Setelah keluar dari kamar kecil, Arthur tampak kembali menghampiri Vivian. "Bagaimana kalau kita pulang saja?" tuturnya.
Mendengar ucapan Arthur itu membuat Vivian terlihat menggeleng.
"Kalau begitu apa kamu telah menentukan pilihan?" tanya Arthur lagi, dengan mata menilik pada tas yang sedari tadi terus di pegang istrinya itu, dan terlihat jelas wanita itu sangat menyukainya.
"Aku ingin tas ini." Vivian membawa benda itu menuju kasir dan Arthur tampak mengeluarkan kartu debit yang ada di dalam dompetnya.
Tak lama kemudian mereka berdua telah keluar dari toko.
"Kemana lagi?" tanyanya sembari menyamai langkah santai sang istri.
"Aku ingin mencoba makan di restoran baru yang ada di lantai 3. Aku melihat begitu banyak review positif dari makanan-makanan enak yang ada di sana."
Pria itu terlihat menghempas napas berat. "Berjanjilah, setelah makan … kita akan pulang saja, aku sedikit lelah."
Vivian tampak tersenyum dan mengangguk, sembari telapak tangan terus menggenggam tangan suaminya itu dengan begitu erat.
Saat ini mereka telah berada di sebuah Café dan resto yang ada di mall, karena sedikit ramai Arthur memilih tempat semi privat yang ada di sudut ruangan.
Tak lama setelah itu pesanan makanan mereka akhirnya datang. Arthur menatap pada istrinya yang sangat gembira saat menyantap makanan yang ada di hadapan mereka.
Tanpa sengaja Arthur menatap pada meja yang sedikit jauh dari posisi meja mereka saat ini, matanya tampak menatap pada sepasang manusia yang duduk di sana, dengan ekspresi tak suka.
Vivian memecahkan lamunnya dengan menyentuh lengan dan bicara padanya.
"Sayang … kamu kenapa?" tatapnya heran dengan ekspresi Arthur yang sedikit aneh menurutnya itu.
"Em, iya … kenapa?" Arthur mencoba mengembalikan fokus pada orang yang ada di sebelahnya.
"Kenapa? Kan tadi aku yang nanya, kamu kenapa? kamu kenapa terus natap ke sana? Apa kamu mengenal mereka?" Vivian terlihat bingung dengan tingkah suaminya itu.
"Tidak … aku hanya sedang memikirkan sesuatu saja." Arthur tampak beralibi.
"Mikirin apa?"
"Kerjaan tadi, ada yang belum aku selesaikan."
"Hanya itu?" Raut wajah Vivian menaruh curiga. Tapi Arthur tampak mengangguk-angguk dan mencoba menghapus keraguan itu.
"Nggak mau makan?" tanya wanita itu lagi dengan menyuapi sesendok makanan manis pada Arthur.
Dengan senyuman laki-laki itu meraih makanan itu dengan mulutnya. Dia mengunyah tapi matanya terus saja menatap pada dua orang yang ada di meja tadi.
Arthur secara diam-diam ternyata memotret pasangan itu. Kemudian mengirimi Alvin pesan singkat.
'Apa ini? kenapa nggak bilang kalau mereka ada di resto yang sama denganku?'
Alvin hanya membalas, 'aku baru saja ingin mengabarimu.'
'Cepat datang temui aku di mejaku dan bawa Vivian pulang.'
Setelah membaca pesan singkat yang di kirim Arthur, Alvin tampak menemuinya.
Kemudian Arthur tampak berkedip dan memberi isyarat mata. "Kenapa Alvin?"
"Aku ingin mengatakan padamu kalau ada pekerjaan penting yang harus kamu kerjakan di kantormu sekarang juga."
"Apa benar-benar penting? Tidak bisa di tunda?"
"Tidak," ucapan dan raut wajah Alvin terlihat begitu meyakinkan.
Pria itu menatap pada Vivian, seolah menampilkan raut penyesalan. "Aku harus lembur dan kembali ke kantor, kamu pulang duluan dengan Alvin ya," pinta Arthur terdengar lembut.
Dengan cemberut Vivian hanya mengangguk.
Arthur bangkit dan pura-pura pergi dari sana, sebelum pergi ia tampak menepuk pelan pundak Alvin. "Alvin tolong antar Vivian pulang ya," ucapnya sebelum pergi.
Tak lama Vivian juga tampak pergi dari café, setelah memastikan Vivian telah pergi dan tak kembali lagi, Arthur kembali ke tempat makan itu, tapi kedua pasangan yang sedari tadi ia pantau ini, telah pergi meninggalkan mejanya.
"Sial … aku hampir saja bisa menghampiri mereka."
