"Kamu pikir bisa lepas semudah itu?" Bram menggandeng Alea ke dekat ranjang. Sampai di sana, dia langsung menghempaskan raga Alea hingga jatuh di atas kasur berukuran besar.
Bram menyeluk saku, mengeluarkan sesuatu dari sana. Setelah berhasil mengambil, ia langsung menindih tubuh Alea. Perempuan itu berusaha memberontak apalagi saat Bram akan memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
"Makan ini!" Bram memegang kedua pipi Alea, lantas menekannya membuat Alea menganga. Pria itu langsung memasukkan kapsul tersebut ke dalam mulut Alea.
Alea menahan sebisa mungkin agar kapsul itu tidak ia telan, namun rasanya mustahil. Ia tidak bisa. Terlebih lagi Bram semakin menghimpit kuat tubuhnya. Sebelum ia terbatuk-batuk, Alea terpaksa menelan kapsul itu.
Air mata Perempuan itu mengalir turun. Sementara Bram mulai berdiri kembali dan menanggalkan helai benang yang ia kenakan.
Tubuh Alea mendadak terasa lemas. Kepalanya menengadah, menatap langit-langit kamar. Perlahan pandangannya menjadi kabur. Alea tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Mendadak suasana sekitar terasa panas. Sesuatu bergejolak, meminta pelampiasan.
Melihat tubuh kekar di hadapannya, Alea terpancing. Ia mendudukkan diri. Sementara Bram mulai mendekat dan duduk di sebelah Alea.
Benda-benda yang ada di sekitar mereka menjadi saksi. Alea yang masih di bawah pengaruh obat sama sekali tidak bisa melawan.
****
Venia mengerutkan kening kala mendapati mobil hitam suaminya terparkir di halaman depan rumah lantaran sebelumnya Bram tidak pernah bilang kalau akan pulang lebih awal.
Wanita itu langsung keluar dari mobil. Dia memegang handle pintu, ternyata dikunci. Tangannya beralih mengetuk beberapa kali.
Hasilnya nihil, dia sama sekali tidak mendapat jawaban dari dalam.
Venia berpindah merogoh tas, berniat mengambil kunci cadangan. Setelah berhasil mendapat, barulah dia membuka pintu tersebut.
Derap langkah terdengar kala Venia masuk ke dalam rumah. Samar-samar telinganya mendengar sesuatu. Venia menatap dengan tatapan menyelidik di sekelilingnya.
"Mas?"
"Alea?"
Panggil Venia kedua kali. Tidak ada orang yang menyahut. Dia berjalan mengecek kamar miliknya, tidak ada siapapun. Bahkan pintunya sama sekali tak dikunci.
Pandangan samar-samar kini kembali sempurna. Alea memandangi setiap sudut di sekitarnya.
Tidak ada siapapun.
Alea beringsut duduk sambil memegang kepala. Rasa pusing ini membuat ia meringis sakit. Dia meraba-raba dirinya. Seketika kedua mata cantik itu membulat sempurna.
Ternyata dirinya tidak memakai apapun. Hati Alea bergemuruh. Kedua matanya mendadak perih. Ia berlari ke kamar mandi dan menyalakan air shower. Tubuh Alea merosot ke bawah dan membiarkan semuanya basah.
Ini untuk ketiga kalinya dan mulut Alea seakan bungkam ketika hendak membuka yang sebenarnya pada sang ibu.
Alea memukuli dadanya yang terasa sesak bersamaan dengan itu isakan tangisnya terdengar. Mustahil jika ada yang mendengarnya sebab tidak ada siapapun di rumah ini. Alea berdiri, ia menyeka air matanya yang sudah bersatu dengan air shower. Tidak, dirinya tidak boleh menangis.
Satu ide mendadak terbesit di benaknya.
Mungkin dengan ini penderitaannya akan berakhir. Ya, dia yakin itu.
Setelah selesai memakai pakaian yang ia bawa, Alea keluar dari dalam kamar mandi. Dia menarik handle pintu, pandangannya perlahan lurus ke depan. Kedua bola matanya membulat sempurna kala mendapati Sarga ada di depannya.
"Kenapa Lo?" tanya Sarga dengan enteng. Ia menengok ke belakang Gadis di depannya ini, namun dirinya tidak melihat siapapun. "Ngapain nangis?" lanjutnya.
"Kamu sejak kapan di sini?" tanya Alea balik.
"Lo enggak diajarin sopan santun? Ditanya, kok, malah nanya balik."
"Apa kamu akan percaya kalau aku bilang sebenarnya?"
Mata Alea yang terlihat memerah menyedihkan itu membuat Sarga tidak kuat memandangnya sekaligus penasaran. "Bilang apa?" tanya Sarga serius.
