Chereads / Belenggu Ayah Tiri / Chapter 11 - Pembantu Dadakan

Chapter 11 - Pembantu Dadakan

Sarga mendarat duduk di sofa. Dengan entengnya dia menyelonjorkan kaki di meja makan sambil memakan apel yang tergeletak di sana. "Diem. Jangan banyak bacot. Mending lo masukin semua pakaian gue ke koper. Kopernya ada di kotak lemari yang besar paling bawah."

Alea dengan terpaksa memasukkan semuanya ke dalam koper. Dia sudah biasa dilakukan seperti ini oleh Sarga tentunya di sekolah pun Sarga memperlakukan layaknya pembantu.

Setelah beberapa menit, Alea akhirnya selesai memasukkan semua pakaian milik Sarga ke dalam koper. Dia berjalan mendekati dispenser dengan membawa gelas.

"Siapa yang nyuruh lo buat minum?" Alea dibuat berhenti usai mendengar pertanyaan Sarga barusan.

"Mau minum atau enggak, itu bukan urusan kamu. Semua pakaian sudah aku masukkan semua ke dalam koper. Kamu kalau mau masuk ke mobil duluan, masuk aja sana." jelas Alea panjang lebar, berusaha menahan emosi yang memuncak.

"Lo sekarang berani, ya, melawan perintah gue." Sarga berdiri, tubuhnya kelihatan lebih tinggi dari Alea.

Nyali Alea seketika menciut. Sungguh, dia takut akan ekspresi Sarga yang seperti akan memakannya hidup-hidup. Perlahan kakinya mundur, saat itulah langkah Sarga maju, semakin mendekat ke arahnya.

Sampai...

Alea tidak bisa mundur lagi. Bagian belakang tubuhnya menabrak tembok. Dia menundukkan kepala ketika Sarga menatapnya lekat. Jelas saja, Alea tidak mau terhanyut dalam tatapan laki-laki brengsek itu.

"Lo udah jual tubuh lo ke berapa laki-laki?" pertanyaan menusuk itu membuat Alea refleks memandang Sarga hingga iris mata mereka saling bertubrukan.

"Aku bukan Perempuan seperti itu!"

Tidak menjawab, Sarga justru memegang kedua pundak Alea. Dia membalikkan tubuh Alea, lantas menuntun perempuan tersebut untuk berjalan.

"Apa sih?!"

"Apa? Lo lihat sendiri di pantulan kaca," Sarga berhenti tepat di depan kaca besar. Pandangan Alea kini mengarah ke depan. Ia memerhatikan setiap jengkal dirinya sampai pandangannya terpusat pada leher jenjangnya.

Seketika kedua mata Alea terbuka lebar. Kenapa dia baru sadar akan hal itu? Ada bekas merah di sana dan itu akibat perbuatan Ayah dari Laki-laki di belakangnya ini.

Alea langsung melepaskan ikatan rambut hingga surai hitamnya terurai, berusaha menutupinya.

"Gue kira lo polos, taunya wanita murahan." bisik Sarga menusuk. Dia melangkah mundur, menjauh dari Alea lantas mengambil koper.

