Reynal terkekeh dengan wajah polos Alea. Jelas-jelas Perempuan itu sama sekali tidak salah. Sarga saja yang terlalu heboh merespons pertanyaan Alea.
"Diam!"
Alea tersentak. Spontan dia merapatkan bibir. Suara lantang Sarga didengar orang-orang sekitarnya. Mereka hanya bisa melemparkan tatapan bingung sambil berbisik tidak jelas lantaran melihat wajah Sarga yang kelewat sangar.
"Enggak usah teriak bisa? Dari awal lo yang salah, bukan dia." sungut Reynal.
"Lo, ikut gue." ucap Sarga sambil menatap Alea.
Alea menunjuk dirinya sendiri. "Gue?" Oh, tidak. Sejak kapan Alea yang cantik dan berprestasi ini menjadi perempuan lambat mengerti?
"Cepet." geram Sarga.
Alea mulai berdiri. Reynal yang melihat itu langsung menahan lengan Alea. "Jangan." larangnya lembut, berbeda puluhan derajat dengan Sarga.
"Lo punya hak apa sampai melarang dia?" tatapan Sarga berubah sengit. Tangan kekarnya itu terulur, lantas melepas paksa genggaman Reynal pada tangan Alea.
"Gue temannya."
"Gue Kakaknya, jadi gue lebih berhak daripada Lo." Sarga memalingkan kepala, bersamaan dengan itu kakinya mulai melangkah. Alea terpaksa mengikuti Laki-laki menyebalkan ini.
Reynal geleng-geleng kepala menyaksikan kepergian mereka.
Sedangkan Sarga membawa Alea ke dalam mobilnya. "Masuk."
"Enggak. Aku mau pulang sendiri aja."
"Berani Lo melawan perintah gue? Lo pengin gue pukul?" ancam Sarga. Nyali Alea menciut. Ia memalingkan muka, enggan menatap wajah Sarga yang kelamaan menjadi garang. Tidak ada bedanya dengan Bram.
Alea memegang pintu mobil, lantas membuka dan masuk ke dalamnya. Dia melipat tangan di dada, bibir tipis itu terus menggerutu tidak jelas. Jangan lupakan keningnya yang membersut membuat kedua alisnya bertaut.
Sarga menyusul masuk. Laki-laki itu kemudian merogoh sesuatu, menimbulkan suara plastik yang mengganggu. Alea yang penasaran langsung melirik. Perempuan itu mengalihkan pandangan kala Sarga menatapnya.
"Makan." Sarga melemparkan plastik. Niatnya mengenai pangkuan Alea, justru malah terlempar ke kepala Perempuan itu.
"Ish! Kamu niat ngasih enggak, sih?!" tanya Alea tersulut emosi.
"Enggak. Siapa suruh Lo nggak menangkap waktu gue lempar? Enggak usah protes. Lebih baik Lo makan itu sekarang."
"Enggak mau!" Alea melemparkan wadah itu kembali ke arah Sarga. Bukan tanpa alasan, dia takut saja jika Laki-laki ini mencampurkan sesuatu dan menjebaknya untuk sekian kali. Cukup. Alea tidak bisa menerimanya lagi. Ia sudah lelah dengan semua drama ini.
Sarga berdecak. Ia diam sejenak untuk menurunkan emosinya yang bergejolak. Sial. Padahal niatnya baik, mengapa Alea malah menolaknya terang-terangan? Dia tidak habis pikir dengan tingkah Perempuan itu.
"Tadi malam itu lo sama Ayah gue?"
Alea terbelalak. Apa Sarga sudah tahu tentang hal itu? Namun bagaimana bisa? Dia berdeham beberapa kali untuk menetralkan rasa gugupnya. "Malam kapan?"
"Waktu gue panggil lo ke kelab malam dan Leon datang,"
"Oh, itu..." Alea menggantungkan kalimat. Sarga justru semakin menatap penasaran. Banyak pertanyaan yang terngiang di benaknya sebab saat itu dia tidak tahu ke mana Alea pergi setelah berhasil lepas dari Leon.
"Lo ke mana? Sama siapa?" tanya Sarga sekali lagi.
"Aku... enggak sama siapa-siapa kok,"
"Beneran?"
"Iya,"
"Maaf." Alea tergemap dengan perkataan Sarga. Ah, tidak. Ia mungkin salah dengar. Mana mungkin seorang Sarga yang selama ini ia kenal Pria sombong berkata maaf? Yang benar saja. Sulit dipercaya.
"Lo dengar perkataan gue?" sentak Sarga. Lamunan Alea terbuyar, spontan dia menggelengkan kepala.