Alea berjalan lebih dahulu melewati Laki-laki itu. Sarga yang melihatnya masih setia memperhatikan. Dugaan melayang di benaknya terlebih lagi saat melihat kondisi di sekitarnya berantakan. Tidak seperti biasanya.
"Ayah kamu tadi--"
"Sarga? Kamu sudah pulang? Ayah sedari tadi mencari mu." Mereka berdua kompak menengok ke sumber suara. Ternyata Bram lah yang berkata barusan.
"Kalian berdua sedang berbicara apa? Kok terlihat serius sekali?" Bram berjalan mendekati mereka berdua, sedangkan Alea sama sekali tidak berani menunjukkan wajahnya. Ia terus menunduk.
"Bukannya tadi pagi Lo bilang mau lembur?" tanya Sarga sambil memandang curiga sang ayah di depannya ini apalagi pakaian yang dikenakan ayahnya itu berbeda.
"Tidak." singkat Bram. "apa kamu tidak bisa berbicara sopan dengan orang yang lebih tua?"
"Sifat ayah itu menurun ke anaknya. Kayaknya lo lupa kalau lo sendiri pernah bersikap enggak sopan sama ibu gue yang lebih tua. Jadi jangan kaget kalau gue meniru sifat lo itu," jawab Sarga dengan mudahnya. Alea mendongakkan kepala, dia akui Sarga benar-benar berani. Tidak hanya pada ibunya.
"Remaja labil seperti mu tidak perlu berbicara banyak. Sekarang ikut saya ke kantor. Ada pertemuan bisnis yang harus kau hadiri."
"Sorry aja. Gue mau nongkrong sama teman." Sarga mengambil kembali jaketnya yang terletak di sofa. Ia memandang Bram dan Alea secara bergantian sebelum akhirnya berlalu dari sana.
Sampai badan Sarga tidak kelihatan lagi, atensi Bram kini teralih pada Alea. Langkahnya mendekat. Bibirnya perlahan tersenyum miring. "Saya tidak akan membiarkanmu jika kamu berani buka suara." bisiknya tepat di telinga Alea. Jarinya menyentuh pipi Perempuan di dekatnya ini, namun sayang. Tangannya malah ditampik kasar.
"Aku enggak akan selamanya diam!"
***
"Sarga? Bagaimana sekolahnya tadi?" tanya Venia sambil mendekatkan piring ke Putra angkatnya itu.
"Harus, ya, gue jawab?"
"Sarga!" Bram menggebrak meja. Venia tersentak begitu juga Alea yang ada di sebelahnya. "Kau tidak bisa sopan pada Ibumu?" lanjut Bram tidak kalah keras dari sebelumnya.
"Ibu? Gue salah dengar, kan? Ibu gue udah meninggal lima tahun lalu." Sarga menyendok makanan yang ada di hadapannya, lantas mengunyah sejenak. Menghiraukan situasi tegang di antara mereka. "asin. Kenapa Lo enggak ikut kursus masak? Mana, nih, katanya mau jadi ibu yang baik, tapi masak aja enggak bisa." Denting sendok terdengar kala Sarga meletakkannya dengan kasar. Laki-laki itu berdiri dan beranjak pergi meninggalkan mereka.
Venia mencicipi makanannya sendiri, ia rasa tidak ada yang salah. Mengapa Sarga bilang kalau makanannya terasa asin?
"Jangan dengarkan dia. Masakan mu sudah enak." sergah Bram membuat Venia berhenti berpikir keras.
Venia akhirnya mendarat duduk di hadapan Bram. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Venia menengok ke samping, ada yang aneh dengan putrinya. Sedari tadi menunduk. Bahkan dia juga melihat bekas merah tangan Putrinya.
"Ada yang membully kamu di sekolah?"
Alea menggelengkan kepala. "Enggak, Bu."
Venia meletakkan sendok di piringnya. Ia bergeser posisi untuk lebih dekat dengan Alea. Tangannya beralih memegang lengan gadis tersebut. "Ini bekas luka apa? Kalau kamu ada masalah, jangan ragu untuk mengatakannya pada Ibu. Siapa yang berbuat seperti ini?"
Alea perlahan menengok ke arah Bram. Ekor matanya mendapati Pria itu tengah menatapnya dengan tatapan mengerikan. Lidah Alea mendadak kelu untuk berkata sesungguhnya.
Tangan Venia terulur memegang pundak Alea. "Siapa?"
"Eng--enggak ada kok, Bu. Ini cuma luka biasa aja. Tadi Alea enggak sengaja ke bentur pintu,"