Chereads / Contract As An (EVE) Butterfly (Versi Indonesia) / Chapter 22 - Part 22 : Terbang ke Surabaya

Chapter 22 - Part 22 : Terbang ke Surabaya

Sudah menjelang fajar, Eve terbangun di sisi pria yang sudah ia layani semalaman.

Dia terduduk di atas ranjang sembari memegangi keningnya, kepalanya terasa sedikit pusing karena semalam banyak meneteskan air mata.

Setelah memastikan orang di sampingnya masih pulas dan belum sedikit pun terjaga, dengan pelan ia bangkit kemudian berjalan menuju meja sofa, lalu meraih pakaian yang ada di paper bag dan menggunakannya, seperti dugaan pakaian itu benar-benar pas dengan ukuran tubuhnya.

Setelah berpakaian ia terlihat mencari sesuatu di lemari yang ada di ruangan itu, karena semalam ia lupa membawa telepon genggam, yang ia simpan di tas tangan dan tertinggal di lemari hiasnya.

Wanita itu telah menemukan pena dan kertas yang ia butuhkan, dia terlihat menulis sebuah pesan di sana lalu menaruhnya di atas meja.

"Selanjutnya aku harus pulang dan mengambil barang-barangku di rumah Siska, harusnya tidak akan ada masalah karena Arthur sudah mengurusnya, bukan?" dia bicara dan menyakinkan dirinya sendiri walau pun di dalam hati sedikit tercampur ragu. Sembari sekilas menilik pada pria yang terlihat begitu pulas di atas ranjang.

Wanita itu keluar dari hotel dengan menggunakan taksi, setelah sampai di rumah ia terlihat meminta taksi itu menunggunya hingga keluar dari sana.

"Sesuai sama tempat yang tadi saya bilang ya pak, tapi bapak tunggu di sini dulu! Nanti saya balik lagi. Soalnya barang saya ada yang ketinggalan di dalem, Argonya nggak usah di matiin nggak apa-apa, soalnya saya nggak lama."

Eve turun dari taksi lalu terlihat sedikit mengendap-endap masuk ke gerbang dan terlihat bicara setengah berbisik dengan 2 orang satpam yang sedang berjaga, agar mereka membuka kunci gerbang dan pintu rumah.

Dengan perasaan gugup dia masuk ke kamarnya dan merapikan dengan cepat pakaian serta barang-barang penting yang sempat tertinggal.

Beruntungnya pada jam 5 pagi semua orang di rumah itu masih tertidur dan dia bisa dengan bebas keluar masuk tanpa ada orang yang menyapanya.

Dengan tas tangan dan tas jijing, ia pergi meninggalkan rumah itu. Berharap kepergiannya kali ini bisa menjadi awal kebebasannya. Padahal jika ketahuan nasibnya mungkin akan lebih buruk dari ini.

Dia sudah kembali masuk ke taksi dan perjalan di lanjutkan, setelah kembali membuka dan menghidupkan handphone yang sejak semalam mati, ia baru tau kalau Evano sudah mengirimkan beberapa pesan padanya.

'Besok aku tunggu di bandara ya Xa," pesan itu dikirim semalam, tapi ia baru membukanya pagi ini.

'Jangan lupa, aku tunggu.' Pesan baru kembali terbaca.

Eveline langsung mengetik dan membalas pesan itu. 'Sekarang aku udah di jalan, dan sebentar lagi udah di bandara.'

Rupanya laki-laki itu sudah bangun dan juga langsung membalas pesannya.

"Kalau begitu, tunggu aku sebentar! Bentar lagi aku juga ke sana."

***

Eve terlihat telah duduk di kursi yang ada di area tunggu bandara, menunggu Evano untuk masuk dan memesan tiket bersama.

Wanita itu seketika tampak bangkit, dan di wajahnya tercermin senyuman saat melihat orang yang sedari tadi ia tunggu juga sudah tiba di sana.

Mereka lantas berpelukan sekilas lalu bergandengan menuju loket, tapi sayangnya penerbangan menuju Surabaya saat itu sedang ada keterlambatan dan penerbangan baru akan di laksanakan jam 14:00 siang.

"Gimana ini?" Wajah wanita itu terlihat cemas.

"Kamu udah makan?" tanya Evano pada Eveline yang hanya menggeleng.

"Kalo gitu kita bisa pergi cari makan dulu, nanti kita bisa balik lagi, penerbangan juga masih lama."

"Tapi …." Wanita itu cemas karena takut ada yang akan memergoki dan menghentikannya pulang ke Surabaya, terlebih dia sudah yakin kalau Arthur juga telah membaca isi suratnya.

Dia sangat takut jika Arthur mengungkapkan semua fakta pada Siska, kalau dia sedang tidak bersamanya dan malah kabur meninggalkannya pagi-pagi buta, sudah pasti Rony akan mencari dan menemukannya hanya untuk menyiksanya lagi.