Arthur keluar dari mall dan masuk ke mobilnya, tak lama Alvin tampak tiba dan mengetuk kaca mobil yang masih terparkir di tempatnya itu.
Pria ini langsung saja masuk dan duduk di kursi kemudi.
"Gimana? Vivian udah sampai rumah dengan aman?" tanya Arthur pada Alvin yang sudah siap dan berada di depan kemudi.
"Iya …."
"Apa dia sedih?"
Alvin lantas menatap ke bangku belakang. "Entahlah, tapi wajahnya agak murung saat di mobil. Sepertinya dia masih mau menghabiskan waktu bersamamu."
"Sudahlah, kita jangan bahas Vivian lagi, sekarang buka Handphone kamu." Telapak tangan Arthur tampak mengacung padanya.
"Untuk apa?" tanya Alvin penasaran. Sembari tangannya meraih telepon genggam yang ada di dalam saku.
Dengan handphone Alvin, Arthur tampak menelpon seseorang, yang ternyata Siska.
"Halo Boss, kenapa malem-malem nelepon aku?" tanya Siska dengan aksen kewanita-wanitaannya.
"Dimana Eveline?" mendengar pertanyaan Arthur pada telepon, Alvin tampak mengerti.
"Kenapa? Mau makek malam ini kah?"
"Minta Eveline datang menemuiku sekarang, sebentar lagi orangku akan jemput dia lagi."
"Nggak bisa beb, Eveline belum pulang."
Sebelah alis Arthur tampak terangkat. "Kemana dia?"
"Tadi jalan sama temennya Nia, katanya mau main sama pilih-pilih baju di mall."
Arthur tampak mengangguk-angguk dari balik telepon. "Bukan sedang sama pria lain kan?"
"Nggak sih."
"Kalau begitu suruh dia pulang dan temui aku, jangan lama … karena aku tidak suka menunggu." Arthur memutuskan sambungan telepon dan mengembalikan telepon genggam itu kepada pemiliknya.
"Antar aku ke tempat biasa!" perintahnya.
Alvin seolah langsung tau kemana tempat yang Arthur maksud.
***
Arthur telah berada di kamar hotelnya dan ia telah menunggu cukup lama, hingga akhirnya saat waktu tengah malam dan hari hampir pagi, seorang wanita datang menemuinya dengan mata yang terlihat sembab dan pipi yang basah.
***
Arthur duduk di teras kamar hotel, di salah satu kamar yang khusus miliknya, ruangan yang ada tepat di lantai gedung paling atas. Tempatnya paling lama untuk menghabiskan waktu setelah kantor dan rumah.
Sebagai pemilik hotel, ia sengaja membangun sebuah kamar khusus untuk dia pribadi tinggali di lantai paling atas.
Dia duduk dengan santai sembari menatap suasana kota yang terlihat sepi pada dini hari. Ia terlihat menikmati segelas anggur dengan botolnya ada di atas meja.
Saat sedang fokus menatap langit terdengar langkah kaki yang begitu pelan menghampirinya.
Wanita itu tiba-tiba duduk bersimpuh di dekat kursi santainya itu. "Tolong … bantu aku." Wanita ini tampak sesegukan.
Arthur terlihat heran, ia menyentuh kedua lengan atas wanita itu dan membantunya untuk bangkit. "Kenapa?" tanyanya sembari menyeka air mata wanita yang sekarang telah berdiri sembari menunduk di hadapannya.
"Apa terjadi sesuatu? Kenapa kamu menemuiku berantakan seperti ini? Tidak seperti biasanya. Dan ku tidak memintamu datang dengan keadaan seperti ini."
Wanita itu lantas memeluknya. "Tolong sekali ini saja, bantu aku … jika kamu membantuku, aku tidak akan pernah melupakan jasamu seumur hidupku," pintanya dengan begitu lirih.
"Baiklah … apa yang harus aku lakukan?" ucapnya sembari tetap berdiri kaku.
"Tolong katakan padanya, aku akan bersamamu dalam waktu yang lama, setidaknya seminggu atau 3 hari saja." Air mata wanita itu mengalir dan membasahi dadanya.
Arthur tampak heran dan ia benar-benar bingung.
"Tolong jangan tanya alasannya, aku mohon katakan saja begitu padanya," lanjutnya lagi pada Arthur yang masih diam karena bingung.
Laki-laki itu kemudian melingkarkan tangannya di punggung dan membalas pelukannya.
Arthur mencium ceruk leher wanita itu sekilas. "Baiklah … akan aku lakukan." Pria itu kemudian melepaskan pelukan dan menghubungi Alvin untuk menemui mereka serta mengurus semuanya.