Ketakutan Alea mencuat. Mereka ternyata murid yang tidak taat aturan dan urak-urakan. Kentara jelas dari sikap dan penampilan mereka. Ah, sekarang Alea hanya bisa menunggu Ketiganya memanjat pagar halaman belakang sekolah dan pergi ke kelas. Dia melirik jam yang terpasang di pergelangan tangan.
Ternyata sudah jam 08:09, artinya absensi kehadiran sudah dilakukan.
"Buruan panjat. Lama banget Lo."
"Sabar kali, Bro."
"Kenapa kita enggak bolos aja, sih? Ribet amat harus panjat pagar setinggi ini,"
"Masalahnya Bokap gue pulang dari luar kota hari ini. Enggak mungkin juga gue pulang ke rumah. Bisa-bisa pipi gue merah gara-gara ditampar."
Satu persatu ketiga murid itu mulai memanjat pagar. Alea dengan setia bersembunyi di balik tembok. Hingga semuanya hening dan tidak terdengar apa-apa lagi, Alea akhirnya memberanikan diri untuk keluar. Dia menengok ke sekitar, sebelum memanjat pagar yang lumayan tinggi ini. Beruntung dirinya memakai celana hitam selutut.
"Huh. Akhirnya," Alea menghela nafas lega.
Suara tepuk tangan terdengar, membuat Alea membelalakkan mata seketika. Tubuhnya mematung setelah tidak sengaja mendapati Sarga tengah berjongkok sambil memperhatikannya.
"Bagus. Anak teladan kesayangan guru ternyata bisa telat juga." Katanya dengan nada meledek.
Alea berniat untuk tidak menanggapi. Ia menyingkap roknya kembali, lantas melanjutkan langkah. Sarga malah berdiri. Alea mempercepat langkah ketika merasa Pria itu mengikutinya.
"Woy, tunggu. Lo enggak tau cara menghargai orang?" Sarga menjajari langkahnya dengan Alea. Sampai di sebelah Perempuan itu, dia langsung menahannya.
"Apa, sih? Lepas. Aku mau ke kelas." Alea berusaha menarik lengannya.
"Lo enggak dengar perkataan gue?"
"Ini aku udah respons. Puas? Sekarang lepasin tangan aku,"
"Mau apa? Ke kelas? Lo enggak malu dihukum di tengah lapangan nanti? Apa kata orang tentang Ibu lo? Mending sekarang lo ikut gue ke suatu tempat sekarang."
"Enggak mau!" dengan satu hempasan kuat, akhirnya Alea bisa terlepas dari genggaman Sarga. Dia berlari kencang tanpa menengok ke belakang, menelusuri koridor yang sepi. Tak ada siapapun selain dirinya.
Alea berhenti di dekat kelasnya sembari memegang kedua lutut dan mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. "Semoga jam kosong. Amin." Alea menegakkan tubuhnya kembali. Ia berjalan masuk ke dalam kelas. Nyatanya tidak sesuai harapan. Di sana sudah ada Bu Reni yang tengah mengajar fisika.
Atensi kelas langsung terarah kepadanya.
"Halo, selamat pagi, Bu."
"Alea? Mengapa kamu terlambat?"
"Semalam aku tidur terlalu larut jadi kesiangan," Alea bergerak menyalimi tangan Rena. "kelasnya baru lima belas menit dimulai, kan, Bu?"
"Iya, tapi tetap saja. Kamu tidak boleh masuk ke kelas. Sekarang berdiri di depan bendera. Jangan kembali sebelum bel istirahat berbunyi,"
***
Alea menyeka keringat yang dari tadi mengucur di pelipisnya. Cahaya matahari terasa panas sekali padahal jam baru menunjukkan pukul 08:30. Perhatian Alea berpindah pada suara murid laki-laki tengah berbincang. Pandangan Alea mengikuti ke sumber suara itu.
Gawat!
Sarga dan teman-temannya tengah berjalan kemari dengan membawa basket. Dia harap gerombolan laki-laki itu tidak mengganggu dirinya.
"Tunggu. Kita main basketnya di sini aja."
