Evano membuyarkan lamunan wanita ini dan lantas memanggil lembut namanya.
"Xa … kamu kenapa? Kamu melamun lagi loh!" Raut wajah laki-laki ini sangat penasaran, karena sedari tadi terus memperhatikan Eveline yang begitu banyak diam dan terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Wanita itu hanya tersenyum sembari menyadarkan diri dari lamunan yang baru saja buyar.
"Kayaknya kamu hari ini capek deh Xa, kamu benar-benar kayak orang yang nggak ada semangat sama sekali, kamu mau aku antarin pulang aja?" tawarnya pada Eve tapi perempuan ini kembali menggeleng.
"Xa …," panggilnya lagi.
"Iya …," jawabnya lirih dengan mata mencoba kembali fokus menilik pada pria yang ada di hadapannya itu.
"Sejujurnya ada yang ingin aku sampein ke kamu … tapi nggak di sini," ucapnya membuat Eve memusatkan perhatian secara penuh.
"Apa?" tanya Eveline dengan kedua alis sedikit terangkat.
Pria ini lantas berdiri dan meraih telapak tangan Eveline dan menggandengnya.
"Kita mau kemana?" tanyanya lagi, sembari langkah kecilnya mengikuti pria yang sedang membawanya ke suatu tempat.
"Kita ke mobil aku dulu."
Evano menarik lengan Eve menuju ke tempat parkiran. Mereka sudah ada di lahan parkir di dekat sebuah mobil mewah berwarna putih.
Laki-laki ini terlihat membuka pintu mobil yang ada di samping kemudi, tanpa bertanya lagi Eveline lantas mengikuti apa yang laki-laki ini lakukan, ia masuk tanpa banyak bertanya.
Mereka sudah ada di dalam mobil dan Evano juga telah duduk di balik kemudi, ia terlihat terdiam beberapa saat hingga dia menemukan keyakinan untuk mulai bicara.
Kepalanya sedikit merunduk, seolah belum sanggup menatap wajah wanita yang ada di sampingnya itu. "Sebenernya hal ini udah aku pikirin dari dulu, tapi baru sekarang aku berani untuk ngungkapin semuanya secara langsung. Maafin aku … Sejujurnya tujuan aku hari ini ke Jakarta bukan karena beneran ada kerjaan, tapi … aku bohong sama kamu."
Pria itu mengambil sesuatu di dalam kantongnya, kemudian menghadap pada wanita yang ada di sampingnya itu, ia menatap begitu dalam, sembari membuka kotak cincin berwarna merah yang ada di genggaman,
"Xa … Mau kah kamu menikah denganku."
Mata Eveline membulat, wanita ini tidak menyangka kehadiran Evano di hadapannya saat ini ternyata untuk melamarnya.
"Ka … kamu, Serius?" Eveline terbata, sangking tak percaya, kalau laki-laki itu akan melakukan hal seperti ini.
"Aku nggak pernah main-main sama keputusan aku, kamu tau sendiri kan gimana sifat aku!"
Eveline hanya terdiam dan mengangguk kecil. Evano menyentuh punggung tangannya yang terasa mendingin karena sangking gugupnya.
"Menurut aku hubungan kita juga udah berjalan terlalu lama dan tanpa tujuan yang jelas, aku rasa udah saatnya kalau kita berdua mikirin masa depan. Aku nggak kuat kalau harus di gantung terus kayak gini, terlebih LDR kayak gini bikin aku takut dan cemas. Aku takut kalau suatu saat, hati kamu tiba-tiba berubah sama aku."
Eveline tertunduk, air matanya jatuh. Ia terlihat mengambil napas panjang sebelum kembali menatap pada pria yang ada di dekatnya.
Eve tampak ragu, tanpa di duga tangannya dengan pelan mendorong kota cincin itu ke depan dada Evano secara lembut. Ia juga terlihat menggeleng.
"Aku nggak bisa," ucapnya singkat, sebelum akhirnya ia keluar dari mobil dan berdiri lama di luar sana.
Dengan tak percaya, hati Evano di patahkan dengan penolakan. Ia bergeming sesaat sebelum memutuskan untuk keluar dari mobilnya dan berlari mendekati Alexa. Ia berdiri lama di hadapan wanita itu tanpa bicara.
Suasana begitu hening hingga laki-laki ini kembali bicara.
"Xa …." Tangannya meraih jari-jemari wanita yang terlihat sedang menahan tangisnya itu.
"Aku mohon Xa, pikirin ini lagi …."