"Gue minta maaf. Denger, kan? Makanya kalau jadi gadis itu yang bersih, jangan jorok. Bersihin, tuh, kuping." Sarga memalingkan wajah ke depan, sementara Alea masih speechless.
Hingga Sarga menjalankan mobilnya barulah Alea kembali mengalihkan pandangan ke depan. Berarti... tadi dia tidak salah dengar. Ini baru pertama kalinya Sarga meminta maaf. Ternyata Laki-laki itu sudah sadar.
***
"Gue mau nongkrong. Lo masuk aja sana ke dalam." Kaca jendela mobil ditutup oleh Sarga. Alea menghela nafas dalam. Dia membalikkan badan, kedua matanya yang cantik menatap rumah besar di hadapannya. Dia harap Sang Ibu sudah kembali dari kafe.
Kaki jenjang Alea mulai melangkah masuk ke dalam.
Sepi seperti tidak ada orang satupun. Bahkan pintu rumah ini sama sekali tidak dikunci.
"Ibu?" Suara Alea menggema di setiap sudut. Sama sekali tidak ada yang menyahut. Alea membuang nafas kasar. Ia mendudukkan diri di sofa, lalu mulai melepas kaus kaki serta sepatu disusul dengan tas yang sedari tadi sudah ia gendong.
Baru saja akan berdiri, suara mobil masuk terdengar masuk ke dalam area rumah ini. Alea berdiri, kemudian berjalan dan menyingkap tirai jendela.
Kedua mata Alea membulat. Itu... mobil Bram. Ya, dia sangat mengenalinya. Alea langsung menutup tirai kembali. Dia bergegas mendekati sofa, kemudian mengambil tas, sepatu serta kaus kakinya.
Krek!
Degup jantung Alea semakin meningkat. Tanpa berniat menengokkan kepala ke belakang untuk memastikan, Alea langsung berjalan menuju kamarnya.
"Mau ke mana, Sayang?" Suara menjijikkan itu membuat ketakutan Alea meningkat.
Bram mendekap erat Alea dari belakang. Ia mendekatkan bibirnya tepat di telinga Alea. "Ke mana, hm? Kamu mau pergi dariku? Jangan berpikir bahwa itu akan berhasil."
"Lepas!" Alea memberontak dari pelukan Bram. Namun usahanya seakan percuma. "Tolonggg!" lengking Alea. Dengan cekatan Bram langsung membekap mulut Gadis itu.
"Diam."
Alea menggigit telapak tangan Bram, berharap Pria yang usianya terpaut jauh darinya ini melepaskan, tetapi keinginannya itu sirna. Suara menjijikkan itu lolos dari mulut Alea setelah Bram memegang sesuatu yang membuatnya terlena.
"Lihat? Kau menikmatinya, kan?" Bram tersenyum miring. "ayo jalan." Bram mulai menarik langkah, Alea terpaksa ikut berjalan juga. Sampai di dalam kamar, Bram menghempaskan raga perempuan itu.
Alea kembali berdiri, ia lanjut berjalan menuju jendela dan berusaha membukanya, namun Bram datang dan menjambak Surai hitam Alea dari belakang.
Alea meringis kesakitan. Hatinya juga teriris. Tidak cukup, Bram juga membalikkan paksa tubuh Alea. "Kamu tau apa yang akan aku lakukan jika kamu menolak?" Bram membenturkan kepala Alea ke kaca jendela. Rintihan terdengar. Namun itu tidak membuat Bram iba.
"Aku mohon, lepasin aku, Om." Alea mengatupkan tangan dengan sirat memelas. "aku mohon. Mending Om bunuh aku aja daripada terus-terusan begini. Aku enggak mau."
"Kau mau lepas?"
Alea mengangguk cepat.
"Cium kakiku." kata Bram. Alea terdiam sejenak, lama kelamaan pandangannya menurun ke bawah. Dia menatap kedua kaki yang memakai sepasang sepatu hitam pekat.
Mendadak suasana di sekitar mereka hening.
Alea perlahan berjongkok. Bram tersenyum puas ketika Perempuan itu mulai mencondongkan badan, hendak mencium sepatunya.
Air mata menitik. Seumur hidup dia tidak akan pernah melupakan ini. Selesai mencium kedua sepatu itu, Alea bangkit berdiri. Senyum yang terukir di wajah Bram membuatnya heran sendiri. Dia tidak menghiraukan hal itu. Alea berjalan melewati Bram.
Tetapi...
Cekalan di tangannya membuat Alea berhenti.
"Om--"