.

"Lo mau diganggu dia lagi?"

***

Sepi.

Lavina dan Deren kebingungan melihat tidak ada siapapun di luar sana. Mereka berdua menjadi  ragu untuk keluar.

Lavina melemparkan pandangan pada Deren, "Kak, kita keluar sekarang." dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa di luar sana akan baik-baik saja.

"Biar gue aja yang keluar."

"Tapi kalau ini jebakan penjahat gimana? Gue enggak mau lo babak belur, Kak." balas Lavina sambil memegang pergelangan kekar Deren.

"Lo nggak ingat gue jago bela diri?" Deren memegang telapak tangan Lavina, kemudian melepaskan cengkraman itu dengan halus. "lo tunggu aja di sini. Enggak perlu keluar."

Lavina memandangi Deren yang sudah keluar. Degup jantungnya tidak bisa tenang sedari tadi. Lavina meraih telepon, di sana ia sudah mengetik nomor darurat untuk berjaga-jaga jika terjadi hal buruk.

Deren meninjau keadaan di sekitarnya, ia tidak menemukan apapun, kecuali dirinya merasakan sesuatu yang basah mengenai jempol kakinya.

Dia mengarahkan pandangan ke bawah, seketika dua matanya membulat sempurna melihat darah berceceran entah berasal dari mana mengenai kakinya. Deren mengibaskan tangan di wajahnya kala bau amis menyeruak di indra penciuman.

"Ada apa, Kak?" Lavina mendadak sudah ada di belakang Deren. "kok berhenti?" Dia mengikuti arah pandang Deren. Melihat darah berceceran, Lavina semakin panik tidak karuan. "Kok... darah?" paraunya.

"Kak, kita pergi aja dari sini sekarang."

"I--ini udah enggak beres, Kak. Lebih baik kita--"

Deren mengadahkan tangan, Lavina seketika terdiam. Kakaknya itu justru lanjut melangkah, mengikuti jejak darah. Lavina mau tidak mau membayangi dengan mata tak lepas mengawasi sekitar.

Sampai...

Setelah puluhan langkah, mereka berhenti tepat di dekat mayat Pria dengan genangan cairan merah di sekitarnya.

"Akkhhh!" Lavina spontan memalingkan muka, tidak kuat untuk melihat.

Lain dengan Deren. Dia penasaran sebab posisi jenazah itu telungkup. Deren mendekat dan berjongkok di sebelah orang yang sudah tidak bernyawa itu. Baru saja akan membalikkan tubuhnya, pundak Deren malah dipegang.

Deren menoleh, Lavina menggelengkan kepala. "Jangan. Jangan sentuh apapun. Aku enggak mau Kakak berurusan sama hukum. Lebih baik kita lapor dan tunggu polisi datang."

***

Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah-celah jendela. Kelopak mata Perempuan itu mengerut kala merasakan sesuatu menyilaukan menerpanya. Ia mengerjap dan perlahan mata indah itu terbuka.

Tampak Sarga di sana, tengah duduk di sofa sambil bersidekap di dada. "Gue kira lo Cewek rajin." Sarga bangkit berdiri, bersamaan dengan itu dirinya mengambil pakaian serba hitam, kemudian melemparkannya pada Alea. "Pakai ini. Kita harus datang ke makam orang sekarang."

"Makam? Siapa yang meninggal?" Alea beringsut duduk sembari menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.

Tidak ada jawaban yang ia dapat. Sarga malah melanjutkan langkahnya begitu saja.

"Sarga, tunggu!" Alea memakai sandal, bersiap untuk berdiri, namun sial. Sarga bukannya berhenti malah terus berjalan hingga benar-benar keluar dari kamarnya.

"Ishh!" Perempuan itu mengambil baju serta rok hitam yang tergeletak di dekatnya. Ia berusaha berpikiran positif bahwa yang meninggal itu bukan orang terdekatnya.

***

"Jangan lepasin genggaman gue. Pokoknya kita harus jalan bersama-sama." Di bawah sana, jari-jari Sarga bergerak menggenggam telapak tangan Alea.