Sebenarnya Alea bisa saja membalas perkataan Sarga, namun ia tak bisa. Seperti ada sesuatu yang menahan. Akhirnya dia hanya bisa diam sampai Sarga pergi dari kost-an ini.

~~~

Malam hari yang sunyi. Suara detik jarum jam memenuhi seisi ruangan itu. Alea tengah sibuk berkutat dengan setumpuk buku berisi berbagai macam tugas dari sekolahnya. Terlebih lagi dia harus belajar untuk ujian akhir nanti. Banyak hal yang harus Alea persiapkan sebelum kelulusan.

Alea bergumam, mengikuti alunan musik yang menelusuri gendang telinga. Namun baru saja ia akan menulis lagi untuk catatan selanjutnya, Alea merasakan pinggangnya di rangkum seseorang dari belakang. Spontan perempuan langsung menengokkan kepala.

"Kamu kelihatan terlalu serius." suara itu membuat bulu kuduk Alea merinding.

Alea langsung berdiri dari duduknya. Sirat matanya ketakutan. Ia berbalik badan sembari mencengkram bangku belajar. "Per--" Bram tiba-tiba membekap mulut Alea.

Kedua mata itu semakin membulat. Ia melirik ke arah pintu, ternyata pintu sudah ditutup. Alea tidak menyerah. Kaki kanannya bergerak menginjak kaki Bram yang hanya mengunakan sandal.

Bekapan itu terlepas. Bram menggeram tertahan. "Sialan."

Dengan sigap Alea berlari menuju keluar. Tangannya yang sudah gemetar itu memegang handle pintu. Belum sempat membukanya, Bram membalikkan tubuh Alea dengan kasar.

"Lepas!"

"Kamu ingat perkataanku malam kemarin, huh? Diam saja dan turuti permintaanku," Bram memegang leher jenjang Alea, bersamaan itu dia mendekatkan wajahnya. Lidah Pria yang berbeda beberapa tahun darinya itu berusaha untuk masuk ke dalam.

Air mata Alea menitik. Dia berusaha untuk lepas, namun Bram semakin menghimpitnya.

"Al? Kamu sudah tidur?"

Suara Venia. Alea semakin memberontak, takut ketahuan oleh Sang Ibu, tapi Pria berengsek ini malah semakin menggila. Alea menangis dalam diam. Air matanya mulai mengalir.

"Mas Bram? Kamu ada di mana?" Di luar kamar Alea, Venia kebingungan mencari suami serta putrinya. Padahal beberapa menit dia masih melihat sang suami di ruang kerjanya. Langkah Venia terhenti saat melihat pintu kamar Alea yang tertutup rapat.

Venia berjalan mendekat, tangannya yang terkepal itu mengetuk pintu. "Alea? Kamu lihat Ayahmu?" Dia berkali-kali menggedor portal ini, tapi tidak juga dibukakan. Justru pendengarannya menangkap suara dua orang tengah berbisik di balik pintu sana. "Alea? Kamu sedang berbicara dengan siapa? Buka pintunya sekarang. Alea? Alea, buka sekarang. Alea, kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari Ibu, kan? Siapa yang datang ke kamarmu?" cecarnya tanpa henti. Kesabarannya kian menipis.

"Al--"

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, pintu sudah terlebih dahulu dibuka oleh seseorang. Venia mundur beberapa langkah ketika melihat Alea muncul dari balik pintu sana.

"Kenapa baru membuka pintunya sekarang?" Venia kecewa. Dia juga menaruh curiga melihat kedua mata Alea yang sembab. "dengan siapa kamu berbicara di dalam? Kamu habis menangis?"

Alea menggeleng. Sudut bibirnya terangkat paksa. "Mata aku kelihatan sembab, ya? Enggak apa-apa kok, Bu. Tadi aku nonton film sedih jadi ke bawa perasaan," Alea nyengir, gigi-gigi putihnya tampak berderet.

"Ada siapa saja di dalam?" Venia menengok ke belakang Alea. Memang dia tidak melihat siapa pun di sana kecuali Putrinya sendiri, tapi tidak menutup kemungkinan Alea menyembunyikan sesuatu.

"Siapa? Enggak ada siapa-siapa kok, Bu. Lagian kalau teman aku ke sini, enggak mungkin sembunyi-sembunyi, kan? Buat apa coba?" di tengah detak jantungnya yang menggila, Alea berusaha meyakinkan sang ibu. Tatapan curiga itu terus memperhatikannya, namun selang beberapa detik Venia malah masuk ke dalam kamarnya.

Dengan cekatan, Alea langsung menahan. "Eh, Bu... kan, sudah aku bilang enggak ada siapa pun di dalam sini selain aku."

Venia menarik tangannya menjauh dari genggaman Alea. "Kenapa muka kamu terlihat panik begitu? Pasti kamu menyembunyikan sesuatu dari Ibu, kan?" tuduhnya langsung dihadiahi gelengan kepala oleh Alea.

"Bukan begitu, Bu, tapi—"

Venia berpaling, lantas melanjutkan langkah, tidak peduli dengan alasan yang akan dilontarkan Alea selanjutnya. "Awas saja kalau kamu menyembunyikan sesuatu dari Ibu." Pandangan Venia mengamati setiap sudut kamar Putrinya. Di kolong ranjang dan kamar mandi, namun usai tidak menemui siapa pun di sana, Venia berpindah menyibak tirai jendela.

Tinjauan Alea mendadak teralih pada lemari di kamarnya yang berada di dekat pintu. Bola matanya membulat mendapati Bram keluar dari sana dan berjalan mengendap-endap keluar dari kamarnya.

"Li—lihat, kan? Enggak ada apa-apa?"