Setelah membaca surat yang di tinggalkan oleh wanita itu, Arthur yang sedikit kesal dan bercampur penasaran lantas membersihkan diri dan terlihat berpakaian rapi.
Setelah selesai dengan setelannya, ia kemudian memanggil Alvin untuk segera menemuinya.
Beberapa saat kemudian, pria yang sedikit lebih muda darinya serta berkaca mata itu terlihat memberikan hormat kemudian menyapa pada Arthur yang sedang merapikan dasi di depan cermin.
"Selamat pagi, Apa kamu membutuhkan sesuatu?" sapa dan tanyanya masih terdengar kaku, walau pun Arthur sudah sering memintanya untuk bicara santai, seperti seorang teman biasa dengannya.
"Kemana Eveline pergi?" tanya Arthur tanpa basa basi, sembari berbalik menatap pada wajah orang yang berdiri di belakangnya itu.
Alvin terlihat bingung. "Maksudmu?"
Arthur terlihat berjalan menuju meja dan meraih surat yang wanita itu tinggalkan, lalu ia memberikannya pada Alvin.
Setelah membacanya, baru lah pria ini terlihat paham. "Maafkan aku, aku juga tidak tahu jika dia pergi, karena setelah mengantarnya ke sini semalam, aku langsung tidur di kamarku."
Arthur merapikan kancing lengan kemejanya. "Baiklah … aku memaklumi itu, tapi minta seseorang untuk mencarinya, aku curiga dia bisa saja pergi ke tempat yang berbahaya, tapi akan lebih menyebalkan jika ternyata dia lari bersama pria lain."
Alvin terlihat mengangguk.
"Apa kamu sudah menyelidiki hal yang aku minta semalam?" tanya Arthur lagi.
"Maafkan aku kalau semua sedang berjalan sedikit lambat dan tidak sesuai harapanmu, nanti mereka akan mencari tahu semua hal yang kamu minta semalam." Wajah Alvin menampilkan rasa menyesal karena belum mendapatkan apa yang di inginkan oleh bosnya itu.
"Baiklah kali ini aku akan kembali memaklumimu," Arthur menyentuh sekilas bahunya, sementara Alvin hanya tersenyum.
"Baiklah … sekarang kita sudah harus ke kantor karena sebentar lagi ada rapat bukan?"
"Iya … kamu benar," jawab Alvin singkat. Dalam hati ia juga cukup senang karena tanpa harus ia mengingatkan, ternyata Arthur sudah mengingat jadwalnya sendiri.
Langkah pria itu tiba-tiba terhenti dan kembali melanjutkan kata-katanya. "Tapi nanti berikan aku banyak informasi lagi dan cari tahu juga siapa yang memukuli wanita itu semalam, aku sangat ingin tahu dan jika bisa aku juga ingin memberikan pelajaran yang berharga pada pelakunya."
Alvin tidak banyak berkomentar, dan pria itu hanya mengiyakan apa yang Arthur pinta. Hal itu lah yang membuat Arthur mempertahankannya selama bertahun-tahun dan menganggapnya sebagai teman baiknya juga.
***
Rapat sudah berlangsung, kegiatan di kantor juga sudah selesai dan Arthur sudah bisa kembali duduk santai di kursi kerja yang ada di ruangannya.
Alvin terlihat mendatanginya, di tangan kanannya juga tampak sedang menggenggam sebuah tiket pesawat.
"Apa ini?" tanya Arthur penasaran, karena Alvin menaruh tiket itu di atas beberapa dokumen yang ada di mejanya.
"Aku yakin setelah ini kamu pasti menginginkan tiket ini, apa lagi setelah aku mengatakan hal-hal yang sudah aku temukan."
"Baiklah … katakan saja." Pria itu terlihat santai sembari menyandarkan kepala di sandaran kursinya.
"Aku akan memulai dari fakta laki-laki yang semalam kamu lihat, berita buruknya laki-laki itu adalah kekasihnya."
Arthur tampak terkejut sekaligus tak suka dan ia juga terlihat langsung menegakkan punggungnya. "Kekasih?"
Alvin mengangguk pelan dan hal itu membuat wajah Arthur tercermin sangat kesal. "Sial … ternyata pria itu yang dia maksud." Arthur mengingat perkataan Eve 2 hari yang lalu, kalau dia sudah mencintai seseorang.
"Lalu apa lagi?"
"Eveline sekarang sudah ada di bandara menuju ke Surabaya."
"Surabaya?" tanyanya membeo.
Alvin kembali mengangguk. "Iya … wanita itu pulang ke kota asalnya."
"Siapkan aku tiket …." Belum sempat ia berteriak ia mengingat jika tadi Alvin sudah menaruh tiket di atas meja.
