Venia memberinya tatapan horor sebelum akhirnya pergi. Langkahnya berhenti tepat di belakang Alea. "Jangan pernah membawa seorang pun ke rumah ini tanpa sepengetahuan Ibu."
Alea menghembuskan nafas lega setelah sang Ibu sudah keluar dari kamarnya. Dia menutup pintu, kemudian merebahkan diri di ranjang berukuran besar tersebut. Kepalanya menengadah, menatap langit-langit kamar yang kosong.
Sekarang dia harus memikirkan cara bagaimana bisa keluar dari rumah ini. Jelas dia tidak mau terus-terusan disentuh seenaknya oleh Bram.
"Al,"
Alea menengokkan kepala ke samping, kedua matanya membola. "Reynal? Ngapain kamu di sini?" yang benar saja. Dia tidak menyangka Laki-laki itu ada di sini. Alea berdiri, lantas berjalan menghampiri Reynal. "bukannya kamu belum sembuh?" Ia membuka jendela hingga jarak wajahnya dengan Reynal lumayan dekat. Alea melangkah mundur sambil menundukkan kepala, tidak sanggup melihat iris mata Reynal lama-lama.
"Aku minta maaf banget enggak bisa datang tepat waktu ke pernikahan orang tua kamu." Tersirat rasa bersalah dari nada bicara Reynal. Seketika itu juga Alea mengurungkan niat untuk marah. Rasa kasihannya muncul melihat wajah Reynal yang masih terlihat lebam.
"Keadaan kamu bagaimana? Semuanya baik-baik aja, kan? Laki-laki itu mengganggu kamu lagi?" Reynal memperhatikan Alea yang masih saja terdiam. "Hm?" dia menilik wajah Alea. Tangannya memegang dagu Alea, mendongakkan kepala perempuan tersebut perlahan. "kamu enggak perlu takut bilang sebenarnya sama aku. Aku ada di pihak kamu. Wajib kamu tau, aku bukan laki-laki seperti Sarga yang suka menindas dan membuat kamu menderita, oke? Kamu percaya perkataan aku, kan?"
Alea mengangguk pelan dengan rasa ragu di hatinya.
Tangan Reynal beralih menggandeng pergelangan lengan Alea. "Sekarang waktunya kamu istirahat." Alea merebahkan diri di ranjang. Lain dengan Reynal, dia duduk di tepi ranjang dengan tangan yang masih menggenggam telapak tangan Alea.
"Kenapa kamu baik sama aku?" itulah pertanyaan di benak Alea selama ini. Dia heran saja pada Reynal yang memperlakukannya hangat. "apa ada sesuatu yang kamu mau? Contohnya uang?" Alea tidak sepolos itu. Hidup selama sembilan belas tahun membuatnya mengenal tipe orang yang mendekatinya hanya karena uang.
"Aku cuma mau kamu bahagia dan baik-baik aja. Dua hal itu udah cukup. Aku enggak perlu uang atau apa pun itu. Kamu ingat anak laki-laki gemuk dan berkulit hitam pakai seragam biru putih? Empat tahun lalu, anak Cowok itu dibully sama sekelompok anak orang kaya dan pelanggar aturan."
Alea berusaha mengingat kembali akan masa lalunya, tepatnya masa SMP. Reynal terus memperhatikannya dengan penuh harap, menunggu jawaban yang ia idamkan dari mulut Alea.
"Reno?" Alea menengok ke samping, memandang wajah Reynal. "kamu yang Reno-reno itu?" cecarnya bercampur terkejut.
Sudut bibir Reynal terangkat, membentuk lengkungan indah yang semakin menambah ketampanan bersamaan dengan kepalanya yang mengangguk. "Benar, Yang."
"Apa?" Alea terduduk. Sorot matanya tidak percaya. "kamu Reno?" dia memperhatikan Reynal dari kepala sampai kaki.
"Dulu nama aku Reno, tapi Ayah rubah nama aku menjadi Reynal,"
"Why?"
"Aku enggak tau alasan spesifiknya apa. Kemungkinan besar Ayah dinasihati Nenek. Kamu tau sendiri, kan, Nenek orangnya terpikat tradisi dan mitos-mitos zaman dulu?"
"Perasaan dulu kamu enggak punya saudara." Kenyataan itu menjanggal di hati Alea.
"Lavina, Deren, Joshua, Abi, mereka berempat adalah anak dari Ibu tiri aku dari suami sebelumnya," jawaban Reynal jelas membuat Alea semakin kaget. Dia tidak bisa membayangkan seberapa tua ibu tiri Reynal sekarang, namun sepertinya Reynal diperlakukan baik oleh Mereka, tidak seperti dirinya.
"Seperti kamu melindungi aku waktu SMP beberapa tahun lalu dari pembully, sekarang aku juga akan melindungi kamu dari Om Bram." Tegas Reynal dengan suara pelan dan masih terdengar di pendengaran Alea. "jawab jujur, tadi dia enggak berbuat sesuatu buruk ke kamu, kan?"
Alea terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia angkat suara. "Tadi..." kepalanya menengok ke arah pintu, takut orang yang namanya akan dia sebut muncul dari balik sana.
"Hm?"
"Tadi dia masuk ke kamar. Selang sekitar sepuluh menit, Ibu datang."
"Kamu masih mau bertahan di rumah ini? Aku punya apartemen. Mungkin kamu bisa tinggal sementara di sana,"
"Tapi itu enggak mudah." Alea harus memikirkan cara yang akan dia lontarkan nanti. Dia tidak tega jika disuruh membohongi Ibunya sendiri.
"Mudah. Aku akan bantu kamu buat bilang sama Tante Venia."
**
Bel sekolah berbunyi keras, menggema di setiap ruangan. Para murid berhamburan masuk ke kelas. Dalam sekejap, suasana di sekitar sekolah menjadi sepi. Sementara para guru sudah datang dan bersiap untuk mengajar di kelas masing-masing.
Tetapi tidak dengan Remaja satu ini. Alea sedari tadi merutuk dirinya sendiri karena sudah telat datang. Bukan tanpa alasan, dia berbicara banyak dengan Reynal semalam. Entah jam berapa dirinya tidur. Alea tidak begitu memperhatikan.
"Please, Pak. Buka gerbangnya sekali aja. Saya baru terlambat satu kali ini jadi beri saya kesempatan buat masuk." Mohon Alea dengan tangan mengatup.
"Enak saja. Jika saya membuka gerbangnya, saya yakin kamu akan ngelunjak. Sudah. Jangan memohon-mohon lagi. Pulang saja ke rumahmu!" tolak Pak Satpam keras. Pria berperut buncit itu bahkan berjalan menjauhi Alea yang sedari tadi mendesaknya untuk dibukakan gerbang.
Tubuh Alea melemas. Jika dia tidak masuk, siapa yang akan memberinya materi nanti? Mengingat dirinya tidak mempunyai teman satu pun. Jangan tanya alasannya apa, Alea sudah muak lantaran semua orang berteman dengannya untuk memanfaatkannya saja. Tidak jarang, ia pernah memergoki teman sekelasnya membicarakan tentang dirinya di belakang.
Kedua mata Alea tidak sengaja menangkap beberapa orang murid tengah berjalan menuju halaman belakang sekolah. Dahi Alea mengernyit heran. Tatapannya berubah menjadi penasaran. Ia akhirnya berjalan mengikuti langkah ketiga Cowok itu secara diam-diam.
"Bro, punya rokok enggak?"
"Modal dong. Jangan minta mulu sama gue,"
"Berisik lo, lebih baik kasih ke gue tiga batang. Mau wajah lo bonyok pulang nanti?"