Chereads / Belenggu Ayah Tiri / Chapter 19 - Penolong

Chapter 19 - Penolong

Pergerakan Alea sedari tadi gusar, dugaan negative dirinya tentang keberadaan Reynal terus menghantui. Bahkan hari sudah tengah malam pun Bram belum juga pulang.

Ketukan pintu mulai terdengar. Alea terperangah. Langsung saja dia berlari menghampiri dan membuka pintu tersebut. Ternyata bukan Bram yang datang, melainkan Ibunya sendiri.

"Boleh Ibu pinjam teleponmu untuk menghubungi Ayahmu? Ponsel Ibu sedang dicharge."

"Boleh, Bu." Alea segera menyerahkan benda pipih miliknya.

Venia langsung menelepon nomor Bram. Tidak disangka, sambungan terhubung setelah beberapa detik berdering.

"Ada apa, Sayang?"

"Sayang?" Venia tergemap dengan panggilan yang digunakan Bram biasanya selama ini Suaminya tidak pernah memakai sebutan itu selain pada dirinya sendiri.

"Venia? Ponsel Alea ada bersama mu?"

"Ya. Kamu kapan pulang ke rumah? Aku sudah menunggumu sejak tadi."

"Besok aku akan pulang. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan, Ven."

"Perlu aku temani sekarang?"

"Tidak. Tidak usah. Lebih baik kamu tidur saja sekarang,"

"Baiklah." Telepon dimatikan oleh Bram. Alea yang mendengarnya langsung mengerti ke mana dia harus pergi untuk menemui Pria itu.

Venia menyerahkan kembali ponsel itu pada Alea. "Ingat kata Ayahmu, kau harus tidur sekarang."

Alea langsung menerimanya disusul dengan anggukan kepala. Venia keluar, pintu ditutup dengan keras. Alea tidak terkejut akan hal itu. Ibunya memang selalu tidak menyukai dirinya tanpa alasan yang jelas.

Alea merebahkan diri di ranjang miliknya, ia menatap langit-langit kamar. Sekarang dirinya harus menunggu dini hari agar bisa keluar rumah.

***

[Ke jalan mawar sekarang. Adik Lo dalam sekarat..]

Kedua mata Lavina mendadak terbuka segar usai mendapat chat tersebut dari orang yang tidak dikenal. Dia buru-buru menyingkap selimut yang sedari tadi menutupi sebagian tubuhnya, kemudian berlari menuju kamar Deren yang berada di sebelah.

"Kak, buka woy!"

"Kak!"

"Kak, buka!"

"Gawat ini!"

Desakan itu terdengar bersamaan dengan ketukan pintu yang berisik sekaligus memburu.

Selang beberapa detik, Deren membukakan pintu. "Kenapa, sih, lo?" tanya Deren risih. Dirinya sedang tidur nyenyak, namun malah diganggu.

"Gawat, Kak! Sumpah! Gue dapat chat dari orang yang enggak dikenal!" heboh Lavina sambil memperlihatkan chat masuk beberapa menit lalu.

"Ah, palingan itu dari penipu yang nawarin pinjaman online."

"Enggak! Reynal belum pulang sekarang, kan? Orang di chat ini masa bilang kalau Reynal dalam bahaya."

Deren menatap curiga sejenak, tatapannya berpindah pada ponsel di genggaman Lavina. Tangan kekarnya itu langsung mengambil alih. Untuk sejenak, ia membaca chat tersebut.

"Sekarang Lo percaya, kan?"

***

Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Alea berjalan ke kamar mandi, di sana dia membasuh wajah agar rasa kantuk tidak datang.

Setelah memakai cardigan dan celana hitam panjang, Alea melangkah mengendap-endap menuju pintu. Dia harap sepatunya ini tidak menimbulkan suara. Alea seketika menghembuskan nafas lega usai melihat lampu kamar Sang Ibu yang sudah mati.

Mobil putih yang terparkir di garasi itu kini keluar dari rumah besar yang terletak di tengah-tengah kota dan membelah jalanan yang sudah sepi sekaligus gelap.

Alea berusaha mengingat alamat kantor Ayah tirinya. Lima belas menit berlalu, dia akhirnya sampai. Suasana kantor sudah terlihat begitu sepi. Namun itu tidak membuat Alea yakin kalau Bram tak ada di sana.

Dia memegang handle pintu mobil, berniat akan keluar, tetapi kedatangan dua pria berpakaian hitam membuat Alea terhenti. Kedua mata Alea menyipit, dia baru sadar kalau salah satu orang di sana adalah Bram.

