Chereads / Contract As An (EVE) Butterfly (Versi Indonesia) / Chapter 19 - Part 19 : Pria yang Sulit di Tebak

Chapter 19 - Part 19 : Pria yang Sulit di Tebak

Arthur meraih kedua lengan atas Eve dan membantunya untuk bangkit.

Dia juga menyeka air mata wanita itu, ia menuntun Eveline untuk masuk dan duduk di sofa yang ada di dalam kamarnya.

Pria itu melihat Eve begitu dalam, matanya menelisik dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Wanita itu memiliki luka lebam dan bekas merah di lengan serta pergelangan tangan, pipinya juga terdapat bekas tamparan.

"Apa yang terjadi dengannya? Siapa yang tega melakukan ini?" begitu banyak tanda tanya yang muncul di otaknya, tapi ia tidak ingin menanyakannya secara langsung, karena ingin menjaga perasaan wanita itu, agar Eveline bisa tenang dan melupakan masalahnya sejenak.

Arthur menatap lagi pada kaki wanita itu, yang tampak tidak menggunakan sandal atau pun highheels seperti biasanya.

"Kemana sepatumu?" tanya Arthur dengan wajah penasaran.

Wanita yang masih menunduk itu hanya terlihat menggeleng, ia masih sesegukan.

Arthur mengambil napas dalam, setelah itu meraih kepala wanita itu dan menempelkannya di dada, dia memeluknya.

"Jangan cemas, mulai sekarang aku akan selalu membantumu. Katakan siapa pelakunya! Maka aku akan menghabisinya untukmu. Tidak akan ada orang yang akan berani menyiksamu lagi."

Wanita itu melepaskan pelukan Arthur, ia menyeka air matanya, tanpa di duga wanita itu lantas memberikannya sebuah ciuman yang membabi buta.

Bibir yang tiba-tiba menempel di bibirnya itu, membuat laki-laki ini sontak sedikit merebahkan tubuhnya di sofa. Meskipun dalam kebingungan tapi laki-laki itu juga menikmatinya.

Setelah mereka kehilangan napas, mereka menghetikan semua aktivitas mereka, Arthur yang bingung tampak memijat kedua ujung bibir yang terasa keram.

"Ada apa dengan wanita ini? Apa dia sedang melampiaskan emosinya? Aku hampir saja kehilangan kewarasanku karena ini," batinnya, sembari matanya terus menatap pada wanita yang duduk termenung di sebelahnya itu.

"Kamu kenapa? Ceritakan padaku! Aku benar-benar penasaran dan ingin tau." Arthur tampaknya tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya.

"Bukankah kamu ingin meniduri aku malam ini? Lakukan lah apa pun yang kamu mau dengan tubuhku."

Dahinya tampak mengerut, pria itu benar-benar terkejut dengan apa yang wanita itu katakan.

"Maksudmu?" tanyanya lagi.

Eveline menutup matanya beberapa saat, setelah itu ada buliran yang kembali mengalir dan membasahi pipinya.

"Aku tidak punya apa pun yang bisa aku suguhkan padamu, jika dengan melayanimu aku bisa bebas dari siksaan ini, maka aku akan melayanimu hingga kamu merasa puas."

"Hey … apa aku terlihat seperti laki-laki yang sangat kejam seperti itu? Apa di matamu aku bukan manusia, aku tidak tega memaksamu untuk melakukan hal itu di situasi seperti ini." Sesaat Arthur terlihat ingin marah, tapi ia tidak bisa marah melihat kondisi wanita yang ada di sampingnya itu.

Laki-laki ini membetulkan posisi duduknya, ia menghadap pada wanita itu. Tangannya meraih kedua telapak tangan Eve dengan lembut.

"Eve … aku bukan monster," Arthur tersenyum getir sebelum melanjutkan ucapannya.

"Bersihkan dirimu dan ganti pakaianmu, agar kamu bisa beristirahat dengan nyaman, aku mungkin akan tidur di sampingmu, tapi untuk malam ini aku tidak akan memaksamu untuk melayani nafsuku."

Eveline menatap dalam pada laki-laki itu. pria itu terlihat menyentuh pipinya dan kembali menyeka air matanya.

Eve yang merasa tersentuh itu, terlihat hampir menangis, dan ia memeluknya dengan erat, Arthur membalasnya, ia mengusap dan menepuk-nepuk kecil punggung wanita itu.