Alea tersentak. Dengan takut-takut, ia menengok ke samping. Laki-laki itu benar-benar Sarga, kan? Dia tidak percaya saja atas perubahan Pria itu tiba-tiba.

"Kenap--"

"Sebaiknya kita masuk sekarang." potong Sarga tanpa menengok sedikitpun.

Sementara Alea kembali memusatkan pandangan pada rumah yang terlihat tidak asing di depannya.

Banyak orang yang hadir. Beberapa orang berbincang-bincang lirih. Ada juga yang menangis di samping tepi dan...

Kedua mata Alea membulat sempurna melihat Lavina serta saudara Reynal yang lain menangis tepat di dekat peti tersebut. Alea memandang Sarga , meminta penjelasan.

"I--ini siapa yang meninggal?" tanya Alea dengan suara gemetar.

Sarga terdiam membuat Alea bertanya-tanya. Tidak tahan lagi, ia melangkah maju, tetapi yang membuatnya bingung Sarga malah menahan.

"Reynal."

"Apa?" Tidak. Alea harap yang ia dengar tidak benar. Reynal tak mungkin pergi secepat ini.

"Ini semua gara-gara lo tau enggak?!" Lengking Lavina tiba-tiba. Lebih terkejutnya lagi, dia mendadak sudah ada di depan Alea.

Telapak tangan cantik Lavina langsung menggampar pipi Alea ketika lawan bicaranya itu terlihat akan menatapnya.

"Tenang, Vin!" Abi datang, hendak memegang tangan Lavina agar tidak berulah lagi, tapi sialnya ia malah mendapat tamparan keras.

"Dia butuh peringatan biar sadar!" teriakan Lavina membuat semua orang terdiam memperhatikan.

"Alea enggak salah. Niat dia ke sini baik buat melayat. Bukannya kalian menyambut, malah marah-marah gak jelas." balas Sarga membela, genggaman tangannya pada Alea semakin erat.

"Enggak salah? Jelas-jelas dia salah! Semalam dia ngajak Rey buat ketemuan. Kalau aja dia enggak ngajak, mungkin Rey masih hidup sampai saat ini!" bentak Lavina sambil menunjuk Alea yang kini tertunduk dalam dan berlindung di balik Sarga.

"Semua ini udah takdir Tuhan. Bagaimanapun Lo enggak berhak nyalahin dia."

"Jadi lo bela dia? Oh, gue paham. Kalian berdua bekerja sama buat Reynal meninggal, kan?!"

Tatapan Alea berpindah lurus. Seketika ia menggelengkan cepat kepalanya. "Enggak. Bukan. Bukan aku. Lagian buat apa aku membunuh Reynal, Kak? Kakak sendiri tau, kan, hubungan aku sama dia bagaimana? Kak, tolong jangan membenci aku. Kalian jangan salah paham," mohon Alea terlihat tulus.

Lavina tetap tidak goyah. Pandangannya semakin menusuk. Apalagi saat melihat wajah sok polos dari Wanita di depannya ini.

"Lebih baik lo pergi sekarang." ujar Deren sembari mencekal tangan Lavina yang terlihat akan berulah lagi.

"Iya, benar kata Bang Deren, lebih baik lo pergi dan jangan muncul lagi di depan kami." timpal Joshua. Alea benar-benar tidak percaya. Ada apa dengan keempat saudara Reynal ini? Biasanya mereka begitu ramah terhadapnya, tetapi sekarang berbanding terbalik.

Alea tersentak saat merasakan kedua bahunya dipegang. Ternyata Sarga pelakunya. Dari sirat mata Laki-laki itu Alea tahu bahwa Sarga mengajaknya pergi. Namun Alea tetap di tempat. Hingga beberapa detik usai memandangi foto Reynal yang tengah tersenyum di dekat peti, barulah Alea membalikkan badan dan pergi dari sana bersama Sarga.

"Kenapa kalian pulang?"