"Terimakasih atas kerjasama kalian hari ini." Bram mengeluarkan dua amplop tebal berisi uang, lantas menyerahkannya pada satu orang berpakaian serba hitam.

"Jika ada tugas yang harus kami lakukan, jangan ragu untuk mengabari kita lagi, Bos."

Mereka akhirnya pergi meninggalkan Bram sendiri. Alea memberanikan diri untuk keluar. "Om! Tunggu." cegah Alea sambil berlari menghampiri kala Bram terlihat akan pergi.

Bram berhenti, mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam mobil. "Kamu?" Ia memperhatikan sekitar Alea, tidak ada siapapun. Kegusarannya seketika lenyap.

"Apa, Sayang?"

"Om tau di mana Reynal?"

"Kenapa dini hari mencari dia?" balik Bram bertanya. Hal itu membuat Alea mengumpat dalam hati.

Bram mendekatkan wajah, Alea spontan menundukkan kepala. "Daripada mencari dia, lebih baik kamu masuk ke dalam mobilku agar aku bisa pulang bersama." lanjutnya berbisik. Alea tidak sebodoh itu, tentu dia tahu niat Bram sesungguhnya.

"Enggak. Aku di sini cuma mau tanya keberadaan Reynal, kalau Om berani ngapa-ngapain di--"

"Apa? Aku akan diapakan? Kenapa kamu terlalu mengkhawatirkan dia? Sekarang masuk ke dalam mobilku cepat!" Bram dengan sigap memegang lengan Alea, kemudian menariknya kuat. Alea berusaha untuk mundur menjauh, namun semakin ia berusaha Bram semakin kasar.

"Lepas! Aku enggak mau!" lengking Alea. Mustahil ada yang menjawab sebab semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing.

"Masuk!" Bram menjambak rambut Alea. Perempuan itu meringis kesakitan sambil memegang Surai hitamnya yang dijambak.  Sementara Bram memasukkan paksa Alea ke dalam.

Alea terhempas kasar, kepalanya membentur sisi jok. Bram tersenyum miring, ia menutup pintu mobil dengan kencang, lantas membalikkan badan, bersiap untuk masuk. Namun pandangannya seketika lurus ke depan melihat seorang berpakaian hitam dengan memakai masker sekaligus topi. Dia jelas tidak mengenali siapa Lelaki itu.

"Lepasin dia atau gue laporin ke polisi."

Bram mendecih. "Kau begitu yakin bisa melaporkan ku ke polisi?"

Pria tidak dikenal itu mengeluarkan pisau. Dengan cekatan, dia langsung menodongkannya pada leher Bram. Lawan bicaranya itu seketika angkat tangan. "Gue bahkan enggak akan segan bunuh lo di sini." Satu tangan Laki-laki tersebut terulur membuka pintu mobil. Mata sembab Alea langsung terarah ke sumber suara dan langsung keluar dari sana.

Pergerakan Alea terhenti kala lengannya dipegang Pria asing itu. Kedua mata Alea menatap Laki-laki asing dengan sirat mata yang seakan berkata 'terimakasih'. Alea perlahan di arahkan ke belakang tubuh Pria itu. Dia sama sekali tidak khawatir.  Insting Alea mengatakan Pria ini adalah orang baik-baik.

"Awas. Lo berani kayak gini sekali lagi, gue enggak akan biarin Lo lepas karena gue punya semua buktinya."  Alea terbeliak dengan perkataan yang dilontarkan Laki-laki barusan. Tapi siapa dia? Mengapa dia mempunyai semua bukti? Padahal Alea sangat yakin tidak ada siapapun orang yang tahu, kecuali Reynal.

***

"Ki--kita mau ke mana?" Alea terus memperhatikan gerak-gerik Pria di sebelahnya ini. Aneh memang, sedari tadi Laki-laki itu diam saja sambil menyetir. Entah akan membawanya ke mana.

Mendadak satu asumsi negative terlintas di benak Alea. "Jangan-jangan... kamu orang jahat, ya?!" dengan polosnya ia bertanya demikian.

Pria itu menghentikan mobil Alea tiba-tiba membuat raga Alea terdorong ke depan. Alea menegakkan duduknya kembali. Pandangannya juga mengarah ke Pria di sebelahnya lagi.

Laki-laki asing itu melepaskan topi, hingga tampak poni rambutnya yang berantakan dan panjang mengenai alis, lantas berlanjut meloloskan masker hitam yang ia pakai.

"Kamu? Ka--kamu Sarga?"