Disela kesalnya terselip sepercik senyuman di wajahnya. "Kamu benar-benar sudah tahu apa yang aku butuhkan."
"Lalu apa ada lagi yang kamu dapatkan? Apa kamu sudah tahu siapa yang semalam memukulnya," tanyanya berlanjut.
"Dari tempat itu aku menemukan bukti kalau Siska yang melakukannya."
Dahi Arthur mengerut. "Menyebalkan, aku bahkan membayar padanya dan dia melakukan hal seperti itu seenaknya. Aku rasa kita harus menegurnya."
Alvin tidak merespon, ia hanya mengangkat kedua bahunya.
"Apa kamu sudah menemukan latar belakang keluarga Eveline? Sekalian … aku juga ingin tahu latar belakang laki-laki itu, aku ingin tau apa standarnya jauh di bawahku atau tidak." Dia seolah meremehkan pria yang bisa saja menjadi saingan beratnya itu.
"Baiklah … Aku akan meminta orang-orangku melakukannya sesuai perintahmu. Tapi sebelum kita ke Surabaya, apa kamu tidak akan pulang ke rumah dan menemui Vivian, aku rasa dia akan menunggumu?"
"Tentu saja, aku rasa memang perlu, karena aku juga takut dia akan cemas memikirkan suaminya yang akan hilang beberapa hari ke depan."
"Aku hampir lupa, untuk mengatakan ini," ucap Alvin.
"Apa lagi?" Arthur terlihat begitu penasaran.
"Sebenarnya aku membelikan tiket ini, bukan hanya untuk kamu bisa menemui Eveline, tapi kita memang harus ke sana karena ada jadwal rapat, di cabang hotel kita yang kebetulan di Surabaya."
Arthur menghempas napas kasar. "Baiklah … tidak masalah, akan lebih baik saat kita menyelam kita sembari meminum air dan menangkap ikan, jadi waktu tidak terbuang dengan sia-sia."
Pria yang ada di hadapan mejanya hanya mengangguk saja.
***
Arthur sudah ada di rumah, dia terlihat telah berpamitan pada istrinya dengan alasan akan dinas keluar kota dalam beberapa hari kedepan.
Vivian terlihat merapikan pakaian suaminya, dan memasukkannya ke dalam koper.
"Aku rasa tidak perlu." Pria itu mencoba menghalangi istrinya, yang sedang sibuk merapikan pakaiannya itu.
"Kenapa? Apa ada yang salah? Aku hanya ingin merapikan pakaian suamiku."
Arthur bergeming sejenak, ia menghempas napas panjang lalu kembali bicara. "Baiklah … aku menyerah dan aku tidak akan berdebat."
Pria ini kemudian kembali diam cukup lama sebelum melanjutkan kata-katanya. "Tapi nanti jika kamu kesepian, kamu bisa pulang ke rumah ibu atau ke rumah ibuku, atau minta saja mereka datang kemari."
Rupanya ia mencemaskan Vivian yang mungkin saja merasakan kesepian selama ia pergi, walau pun pada kenyataannya dia memang sudah sangat sering meninggalkannya sendiri dengan alasan pekerjaan.
"Aku sangat tidak suka untuk merepotkan orang, lagi pula kamu hanya pergi berberapa hari hingga seminggu dan itu bukan waktu yang lama, dan aku sudah terbiasa."
"Baiklah … sekali lagi terserah padamu saja." Matanya menilik pada Vivian yang sudah mengunci rapat kopernya.
"Apa Alvin akan ikut?"
"Tentu saja," jawab Arthur dengan senyuman.
"Syukurlah …."
"Kenapa?" tanya pria itu penasaran karena respon yang terdengar sedikit aneh.
"Aku merasa tenang jika dia ikut bersamamu." Wanita itu terlihat merapikan kerah jas pria yang berdiri di hadapannya itu.
"Apa kamu membayar Alvin untuk memata-mataiku?" tanya Arthur, membuat wanita itu melirik dan menatap aneh pada suaminya.
"Maksudmu?"
"Tidak ada, aku hanya bercanda," ucapnya, lalu ia memeluk Vivian kemudian memberikan kecupan di kepala.
Tak lama kemudian Pria itu sudah pergi bersama Alvin ke bandara untuk menuju Surabaya.
Kali ini terasa sangat aneh untuk orang seperti Arthur, ia sangat jarang penasaran pada latar belakang orang lain, apa lagi hanya sebatas seorang wanita malam yang pernah menemani tidurnya.
Tapi kali ini dengan Eve ternyata ia sangat merasa penasaran dan tertantang, karena wanita itu menurutnya sedikit berbeda dan banyak menolak tawarannya secara mentah-mentah.
Arthur adalah orang yang sangat tak suka jika dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan selalu mengejarnya hingga rasa penasaran itu benar-benar selesai.