Sayang, harapan Alea tidak sesuai ekspektasi. Dia lupa bahwa Sarga ada di antara mereka. Otomatis ia akan diganggu. Argh! Harusnya aku enggak telat tadi, batin Alea, lagi-lagi merutuki dirinya sendiri.
"Yakin di sini?"
"Iya, kenapa?"
"Ya, Lo pikir aja, Bro. Di sini enggak ada ring dan juga ada Cewek yang lagi dihukum." Jelas Alden. "masa iya kita gangguin dia. Bisa-bisa kita ikut dihukum."
"Enggak akan. Kalaupun dihukum, gue bakal pecat gurunya sekarang. Lagian kenapa, sih, lo peduli segala sama tuh anak? Suka lo sama dia?" tanya Sarga dengan nada tidak suka.
Nyali Alden menciut. Jika Sarga sudah marah, habis riwayatnya di sekolah ini.
"Enggak usah kasihan sama Cewek sok polos itu, Den." Rion menepuk pundak Alden, pandangannya berpindah pada Alea.
"Kayaknya kalau kita gangguin dia seru juga," lanjut Rion.
"Gue satu server sama lo, Yon." tambah Kevin, salah satu dari mereka.
Sarga mulai memantul-mantulkan bola. Tatapannya tidak lepas dari Alea yang masih pura-pura tidak melihat mereka. "Gue akan buat dia nangis hari ini." Sarga mengangkat tangan, kemudian melambungkan bola tersebut ke sasaran.
Tawa mereka pecah kala bola yang dilempar Sarga tadi berhasil mengenai kepala Alea.
Alea mengusap-usap kepalanya, ia memejamkan mata, berusaha untuk menahan air mata sialan yang sebentar lagi akan keluar. Ada desiran perih menjalar di seluruh tubuhnya. Namun sebisa mungkin dia menahan agar tidak membalas perbuatan mereka. Percuma. Paling berakhir dirinya direndahkan.
"Kenapa diam aja, Aleasayang?" Sarga berjalan memutari tubuh Alea. "Biasanya lo selalu marah dan mencak-mencak enggak terima. Sekarang mana Alea yang gue kenal?"
"Aku enggak mau meladeni orang gila kayak kamu," ujar Alea menohok.
Emosi Sarga semakin tersulut. "Hm, gue baru dengar orang gila ngatain orang lain gila,"
"Pergi." usir Alea dengan tatapan menusuk.
Sarga balas memelototi Alea. "Punya hak apa lo ngusir gue?"
"Pu--"
Bukk!
Sebuah bola basket tiba-tiba menghantam kepala Sarga. Laki-laki dengan sorot mata berapi-api menengok ke segerombol temannya. "Siapa yang lempar bola ini?!"
Mereka semua kompak menunjuk Alden.
Sarga menarik langkah menghampiri Alden. Sementara Alea merasa lega seketika. Mungkin dirinya harus mengucapkan terimakasih pada Alden nanti!
"Kenapa lo lempar bola itu ke gue?!"
"Sorry, Bos. Tadi gue niatnya mau lempar bola ini ke Alea lagi, tapi malah salah sasaran."
"Bangsat! Kalau enggak bisa tepat sasaran, jangan pernah lempar bola."
***
"Haus, kan?"
Alea mendongakkan kepala, di depannya tampaklah wajah Alden yang tengah tersenyum ke arahnya. Alea terhenyak. Wajah Alden berhasil membuatnya mematung.
"Hm?" Dehaman Alden berhasil membuyarkan lamunan Alea.
Tangan Alea terulur, mengambil alih botol tersebut dari genggaman Alden. "Makasih,"
Alden beralih duduk di sebelah Alea. "Kenapa lo dihukum tadi?" tanyanya tanpa menatap wajah Alea.
"Telat masuk,"
"Gara-gara Sarga?"
"Enggak. Murni kesalahan aku sendiri," Alea meminum air putih dingin itu hingga tersisa setengah. "Alden,"
"Apa?" Alden menengok sekilas, sebelum akhirnya memandang ke depan kembali.
"Sekali lagi terimakasih karena udah nolongin aku tadi,"
"Enggak apa-apa. Udah jadi kewajiban gue buat nolongin orang yang gue suka."
"A--apa?"