"Tapi …." Eveline terlihat meneteskan air matanya lalu memeluk erat orang yang ada di hadapannya. "Maafkan aku Van, aku mohon maafkan aku."
Laki-laki itu melepas lembut pelukan itu. Tiba-tiba kakinya menekuk dengan sebelah lutut menyentuh tanah. Laki-laki ini kembali membuka kotak cincinnya.
Dia meraih cincin itu, dengan terlihat begitu tulus ia kembali memohon pada wanita yang ada di hadapannya.
"Ya Tuhan … aku harus apa? jujur hati kecil aku nggak mau nolak lamaran pria yang baik dan sangat aku cintai ini, tapi aku takut jika dia tau semua hal yang terjadi padaku selama di Jakarta, dia akan kecewa, dan aku akan menghancurkan hati Evano jauh lebih hancur dari penolakan ini," ia membatin dalam hati.
Eveline menyeka air matanya, lalu ia menarik lengan pria itu, dan memintanya untuk kembali berdiri. Tapi Evano menggeleng dan tetap kokoh pada posisinya.
"Aku nggak akan bangun sebelum kamu menerima cincin ini …."
"Aku mohon Van … jangan begini, aku nggak bisa."
Pria itu bangkit dengan kecewa. Tidak di sangka ia juga meneteskan air mata. "Kenapa Xa? Apa alasan kamu nolak aku? Kenapa kamu berubah … bukannya dulu kamu pernah bilang kalau kamu punya impian untuk mempunyai keluarga kecil yang bahagia sama aku, dan aku sekarang sedang berusaha menghujudkan impian itu, aku janji sama kamu, aku akan selalu neglindungin kamu. Lalu apa lagi yang membuat kamu begitu ragu sama aku?"
Wanita itu menangis sesegukan, ia tidak bisa mengungkapkan alasan sebenarnya kenapa menolak pria baik yang sedang berdiri dan meminangnya itu secara langsung.
"Kalo kamu cuma nangis dan nolak aku tanpa alasan kayak gini, aku merasa sakit Xa, kamu buat aku bingung, apa hubungan kita dalam beberapa tahun ini nggak punya arti sama sekali untuk kamu? Apa sekarang hati kamu udah berubah? Tolong jelasin semuanya sama aku, aku nggak akan marah dan akan menerima penolakan ini dengan besar hati jika alasan kamu memang tepat."
Eveline menyeka air matanya, lalu menarik napas dalam untuk memberikan jawaban.
"Karena kita berbeda, kamu udah kenal aku, kamu juga udah tau latar belakang keluarga aku gimana … aku yakin orang tua kamu nggak akan suka sama aku, aku juga yakin mereka tidak akan setuju." Eveline bicara dengan ragu.
Ia melanjutkan jawabannya di dalam hati, dan berharap pria itu mengerti tanpa harus mulutnya mengungkapkan kejujuran yang sebenarnya terjadi. "Terlebih status aku sekarang, sebagai wanita malam. Aku bukan wanita baik-baik lagi, aku juga sudah tidak punya harga diri dan kehormatan yang bisa aku banggakan padamu.
Wanita miskin ini hidup kotor dalam genangan dosa, tidak pantas untuk hidup layak dengan seorang pria baik dengan penuh kesempurnaan seperti kamu, percayalah hidup tanpa aku pun kamu akan bahagia dan melepaskan aku sekarang akan melindungi kamu dari rasa kecewa." Semua kata-kata itu tertahan dalam hati.
"Jika ini cuma karena status, siapa yang peduli Xa, mau kamu gelandangan sekali pun kalau aku cinta sama kamu siapa yang bisa merubah kenyataan itu, masalah orang tua aku … aku akan bawa kamu ke hadapan mereka, dan membuat mereka menerima kamu … dan aku yakin mereka juga akan mengerti. Tolong jangan sangkut pautkan cinta kita dengan status Xa, karena semua orang sama di mata Tuhan, mau kaya atau nggak itu bukan alasan untuk berhenti dari hubungan ini." Ia kembali meraih kedua telapak tangan wanita ini.
"Aku mohon Xa … terima aku, aku janji sama kamu … aku akan jadi orang yang selalu ada di sisi kamu."
Eveline terlihat kembali bergelut dengan logika dan hatinya, antara pikiran dan perasaan benar-benar tidak sama.
Pikirannya memohon untuk menerima pinangan pria yang ada di hadapannya itu, tapi hati kecilnya terbebani dengan rasa berdosa.
Dia benar-benar takut jika laki-laki itu, tiba-tiba tahu segala hal yang sudah susah payah ia sembunyikan.