Pikiran-pikiran buruk dan mengerikan itu selalu hinggap di kepalanya, membuat wanita ini merasa waktu seakan melambat. Tapi di satu sisi dia juga merasa aman karena sudah berada di sisi Evano walau pun belum pasti laki-laki ini akan membelanya jika tau tentang semua hal yang telah dia lakukan di Jakarta.

Sembari pergi mencari tempat makan, selama perjalanan wajah Eveline tampak gelisah dan itu juga terbaca oleh Evano yang sedari tadi selalu bersamanya.

"Kamu kenapa? Apa ada sesuatu?"

Eveline hanya terlihat menggeleng.

"Tapi sedari tadi kamu kayak orang bingung. Apa ada sesuatu yang buat kamu cemas?" tatapnya sembari menggenggam punggung tangan wanita yang duduk di sampingnya itu.

Eve yang sedari tadi menatap pada jalanan dari jendela taksi kini menilik dan mencoba fokus pada pria yang saat ini sedang bersamanya itu. "Nggak kok, aku cuma gugup aja, udah lama nggak pulang ke Surabaya." Tarikan napasnya seakan penuh dengan gugup dan kecemasan.

Evano menempelkan kepala wanita itu di dadanya dan menepuk-nepuk kecil bahunya. "Jangan cemas ya, ada aku kok." Ia kembali menyakinkan.

"Tapi … pertama kita ke mana?" tanya Eveline sembari mendongak padanya.

"kita mungkin ke rumah kamu dulu, lalu aku nganter kamu pulang dan kita istirahat, setelah itu besoknya baru kita ke rumah aku."

"Tapi …." Wajah wanita itu kembali terlihat ragu, karena mengingat kondisi rumah dan takut jika dia sudah tidak di terima lagi di sana.

"Nggak usah takut … ada aku kok." Evano kembali menyakinkan, dan kembali mengusap-usap bahu wanita itu.

Mereka sudah ada di sebuah restoran yang tidak terlalu jauh di bandara.

Mengisi tenaga sebelum mereka harus pergi kembali lagi ke bandara dan menunggu jadwal penerbangan.

Saat makan mereka begitu banyak mengobrol, tapi selama obrolan itu berlangsung pun Eve masih terlihat banyak melamun dan tidak fokus pada lawan bicaranya.

"Gimana kalau kita nikah bulan depan?" ucap pria itu dengan santai di iringi senyuman.

Sementara Eveline yang mendengarnya tampak terperangah dan semua lamunannya buyar seketika. "Ha?" tanyanya seperti tak percaya dan meminta laki-laki ini mengulangi sekali lagi ucapannya.

"Gimana kalau bulan depan kita pemberkatan dulu? Setelah itu baru kita urus semua surat-suratnya."

Eveline terlihat bingung saat ingin memberikan respon apa pada laki-laki ini.

"A … apa kamu yakin?"

"Yakin lah! Kenapa aku nggak yakin,"

"Tapi apa nggak kecepetan? Dan kenapa kita nggak ngurus surat-surat dulu sebelum pemberkatan."

Evano terlihat menggeleng kemudian menjawab singkat. "Karena aku takut, akan ada penghalang saat kita mengulur-ulur waktu."

Wanita itu tertunduk diam. Telapak tangan pria itu meraih punggung tangannya lalu menjelaskan semua isi hatinya.

"Apa kamu lupa udah seberapa lama kita ngejalanin hubungan ini?" tanyanya membuat Eve menggeleng.

"Bayangin aja kita udah kenal dari SMA dan itu menurut aku udah cukup panjang Xa, dan kita juga nggak akan selalu muda.

Ok … kalau beberapa tahun lalu kamu nolak aku karena aku memang harus kuliah dan nyelesaiin permintaan kedua orang tua aku untuk meraih S2, dan sekarang aku udah mencapai semua itu, dan juga udah punya kerjaan yang menurut aku udah cukup mapan untuk membiayai hidup kita.

Lalu apa lagi yang buat kita nunggu, apa mesti nunggu lagi sampe ada perempuan lain yang orang tua aku jodohin untuk aku."

Alexa terdiam, ia berusaha mencerna isyarat yang sedang pria itu sampaikan.

"Jangan bilang kalau kamu pergi ke jakarta … nemuin aku, karena kamu di jodohin?" wanita ini berusaha menarik tangannya dari genggaman, tapi pria itu menahannya dengan erat.

"Enggak kok, itu hanya andai saja … belum terjadi. Udah lah bahas ini, lanjut aja makannya, bentar lagi kita harus ke bandara, atau mau istirahat dulu di suatu tempat?" tanyanya mengubah topik pembicaraan.

Eve menggeleng. "Kita nunggu di bandara aja, aku merasa cukup nyaman kalo di sana."

"Ok …." Pria ini mengangguk dan mengiyakan.

Mereka melanjutkan makan mereka dan menghabiskan waktu hingga pukul 11 siang, beberapa waktu kemudian mereka sudah kembali ke bandara untuk menunggu waktu keberangkatan mereka.