"Menangislah sepuasnya, hingga hatimu merasa lega … tapi setelah itu kembali lah ceria seperti biasa." Nada suara Arthur terdengar merendah, pria itu terdiam seolah mengingat sesuatu.

Dia sekilas mengingat wajah Vivian yang sering menangis. "Kenapa aku mengingat Vivian, rasanya aku mulai merasa bersalah. Perasaan macam apa ini, bagaimana bisa aku mengingat Vivian hanya karena melihat Eveline yang menangis." Pria ini melamun hingga Eve melepaskan pelukannya.

Arthur tampak bangkit, tiba-tiba dia berdiri dan berucap, "tunggu sebentar, aku akan mencarikan pakaian yang bisa kamu gunakan."

Pria itu terlihat berjalan menuju ruang gantinya, ternyata wanita itu juga ikut berjalan mengekorinya.

Laki-laki ini sibuk mencari sesuatu. "Rasanya ada gaun di sini?" Arthur bicara di dalam hati sembari memilah-milah isi lemari, dan mengingat-ingat sesuatu.

"Aku lupa, aku sudah membuang baju-baju wanita-wanita itu dari sini, kenapa aku bisa lupa," batinnya, saat mengingat pernah menyimpan lalu membuang pakaian mantan wanitanya yang pernah ia ajak ke sana, namun wanita-wanita itu bukan Vivian, bahkan wanita terhormat itu tidak pernah tahu jika suaminya sudah menempati sebuah kamar yang ada di hotelnya sendiri, walau pun ia tahu suaminya memiliki dan mengelola tempat itu.

Arthur sibuk mengacak-acak, akhirnya mendapatkan sebuah kemeja baru miliknya, sebuah kemeja berwarna putih yang selalu tersedia di lemari.

Dia menghadap pada Eveline, dan mengacungkan kemeja itu padanya. "Gunakan ini! Setelah kamu membersihkan diri! Sementara pakaian kotormu akan kita kirim ke penatu."

Dengan wajah sayu dan tidak banyak bicara wanita itu meraihnya.

"Terimakasih." Kata itu terdengar lirih ketika keluar dari mulutnya.

Arthur hanya tersenyum tipis dan ada anggukan kecil di sana.

Arthur sudah duduk di sofa, terlihat memainkan telepon pintarnya, sembari menunggu wanita itu selesai untuk membersihkan diri.

Dia kemudian terlihat tengah menelpon seseorang dengan telepon hotel. "Tolong ambil pakaian kotor di kamarku, dan bawakan semua pesananku segera."

Rupanya laki-laki itu baru saja meminta salah satu orangnya untuk berbelanja sesuatu, dan ia juga meminta pelayan hotel untuk menjemput pakaian kotor milik Eveline.

Arthur menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, ia juga memejamkan matanya. Tiba-tiba dering telepon terdengar dan memecahkan lamunnya.

Pria ini terlihat seperti enggan untuk menilik dan mencari tahu siapa yang meneleponnya, hingga beberapa saat ia mengangkat benda persegi itu hingga layar yang menyala tepat berada di depan dadanya.

Dia kembali menghela napas panjang. "Vivian …." Bukannya mengangkat, ia malah mematikan total teleponnya.

Ia kembali memejamkan mata dan memijat-mijat keningnya, tapi rasa bersalahnya sejenak hadir kembali. Tanpa bisa diprediksi laki-laki ini menghidupkan kembali telepon genggamnya kemudian terlihat mengirimkan sebuah pesan pada Vivian.

'Jangan menungguku, tidurlah lebih dulu, aku akan menginap di kantor karena harus mengerjakan sesuatu.'

Tanpa dia tahu, wanita yang menerima pesannya sedang meringkuk sendirian di atas tempat tidur. Wanita itu tengah menatap pada foto pernikahannya dengan suaminya Arthur yang di ambil beberapa tahun lalu.

Wanita ini bahagia, tapi sekilas ia merasa sedih karena beberapa hal sepele yang membuat hati kecilnya curiga, tapi ia selalu berpura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dia selalu menepis perasaan negative, yang bisa saja menghancurkan biduk rumah tangga yang sudah susah payah ia pertahankan.

Jika wanita itu bukan Vivian, maka akan lain ceritanya.

Vivian adalah wanita yang tangguh, karena dia mampu bertahan pada pria yang begitu dingin dan terkadang terlihat seperti tidak terlalu peduli sama sekali pada pernikahan mereka itu. Namun kadang pria itu juga bisa menjelma menjadi laki-laki yang sangat baik dan menjadi orang yang paling romantis yang pernah ada.